Bab 14

1.1K 260 6
                                    

"Kamu tahu ini rumah siapa?"

Perempuan itu bertanya dengan suara yang setajam silet. Membuatku tanpa sadar merinding.

"Tanpa ijin dariku, siapa pun ndak boleh kemari. Terutama kamu, Gadis Miskin!"

Aku menunduk, memilih untuk meladeni kata-katanya. Tidak bagus untuk kesehatan dan keselamatan, kalau harus adu mulut dengan Santika. Perempuan itu adalah penguasa di rumah ini, mau bagaimana pun keadaaku tetap akan kalah.

"Maaf, Nyonya. Kami ndak sengaja." Menik yang menjawab dengan gugup. Jemari kami saling terkait dan bisa kurasakan kalau Menik berkeringat dingin. Santika memang menakutkan.

"Babu kurang ajar! Diam kamu! Aku ndak bicara sama kamu!"

Menik terdiam, aku mengangkat kepala. Demi memberikan penjelasan dan agar Menik tidak menjadi sasaran, aku harus mengatakan kebenarannya. Aku membuka mulut untuk bicara dan menutupnya lagi sambil menelan ludah. Pandangan tajam Santika membuat nyaliku menciut. Perempuan yang selalu tampil anggun dalam balutan kain mahal, tapi sikapnya tidak pernah menunjukkan keramahan. Entah hanya padaku atau memang begitu pada semua orang.

Aku memberanikan diri menatapnya. Perempuan berusia empat puluh tahun yang sudah lebih dari 15 tahun membina rumah tangga dengan Jagad. Mereka tidak punya anak, kata orang-orang Santika mandul. Selama ini Jagad memang selalu tunduk pada istrinya, bukan hanya karena cinta tapi aku juga dengar karena orang tua Santika adalah salah seorang yang berkuasa di daerah ini. Tidak heran kalau Jagad tidak ingin bercerai meskipun tidak punya anak.

Hatiku bertanya-tanya apakah Santika tahu aku hamil? Bagaimana tanggapannya saat di perutku ada anak Jagad. Kabar angin yang kudengar dari para pekerja kebun, Santika pernah hamil dulu tapi keguguran. Mungkin memang kandungannya lemah. Setidaknya itu yang dikatakan orang-orang. Aku sendiri kurang mengerti apa maksud dari kandungan lemah.

Menahan diri untuk tidak mundur, aku melihat Santika bergerak perlahan mendekatiku. Laksana seekor ular yang meliuk anggun untuk menghampiri korbannya. Apakah ingin mematuk atau membelit?

"Kamu dibawa ke rumah ini, bukan untuk jadi Nyonya. Meskipun punya status sama sebagai istri, tapi bagiku kamu tak ubahnya gembel yang naik pangkat!"

Santika terus mendekat dengan mata memancarkan kebencian. Sinar matahari sore memancar dan membias wajah cantiknya. Terlihat sangat mengerikan.

"Kalau aku bisa, sudah kuusir atau kutendang kamu jauh-jauh dari sini. Kehadiranmu membuat pandanganku buram! Merusak mood dan juga kesenanganku. Gara-gara kamu, aku harus menahan malu dari ejekan orang-orang karena suamiku menikahimu."

Aku menggeleng perlahan. Pernikahan bukan keinginanku. Santika bisa minta Jagad untuk menceraikan dan memulangkan aku pada Simbah.

"Kenapa menggeleng? Merasa tidak bersalah sudah merebut suamiku? Untuk saja Jagad hanya menjadikanmu pelampiasan nafsu. Semua keperluan dan hidupnya aku yang mengurusi. Tetap saja kehadiranmu membuatku muaaak! Orang tuaku menuduhku mandul, teman-temanku menertawakan, dan orang-orang menatap dengan pandangan kasihan. Semua karena suamiku menikahi gadis muda dan bodoh sepertimu!"

Tidak ada yang tahu apa yang diinginkan Santika sampai tangannya terangkat untuk memukul dan Menik dengan gagah berani menghadangnya.

"Jangan Nyonya! Mbak Bening lagi hamil!"

Tangan Santika terhenti di udara. Matanya melotot tidak percaya, ke arahku yang memejam dengan tangan mengusap perut. Entah bagaimana reflek aku melindungi perut. Tidak ingin ada masalah apa pun yang bisa membuat kandunganku bermasalah.

"Apaa?"

Suara perempuan itu bergetar, menatapku dengan nanar. Seolah ada pukulan besar yang menghantamnya. Untuk sesaat kami hanya saling pandang sampai Santika tersadar dan mendorong Menik hingga tersungkur ke samping.

"Minggir!" bentaknya.

Menika membandel, berdiri lagi dan tetap berada di depanku dengan lengan terentang. "Nyonyaa, sadar. Tolonglah. Kalau ada apa-apa dengan Mbak Bening, saya bisa dibunuh Ndoro!"

Aku menghela napas panjang, mengusap bahu Menik yang menegang. "Menik, minggir. Jangan bikin Nyonya tambah marah."

"Tapi, Mbak—"

"Ndak apa-apa, Menik."

Meskipun tidak yakin kalau keadaan akan terkendali tapi aku harus menghibur Menik lebih dulu. Jangan sampai gadis itu menjadi korban dari emosi Santika yang meledak. Aku tahu saat ini Santika pasti sedang mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Bukahkah ini berarti Jagad menyembunyikan informasi dari istrinya? Kenapa? Takut kalau Santika marah?

Tidak ada yang mengerti dengan hubungan mereka yang rumit, terlihat saling mencinta dan mesra tapi kenyataannya penuh rasa sakit dan kebohongan. Apakah Santika tahu kalau suaminya punya nafsu besar? Saat datang ke kamarku, tidak cukup satu kali menggauliku tapi berkali-kali hingga membuat tubuhku luka-luka dan kesakitan. Apakah Santika mengerti bagaimana tabiat bejad suaminya? Barangkali dia tahu dan menutup mata. Selama yang menjadi korban adalah aku, dia tidak peduli. Benar juga, untuk apa mengharapkan belas kasihan pada orang yang tidak menyukai kita? Hidup harus realistis, begitu pula aku.

"Jadi, desas-desus itu benar? Kamu hamil?"

Suara Santika bergetar saat bertanya padaku. Matanya bersinar dan ada jejak basah di sana. Apakah perempuan itu menangis? Aku mengangguk kecil, menjawab pertanyaannya.

"Nggih, Nyonya."

Santika memejam, mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Jawabanku seolah bom besar yang dijatuhkan ke halaman dan memporak-porandakan hatinya. Hati kecilku merasa bersalah, pada perempuan yang sekian lama mengharapkan anak tapi tidak kunjung mendapatkannya. Bukankah kehamilanku akan menambah olok-olok yang diterimanya? Bukankah dia baru saja mengeluhkan hal itu? Entah benar atau tidak, tapi hatiku merasa tidak nyaman mendengarnya.

"Berapa lama?" tanya Santika setelah membuka mata.

"Beberapa Minggu."

"Laki-laki atau perempuan?"

"Ndak tahu, Nyonya."

"Apakah karena itu, Jagad melarangmu kerja ke kebun?"

Aku mengangguk perlahan. "Iya, Nyonya."

"Kenapa aku baru? Kenapa kamu baru memberitahuku, hah! Sengaja ingin membuatku malu? Sengaka ingin pamer padaku, begitu?"

"Ndak, Nyonya. Saya pikir Ndoro Jagad sudah memberitahu, Nyonya. Ndak ada maksud untuk menghina atau menyembunyikan. Saya ndak ngasih tahu karena mikir, kalau Ndoro Jagad yang layak mengumumkan. Saya hanya mengandung, ini anak Ndoro Jagad."

Pertama kalinya aku bicara banyak dengan Santika. Perempuan itu seakan berusaha mencerna kata-kataku. Sejujurnya aku sedikit menikmati kemenangan dalam hatiku saat melihat wajahnya memucat. Sakit hati yang selama ini aku rasakan terbayar karena kekalahannya. Aku punya anak, dia tidak. Seharusnya mulai sekarang dia tidak lagi semena-mena padaku. Ingin mengandung dan melahirkan dengan tenang tanpa konflik, itu yang menjadi harapanku.

"Banyak bicara kamu," desis Santika. Wajah yang semula memucat perlahan memerah. Tangan masih terkepal dan bahunya tegak dengan kaku. "Ndak ada hak kamu untuk bicara denganku. Sekarang cepat pergi dari tanahku, sebelum aku meminta orang-orang mengusirmu. Pergi! Perempuan Setan!"

Tanpa berpikir dua kali, aku meraih tangan Menik dan bergegas menariknya pergi. Sebelum ular mematuk, sebelum api merambat oleh angin dan membakar kami, lebih baik kalau menghindarinya. Saat ini Santika sedang marah, dan aku merasa kasihan pada orang-orang yang menjadi sasaran. Tidak ada waktu untuk mencemaskan orang lain, karena nasibku pun di ujung tanduk. Bagaimana kalau Jagad tahu aku membuat marah istrinya? Masuk ke halaman rumah utama tanpa permisi? Semoga laki-laki itu tidak menghajarku nanti.

Tiba di rumah, aku duduk bersimpuh di lantai teras. Tubuhku gemetar dan keluar keringat dingin. Menik mengambil air minum dan membasuh peluhku dengan sapu tangan sambil terus menerus mengucapkan permintaan maaf.

"Mbaak, maafkan saya. Maaaf."

Bisa dibilang yang aku harapan bukan kata maaf Menik, melainkan pengharapan agar nyawaku selamat malam nanti.
.
.
Sebentar lagi di Karyakarsa ending.

Perempuan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang