Terduduk di pinggir ranjang dengan tubuh sakit dan pangkal paha perih, aku merapikan pakaian. Jagad duduk di sofa sambil merokok. Membuat udara di kamar terasa pekat oleh tembaku. Keringat sudah dilap bersih dari tubuh dan wajahnya. Rambutnya dipotong dan tidak terlalu panjang seperti biasa. Kali ini Jagad datang ke kamar memakai sarung dan kaos. Apakah dia ingin bermalam di sini? Aku berdoa dalam hati semoga itu tidak terjadi.
Selesai memakai pakaian, ia membuka jendela agar asap rokok keluar dari kamar. Menatap malam yang tenang dengan bulan bersinar redup di langit. Suara serangga saling bersahutan, seolah ingin menyapaku. Dengkur bunyi burung bertimpa dengan daun yang bergesekan karena angin, aku menghela napas panjang. Kalau bukan karena Jagad, pasti bisa menikmati malam ini dengan tenang.
Dua batang rokok selesai dihisap dan laki-laki itu tidak juga beranjak. Aku tetap berdiri di samping jendela. Tidak ada obrolan di antara kamu, karena satu sisi aku enggan mengajaknya bicara. Sisi yang lain, aku juga tidak tahu harus bicara apa. Dia bukan suamiku, hanya laki-laki yang membeli tubuhku untuk digunakan.
"Kamu senang kerja di kebun?"
Pertanyaan Jagad menggema di kamar yang sunyi. Ia tersentak, sedikit linglung mendengar pertanyaannya.
"Istriku yang menuruhmu bekerja di kebun?"
Dua pertanyaan dan aku harus menjawab sebelum ada masalah. "Iya, Ndoro."
Mata Jagad menatapku tajam, seakan menyelidiki kebenaran dari kata-kataku. "Kamu suka di sana?"
Tidak mengerti apa masuknya suka aku hanya mengangguk. "Iya, Ndoro. Lumayan dapat uang."
"Berapa upahmu?"
"Aku menyebut nominal tertentu. Jagad meraih dompet di atas meja dan mengeluarkan beberapa lembar uang dan menggeletakkan begitu saja.
"Ambil uang itu, pakai untuk beli keperluanmu. Kalau kurang kamu ngomong sama Wiryo, biar dia minta sama aku."
Wiryo adalah tangan kanan Jagad. Laki-laki berkumis yang selalu ada di samping Jagad dalam berbagai situasi. Aku hanya mengangguk kecil, menatap tumpukan uang di meja.
"Satu lagi, aku akan memberimu banyak uang tapi kamu harus menyimpan soal hubungan kita. Ndak boleh ada yang tahu kalau kamu istriku, biar para pekerja itu bicara bebas. Kalau ada masalah terutama sama si mandor, kamu harus laporan sama aku. Ngerti kamu?"
Jadi uang itu untuk membayar pekerjaanku sebagai pengawas, bukan jatah suami istri. Aku terdiam, memikirkan kata-kata Jagad dan sekali lagi mengangguk tanpa kata. Lebih aman mengiyakan semua kata-katanya dari pada membantah. Yang diperlukan Jagad adalah orang yang bisa dipercaya untuk mengawasi kebun alias mata-mata untuknya. Aku mengalihkan pandangan kembali ke halaman, memunggungi laki-laki yang kini mengisap rokok yang entah batang ke berapa. Bukan urusanku kalau dia mati terkena kanker.
Setelah mendapat uang aku bekerja lebih keras dari biasa, selain untuk menghindari keadaan rumah Jagad yang runyam dengan istri pertamanya yang kejam, aku mendapatkan kesenangan saat bekerja. Belajar membedakan jeruk, mengembangbiakkan dan juga cara menanam serta memupuk. Para pekerja mengajari tanpa pamrih dan aku mencatatnya. Setiap kali selesai memetik, aku tidak langsung pulang tapi tinggal lebih lama untuk belajar pembibitan dan sebagainya. Pekerjaan yang awalnya membosankan dan melelahkan kini menjadi hal yang menarik.
Aku berhasil menanam jeruk bonsai di teras kamar dan saat melihatnya, Jagad tanpa sadar berdecak. "Bagus sekali. Kamu ternyata punya bakat berkebun."
Pujian itu sempat membuatku senang, sebelum kata-kata selanjutnya menghancurkan hatiku.
"Aku akan lebih senang kalau kamu hamil. Kamu masih muda, aku juga sama. Harusnya dalam bulan kedua kamu sudah hamil. Kenapa belum? Apa aku harus menidurimu lebih sering?"
Kata-katanya memukul perasaanku dan tanpa sadar bergidik ngeri. Membayangkan hampir setiap malam bersama laki-laki itu, bisa-bisa tubuhku babak belur.
"Sebaiknya kamu cepat hamil dan punya anak kalau ingin tetap di sini. Dalam setahun kamu ndak hamil, aku akan menjualmu pada germo!"
Sebuah ancaman yang kejam dari laki-laki yang mengaku sebagai suamiku. Tidak perlu lagi merasa takut atau kaget, karena percuma saja. Jagad akan melakukan apa pun yang dia anggap benar, termasuk menyerahkan diriku pada laki-laki lain. Sebelum dia melakukan itu, aku akan membekali diriku dengan hal lain, yaitu uang dan pengetahuan. Bila kelak aku keluar dari rumah ini, setidaknya punya bekal.
Setelah menguasai pembibitan, kali ini aku diajak Sutrisno ke pasar untuk melihat sistem jual beli. Laki-laki yang semula genit padaku, berubah menjadi sopan dan baik saat tahu aku adalah istri Jagad. Di seluruh buruh hanya dia dan Menik yang tahu, selain itu tidak.
"Mbak, di sini biasa kita serahkan jeruk untuk dikemas sebelum diantar ke distributor daerah."
Aku mengamati gudang jeruk yang dipeti kemas untuk dikirim ke daerah-daerah. Dari situ Sutrisno mengajakku ke pasar untuk melihat harga jeruk di pasaran, selesai semua kami memutuskan untuk makan nasi rawon dan minum es. Tentu saja ada Menik bersama kami.
"Pak Lek, kok ada di sini?"
Sebuah panggilan membuat kami bertiga menoleh. Seorang pemuda dengan seragam pakaian rapi berupa celana bahan serta atasan kemeja menatap kami. Aku menatapnya sekilas, pemuda yang cukup tampan dengan kulit bersih dan tubuh tinggi.
"Loh, Le. Kamu kok ada di sini?" tanya Sutrisno.
"Aku sama teman-teman kampus lagi cari buku Pak Lek. Di sini ada tukang loak buku." Suara pemuda itu terdengar dalam menembus gendang telingaku.
"Oalah, yowes. Aku senang ketemu kamu, Segara. Wes gede kamu ini!"
Sutrisno memeluk pemuda yang bernama Segara, yang ternyata adalah anak dari sang adik. Mereka berada di kota yang berbeda dan Segara adalah mahasiswa peternakan. Setidaknya itu yang aku dengar dari percakapan mereka. Saat Segara berpamitan hendak pergi, matanya menatapku sekilas dan mengangguk sopan. Aku membalas anggukannya, sedangkan Menik mengulurkan tangan dengan menggebu-gebu.
"Mas Segara, ayo, kenalan. Namaku Menik!"
Segara dengan sopan, membalas ulurang tangan Menik. "Senang ketemu kalian, Menik dan Mbak ini siapa?" tanyanya sambil menunjukku.
Sutrisno menjawab pertanyaan ponakannya. "Istri Ndoro Jagad."
Binar memudar dari mata Segara saat tahu siapa aku. Setidaknya itu yang aku lihat saat senyum lebar yang semula tertuju padaku mendadak menjadi kecil dan anggukan menjadi kaku. Tidak ada gunanya merasa kecewa akan sikap seseorang. Siapa pun itu akan bersikap sama kalau tahu siapa aku, tidak terkecuali seorang mahasiswa bernama Segara.
Setelah hari itu, kami tidak pernah bertemu lagi. Meskipun hanya kenal sesaat, tapi senyum yang manis, wajah bersih dan tampan, selalu terpatri dalam ingatanku. Aku tidak akan pernah bertemu lagi dengannya tapi menyukai orang secara diam-diam, bukanlah dosa..
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 42
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Kedua
RomanceBersetting tahun 1990-an, cerita ini akan membawa kisah Bening yang penuh lika liku dan pernikahannya yang berakhir tragis dengan Jagat.