Bab 17

1.1K 250 9
                                    

Satu bulan kemudian aku pindah ke rumah baru, berada tidak jauh dari rumah utama yang ditempati Santika dan Jagad. Cukup luas dengan tiga kamar tidur. Aku menempati kamar paling luas di deretan depan sedangkan Menik dan Lasmi menggunakan kamar belakang dekat dapur. Ada ruang tamu, ruang tengah, serta dapur kecil. Yang membuat kami gembira adanya radio serta televisi kecil di ruang tengah. Membuat rumah tidak lagi terasa sunyi karena ada hiburan.

Jagad bertanya padaku apakah perlu menambah pembantu dan aku menolaknya. Sudah cukup Menik dan Lasmi saja. Mereka mudah diatur dan bukan tipe gadis yang suka bergosip. Awalnya aku kurang biasa tinggal di tempat yang lebih besar dengan ubin mengkilat, kaca terang serta tempat tidur kayu yang lebar. Ada lemari pendingin untuk menyimpan buah-buahan. Semenjak pindah kemari Menik yang memasak sendiri, membeli bahan lauk di pasar untuk seminggu sekali sedangkan sayur mayur bisa memeting di halaman rumah.

Kehidupan yang menyenangkan kalau saja tidak banyak orang mondar mandir di depan rumah dan semuanya bertampang sangar. Sutrisno mengatakan padaku mereka adalah centeng Jagad.

"Biasanya bertugas menagih utang, Mbak. Kalau nggak, ya, jadi pengawal pejabat atau orang-orang penting yang datang ke kota ini. Semua berada di bawah pengawasan Ndoro."

Luar biasa Jagad ini, bukan hanya punya perkebunan tapi juga usaha centeng yang maju. Sepertinya modal untuk menjadi centeng cukup dengan bertampang sangar, berkulit hitam, dan berewok. Tidak ada satu pun dari mereka yang kurus, berkulit putih, atau pun berwajah tampan.

"Saya ini biasa bergaul dengan para begajulan, tapi tetap ndak mau dekat-dekat mereka, Mbak. Bahaya pokoknya."

Sepertinya Santika tidak merasakan ketakutan itu, aku sering memperhatikan dari balik gorden, dia yang keluar dan memberi perintah para laki-laki bertampang sangar. Tidak jarang mengomel mereka dengan suara tinggi. Perempuan hebat, pantas kalau menjadi pimpinan.

Sutrisno memberiku kabar baik suatu sore. Membawa surat dari Simbah. Aku menerima dengan air mata berderai, tidak percaya dengan apa yang kubaca. Simbah yang tidak bisa membaca dan menulis, menggunakan tulisan tetangga sebelah bernama Tuti. Aku mengenali tulisan Tuti karena kami selalu sekelas dari SD sampai SMU.

"Nduk, kamu kerja di dekat rumah ayahmu? Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Simbah terima uang darimu, Nduk. Dipakai untuk bayar utang sama makan sehari-hari dan cukup. Terima kasih, Nduk. Sesekali pulang, yo? Jangan uangnya terus yang datang. Simbah kangen sama kamu, Nduk."

Sebuah curahan hati yang menyayat. Bagaimana bisa aku mengabaikan keinginan Simbah untuk bertemu. Seandainya bisa aku pun ingin pulang dan bertemu Simbah. Sayangnya jarak dari kota ini ke rumah Simbah sangat jauh. Menaiki mobil membutuhkan waktu sekitar 10 jam, kalau dengan bis jauh lebih lama lagi. Rumah Simbah sangat pelosok.

"Mbak, jangan menangis. Harus tetap kuat dan optimis. Barangkali kalau lahir anak laki-laki Ndoro Jagad akan mengijinkan Mbak Bening bertemu Simbah." Sutrisno berusaha menghiburku dan membuatku yakin kalau harapan akan selalu ada.

Kabar kehamilanku sampai ke telinga ayahku. Laki-laki itu datang ke rumah dan lagi-lagi berniat meminta uang.

"Bening, kamu hamil. Syukurlah. Kamu menjadi istri Ndoro yang sesungguhnya. Bening, kamu bisa ndak bilang sama Ndoro kalau tanahku dilepaskan sebagaia jaminan utang. Dengan begitu aku bisa menjual untuk melunasi utang-utangku. Syukur-syukur kalau Ndoro mau mengurangi utang setengah. Bagaimana pun kita keluarga kini."

Uang, uang, dan uang. Selalu itu yang ada di benak ayahku. Dia jelas-jelas tahu aku hamil tapi tidak tercetus pertanyaan kabarku dari bibirnya. Seakan kabarku bukan hal menarik untuknya. Tidak mengherankan melihat sikapnya, tapi entah apa yang aku inginkan dari seorang ayah seperti ini. Aku sendiri tidak tahu. Berharap orang berubah sifat dalam sekejap itu hal yang tidak mungkin.

"Kenapa kamu diam saja, Nduk. Sana temui suamimu dan bantu ayahmu ini. Ingat, Nduk. Kamu bisa tinggal di rumah besar ini, makan-makanan enak, memakai perhiasan, semua tidak lepas dari jasaku. Harusnya kamu ingat itu, Bening!"

Aku mendongak, menatap laki-laki yang mengaku sebagai ayah tapi tidak pernah ada fungsinya dalam hidupku. Sedari kecil, nama ayah hanya sekedar dongeng untukku dan kini saat muncul, ternyata tidak lebih dari laki-laki brengsek.

"Kalau waktu bisa diputar kembali, aku ingin tetap bersama Simbah. Rumah, makanan enak, dan perhiasan bukan sesuatu yang aku inginkan."

Kata-kataku membuat ayahku terdiam. Untuk sesaat kami saling pandang dan sepertinya ayahku merasa frustrasi karena beberapa kali datang tetap tidak bisa merayuku untuk membantunya. Bukan aku tidak bisa merayu Jagad, apalagi setelah aku hamil sikap laki-laki itu jauh lebih baik dan semakin menyayangiku. Memberiku limpahan uang, perhiasan, serta barang-barang mewah lainnya. Jagad bahkan berencana memberiku kendaraan pribadi kalau kelak anakku lahir.

"Kalau anakmu laki-laki, kamu akan mendapatkan mobil. Tapi kalau anak perempuan, kamu akan mendapatkan motor. Lahirkan anak yang banyak untukku, dan semakin banyak pula hadiah untukmu. Siapa tahu, kalau anak kita banyak maka rumah ini tidak akan muat lagi. Jalan terbaik adalah membangun rumah yang luasnya mirip istana. Bagaimana, apa kamu mau?"

Aku hanya mengangguk mendengar tawaran Jagad. Sesungguhnya tidak pernah menginginkan harta dan kekayaan laki-laki itu. Kalau semuanya bisa menebus kebebasan, maka aku rela menukar seluruh harta yang aku miliki asal bisa bebas. Sayangnya dengan adanya anak dalam kandungan, tidak mungkin melakukannya. Aku tidak akan tega meninggalkan anakku sendiri tanpa Asi dan kasih sayang.

"Bening, jangan jadi anak durhaka! Kamu harus membantuku, Bening. Kami akan tinggal di mana kalau rumah disita?"

"Bukan urusanku," jawabku ketus. Memanggil Sutrisno yang sedang duduk di halaman samping bersama dua centeng dan meminta mereka mengusir ayahku. "Usir dia! Jangan sampai datang lagi kemari!"

Perintahku ditaati oleh dua centeng, yang secara paksa menyeret ayah menuju mobilnya. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya tapi ternyata kata-kata yang diucapkan tidak lebih dari kebohongan.

"Setelah Mbak Bening menikah dengan Ndoro, jaminan sudah dilepas. Saat tahu Mbak Bening hamil, Ndoro juga menghapus sebagian utang. Jadi, Mbak Bening ndak usah merasa bersalah."

Ayah yang keji, pikirku dengan hati mengeras. Tidak hanya menculikku tapi juga menjualku. Sekarang bahkan berusaha memanfaatkanku untuk mendapatkan uang. Aku menatapnya yang berteriak untuk meminta tolong lalu berubah menjadi makian. Membalikkan tubuh, aku kembali ke dalam dan tidak ingin melihat laki-laki itu lagi. Dalam hati berharap kalau Santika tidak tahu kedatangan ayahku atau semua akan menjadi masalah. Tapi ternyata doaku sia-sia. Perempuan itu untuk pertama kalinya masuk ke rumahku. Berdiri angkuh di tengah ruang tamu dan bicara lantang.

"Wow, rupanya gembel miskin sudah naik derajat jadi nyonya?"
.
.
.
.
Tersedia versi lengkap di Karyakarsa dan playbook.

Perempuan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang