Bab 20

1.2K 263 6
                                    

Aku dijemput pulang oleh Sutrisno dan Menik. Tanpa Jagad yang semestinya sebagai suami bertanggung jawab atas keadaanku. Tidak masalah, yang terpenting aku bisa keluar dari rumah sakit yang seolah mengukungku. Otak yang tidak pernah berhenti berputar, ketakutan yang terus membayang, serta kesedihan yang seolah menekan dada. Rumah sakit membuatku terkurung dalam bayang-bayang kengerian akan tangis bayi, serta kemarahan Jagad.

Rumah besar yang semula dibangun untukku itu kini dikunci. Sama seperti semula, aku kembali ke petak kecil di halaman belakang. Menik bekerja sangat keras dibantu Lasmi untuk membersihkan rumah yang berdebu dengan alang-alang tinggi menutupi halaman. Tidak dihuni selama berbulan-bulan, menjadikan rumah mirip gubuk di tengah hutan. Aku ingin membantu tapi mereka melarang, mengatakan kalau kondisi bahkan masih lemah untuk sekedar bergerak.

"Barang-barang dari rumah besar ndak bisa saya bawa kemari, Mbak," ucap Menik dengn sedih. "Padahal peralatan dapur dan rumah tangga itu dibelikan Ndoro untuk Mbak Bening."

"Nddak apa-apa, Menik. Kita awalnya tinggal di sini dalam keadaan sederhana. Jadi ndak masalah kalau sekarang kembali begini."

Aku mengalihkan pandangan pada Lasmi. Tersenyum pada gadis kecil yang selama beberapa hari ini tidak kulihat. "Lasmi, apa makanmu enak selama aku tinggal?"

Lasmi mengangguk lalu menunduk menekuri lantai.

"Lasmi bohong, Mbak!" jawab Menik dengan sengit. "Dia ndak dikasih makan sama pembantu-pembantu yang ada di rumah Nyonya. Katanya harus minta sama Mbak Bening. Pak Sutrisno yang memberitahu."

Menghela napas panjang, aku mengangkat wajah Lasmi dan tersenyum. "Kasihan kamu, gara-gara aku jadi ndak makan."

Lasmi menggeleng cepat, makanya berkaca-kaca. "Ndak, Mbak. Saya bisa makan. Pak Sutrisno diam-diam ngasih saya makanan."

"Maaf, ya, Lasmi, Menik. Sudah bikin kalian susah."

Selain mereka berdua, orang yang paling berjasa dalam hidupku adalah Sutrisno. Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikan hatinya kelak. Di antara orang-orang yang jahat dan memusuhiku, ternyata masih ada segelintir orang yang menyayangiku dengan tulus.

Menatap senja yang temaran, pandanganku tertuju pada rumah besar. Mengingatkanku pada masa-masa yang sedikit menyenangkan saat aku dimanja dan dipenuhi kebutuhan oleh Jagad. Kejadian itu baru seminggu lalu terjadi tapi rasanya sudah lama sekali berlalu. Apakah aku yang menua, atau terlalu lelah, akhir-akhir ini tidak bisa lagi tersenyum. Langit keemasan bahkan terlihat buram dan muram untukku.

Memutuskan untuk berjalan sedikit, aku berhenti di pohon mangga samping rumah. Pohon yang dulu hanya berbunga, kini mulai tampak buahnya. Besar, ranum, dan banyak sekali. Sayangnya, aku tidak lagi menginginkan mangga muda. Mengusap perut yang rata, lagi-lagi pikiranku tertuju pada bayi yang tidak sempat melihat dunia. Samar-samar terdengar irama gamelan. Sepertinya Santika sedang berlatih menari bersama teman-temannya, seperti yang biasa dilakukannya. Dua Minggu sekali, akan ada guru tari yang mengajari mereka, sekitar lima atau enam orang belajar bersama.

Santika tahu kalau aku sudah pulang. Jagad pun sudah tahu. Tapi tidak ada satu pun dari mereka menemuiku. Bisa jadi belum sekarang, karena aku yakin Santika akan berbuat ulah lagi padaku. Perempuan itu sepertinya tidak akan berhenti sebelum aku mati.

Malamnya Sutrisno datang, memberitahu apa yang didengarnya dari Mbok Darmi. Sebelum dia bicara, aku meminta Lasmi pergi tidur. Makin sedikit yang didengarnya, akan makin bagus untuknya. Terlalu muda untuk terlibat masalah dengankku.

"Mbak, kata Simbok, obat penggugur bukan di jamu yang cair dalam botol. Melainkan di dalam jamu yang direbus itu. Mbok Darmi menemukan dua macam rempah yang harusnya tidak dikonsumsi orang hamil karena panas dan berbahaya."

Aku memejam dengan dada bergetar hebat. Benar yang aku duga selama ini, kalau semua penderitaanku akibat ulah dari Santika. Perempuan jahanam itu memang layak mati. Aku harus membalas semuanya, menjadikan dia sama menderitanya dengan aku. Tanpa pikir panjang, aku berdiri dan melangkah cepat menuju rumah besar. Jagad belum pulang, kesempatan bagus untuk bicara dengan Santika.

"Mbaak, mau kemana?" tanya Sutrisno panik.

"Kamu diam saja di sana. Ndak usah ikut aku!"

"Mbak Bening, jangan gegabah, Mbaak."

Kali ini Menik yang berusaha mencegah niatku bertemu Santika. Tidak bisa lagi didiamkan. Santika sudah merusak hidupku. Perempuan itu juga sudah membunuh anakku. Kalau kali ini aku diam saja, entah apa lagi yang akan dilakukannya padaku.

Menik dan Sutrisno berusaha menahan langkahku. Mereka memegangi lenganku kuat-kuat dan aku mendorong sekuat tenaga.

"Lepaskan aku! Kalian tetap di sini. Kalau kalian ikut, aku ndak mau lagi kenal kalian!"

Ancaman terakhir dengan terpaksa aku lontarkan. Emosi dan kemarahan menguasai hatiku dengan brutal. Teringat rasa sakit saat dikuret, anakku yang dikubur bahkan sebelum lahir ke dunia, semua penderitaan di rumah ini, bersumber pada satu nama Santika. Malam ini juga aku akan membuat perhitungan dengan perempuan itu.

Menerobos pagar samping, aku tidak peduli akan batu atau ilalang yang menghalangi. Mengernyit saat sesuatu yang tajam menggores paha. Sepertinya ada pagar yang rusak. Beberapa pembantu yang sedang mengobrol di halaman samping melihatku seolah aku adalah hantun yang lewat. Mereka ternganga tapi tidak ada yang berusaha menghentikan langkah. Napasku tersengal saat tiba di depan pintu besar dan tinggi. Lamat-lamat terdengar tawa Santik dan suara orang bercakap. Perempuan itu sepertinya sedang menonton televisi.

Dengan tangan memegang gerendel pintu, aku menekan dan mendorongnya hingga terbuka. Benar dugaanku, Santika sedang bersantai di ruang tengah yang luas. Duduk di kursi jati berukir dengan cemilan kacang rebus. Layar televisi sedang menayangkan acara lawak. Perempuan itu terbahak-bahak, sampai nyaris tidak sadar aku datang.

Aku berdiri diam, sesaat mengagumi rumah yang besar dengan lantai yang marmer tebal dan licin. Saat pernikahanku dulu, sempat dibawa masuk kemari tapi tidak sampai melihat dan mengamati dengan teliti. Gorden beludru yang berat dan tebal, sofa ruang tamu yang empuk. Ruang tengah yang luas dengan televisi besar. Kipas angin besar terpasang di dua tempat, dinding ruang tengah dan ruang tamu. Santika benar-benar hidup nyaman di sini. Seolah tersadar dengan kehadiranku, perempuan itu terbelalak. Tangannya yang semula memegang mug aluminium kembang-kembang, kini membeku di udara.

"Kamu? Mau apa kamu kemari? Berani-beraninya kamu menginjak rumahku tanpa diundang, hah!"

Mengabaikan makian dan teriakannya, aku melangkah perlahan mendekatinya. Perempuan itu bangkit dari kursi, menunjuk padaku dengan mata melotot.

"Keluar dari sini, cepat! Jangan sampai kakimu yang kotor itu meninggalkan jejak di rumahku. KELUAAR!"

Beberapa orang keluar dari dapur. Mereka adalah para pekerja di rumah ini. Ada yang menatapku wasa-was, beberapa merasa bingung. Santika kini terlihat gemetar. Mungkin karena marah, karena aku datang tanpa diundang. Melangkah dengan cepat aku menghampirinya lalu melayangkan pukulan keras di pipinya. Satu kali di kiri dan satu kali di kanan, perempuan itu terjatuh di kursi lalu berteriak.

"Arrgh! Perempuan gilaa!"

Aku melotot dan mendesis padanya. "Aku memang gila. Memangnya kenapa kalau aku gila. Gara-gara kamu memberiku jamu, bayiku mati dalam kandungan. Santika, kamu memang bukan manusiaaa!"

Aku menyergapnya dan berusaha untuk mencekik lehernya. Tidak peduli apa pun yang akan terjadi, ingin membunuh Santika sama seperti perempuan itu sudah membunuh anakku.

.
.
.
Cerita lengkap di Karyakarsa dan Playbook.

Perempuan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang