Bab 6

1.5K 267 12
                                    

Ini bukan acara pernikahan melainkan tempat duka. Aku merasa sedang dikubur hidup-hidup di depan orang-orang yang menghadiri acara pernikahan. Mereka semua menatap sambil mencemooh, menggunjing diriku yang dianggap sebagai perempuan kedua tak berharga. Tidak hanya itu, mereka juga mengatakan banyak hal tentang almarhum ibuku, tidak berusaha memelankan suara dan tidak peduli kalau aku mendengarnya. Orang-orang itu seolah merasa puas saat melihatku memucat di balik topeng make-up yang menghiasi wajah.

"Sama sepertinya ibunya, dia juga jadi istri kedua."

"Loh, iyo. Namanya buah ya jatuh nggak jauh dari pohonnya."

"Kasihan Pak Mulyoharjo karena punya anak perempuan yang ndak bisa dibanggakan. Hidup jauh-jauh, begitu ketemu malah jadi istri kedua orang."

"Tapi, yo. Aku sendiri ndak nolak kalau suamiku Ndoro Jagad."

"Eh, dia tampan dan kaya. Siapa yang ndak mau, apalagi gadis kampung itu."

Orang-orang itu adalah kerabat dekat atau pun tetangga yang sengaja dipanggil untuk menghadiri pernikahan yang berlangsung sederhana. Jagad, laki-laki yang kini menjadi suamiku, menerima semua tamu tanpa senyum di wajah. Berdiri angkuh dengan tubuh tegak, membuat orang-orang segan untuk mengajaknya bicara.

Di samping jaga dada istrinya. Aku dengar dari Menik, nama istrinya adalah Santika. Seumur dengan Jagad dengan tubuh tinggi dan wajah cantik. Sama seperti suaminya, Santika juga bersikap sangat angkuh, tidak peduli kalau hari ini adalah pernikahan suaminya, dia seolah sedang berada di pesta.

"Mbakyu, janga sampai lengah. Sekarang Ndoro punya istri kedua."

"Hooh, tapi hanya menang muda saja. Kalau urusan cantik dan kaya, jelas istri kedua kalah."

Percakapan Santika dengan teman-temannya sampai di telingaku yang duduk tidak jauh dari mereka. Sekali lagi mereka mencemoohku. Menik meremas jemariku, seakan berusaha memberitahu kalau dia akan selalu ada dan membantu. Di lingkungan yang kejam ini, aku hanya punya Menik seorang.

"Jangan kuatir, Mbak. Meskipun cantik dan kaya, tapi dia ndak bisa punya anak. Makanya Ndoro Jagad nikah lagi," bisik Menik di telingaku.

Napasku terasa sesak, dengan kepala pening, aku ingin rebah dan menjauh dari semua keriuhan ini. Tidak tahan lagi berhadapan dengan orang-orang yang sibuk mencaci dan menghina. Perasaanku saja atau memang semua orang memusuhiku, padahal aku tidak kenal dan juga tidak membuat masalah dengan mereka.

Ayah terlihat bahagia dan menyalami semua orang. Restini pun sama, menunduk dan bercakap dengan teman-temannya. Aku tidak mengerti kenapa pernikahan ini harus diadakan pesta. Padahal akan aman kalau dilakukan diam-diam. Sepertinya ayah sedang berusaha membangun namanya, mempunyai seorang mantu seperti Jagad tentu sangat membanggakan.

"Ndoro Jagad itu yang punya perkebunan tebu dan pabrik gula di kota sini. Beliau juga punya pertanian yang luas, belum lagi toko bangunan, serta toko alat-alat pertanian. Semua petani menjual hasil bumi pada Ndoro Jagad. Rumahnya besar dan luas, mobilnya banyak, dan pegawainya ratusan. Di kota ini ndak ada yang berani menentang beliau. Selain itu, Ndoro Jagad juga punya koperasi simpan pinjam."

Menik mengatakan padaku, suatu malam saat aku tanya tentang siapa calon suamiku. Sekarang aku mengerti kenapa orang-orang ini berlomba-lomba menyanjung Jagad dan istrinya, tentu saja karena kaya dan berpengaruh. Tidak heran kalau ayahku pun takut padanya. Berapa banyak utang yang harus dibayar ayah, sampai rela menjualku? Apakah benar aku dijadikan istri kedua hanya untuk menghasilkan keturunan?

Mungkin karena melihatku diam dan menunduk, akhirnya ayah memperbolehkanku ke kamar. Sesampainya di dalam, Menik dengan sigap membantuku mencopot aksesoris dan kebaya pengantin. Malam ini juga aku akan dibawa ke rumah Jagad, hanya ditemani Menik dan barang bawaan kami berupa dua tas kecil. Terduduk di ranjang dengan musik mengalun keras di luar, aku memikirkan simbah. Di acara paling penting, orang yang paling kucintai itu justru tidak ada di sini. Apa kabar Simbah sekarang?

Menik menawari makan dan aku menggeleng tapi gadis itu tidak menyerah. "Mbak harus makan. Siapa tahu di rumah Ndoro Jagad malah ndak ada makanan. Saya ambilkan dan suapi."

Aku menurut, saat nasi disuapkan ke mulutku oleh Menik. Luka-luka di tubuh dan wajah membuatku mengernyit menahan sakit. Rasanya perih dan menyiksa. Tapi Menik benar, aku harus makan agar ada tenaga untuk keluar dari rumah ini. Selesai makan, aku mencoba merebahkan diri. Sekujur tubuh rasanya kaku dan pegal. Beragam mimpi berkumpul di pikiran dan terbangun saat terdengar gedoran di pintu.

"Bening, bangun! Waktunya pulang!"

Suara ayah terdengar, aku terjaga dan Menik bergegas bangkit dari kursi untuk membuka pintu. Musik di luar sudah terhenti, rupanya pesta sudah selesai. Ayah berdiri di tengah pintu, menujuk Menik untuk membawa barang-barang kami.

"Pergi sekarang, suamimu menunggu!"

Aku bangkit perlahan dan berjalan menuju ruang tengah denga ayah berada di depanku. Restini berdiri bersama anak dan menantunya menatapku yang masuk ke dalam mobil. Di dalam sudah ada Jagad yang memejam. Aroma tuak menguar dari dalam kendaraan dan membuatku sedikit pusing. Menik berada di mobil yang lain. Ayah mengucapkan selama jalan pada Jagad dan hanya dibalas dengan lambaian tangan. Sama sekali tidak menengokku. Mobil melaju cepat meninggalkan rumah ayah, menuju entah kemana. Dugaanku, kami menuju rumah Jagad yang kini resmi menjadi suamiku.

Tidak ada percakapan meskipun kami duduk berdampingan. Jagad memejam dan aku duduk kaku, takut untuk bergerak. Jantungku berdegub tidak karuan, dengan keringat membanjiri tubuh. Sepanjang jalan aku duduk bagai patung, tubuh yang sakit bertambah sakit karena takut untuk bergerak. Jalanan yang kami lewati sangat sepi dan seolah tidak berujung. Hingga tiba di perkebunan jeruk dan kendaraan melaju cepat membelah perkebunan. Tiba di rumah luas berlantai tiga. Aku diminta turun dan diantar ke bangunan belakang yang lebih kecil.

"Silakan masuk!" Seorang laki-laki yang mengantar kami membuka pintu. Rumah ini cukup luas dengan satu kamar, ruang tamu, serta kamar mandi. Aku tidak sempat melihat-lihat karena laki-laki itu menunjuk Menik. "Kamu ikut aku, ke mess khusus pembantu. Untuk Mbak Bening, silakan bersiap-siap, Ndoro Jagad sebentar lagi datang."

"Tapi—"

Aku hendak bertanya tentang apa yang harus aku siapkan, tapi laki-laki itu sudah berlalu dengan Menik. Meninggalkanku di rumah ini sendirian. Ia termenung sesaat, menatap jendela yang tertutup. Ingin membuka untuk tahu pemandangan di luar. Niatku belum menjadi kenyataan saat pintu menjeplak terbuka. Jagad masuk, menutup pintu dan berjalan goyah ke arahku.

"Ndoro, saya—"

Lidahku kelu, laki-laki itu menatap tajam. Menunjuk ranjang besar di depan kami. "Naik!"

Aku menggeleng. "Ta-tapi, saya—"

"NAIK! JANGAN MEMBUATKU EMOSI!"

Suaranya menggelegar memenuhi kamar, aku bersiap untuk lari saat tangannya menarik baju yang kupakai hingga robek. Aku terjatuh ke atas ranjang dalam keadaan ketakutan dan berusaha memberontak. Tapi dia menindihku tanpa ampun, mencium wajahku dan bibirku dan membuatku jijik. Malam itu, tidak ada satu orang pun yang datang untuk menolong, saat laki-laki itu merenggut kesucianku. Secara hukum dia memang suamiku tapi secara perbuatan, tak ubahnya seorang pemerkosa.

Perempuan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang