Jagad adalah orang yang paling senang dengan kehamilanku. Laki-laki yang biasanya bersikap dingin, angkuh, dan kasar, kini berubah menjadi perhatian dan lembut. Jagad memintaku untuk tidak bekerja selama hamil dan lebih banyak di rumah. Menik yang mengurusku seperti biasa, dari mulai menyiapkan makan sampai membeli jamu.
"Ini uang untuk kamu gunakan beli daster, jamu, atau makanan apa pun yang kamu mau. Jangan sampai anakku kelaparan karena emaknya ndak ada uang."
Uang terbanyak yang pernah kulihat dalam hidup disodorkan Jagad untukku. Untuk sesaat aku tertegun menatap tumpukan uang dan juga barang-barang lain yang diberikan Jagad untukku. Begitu banyak cemilan, buah-buahan, dan semuanya kualitas terbaik serta mahal.
"Mulai sekarang kemana-mana kamu akan dikawal Sutrisno. Aku sudah bilang padanya, kalau kamu pergi kemana saja dia harus ikut. Tenang saja, dia orang kepercayaanku. Ndak akan berani macam-macam denganmu."
"Iya, Ndoro. Terima kasih."
Jagad tidak tahu kalau Sutrisno bukan lagi abdinya yang setia semenjak aku menolongnya. Sutrisno lebih banyak melakukan pekerjaan pribadi denganku dari pada melakukan hal yang diperintahkan Jagad atau Santika. Mereka tidak tahu, bagaimana aku bisa mendapatkan kepercayaan orang-orang di kebun dan bukan hanya Sutrisno.
Selama tinggal di sini dan bekerja di kebun aku belajar satu hal kalau semua manusia menyukai uang. Karena itulah saat aku punya uang, tidak segan menggunakannya untuk mendapatkan semua yang aku inginkan. Memberi saat mereka butuh, meminjamkan tanpa bunga, dan membantu mereka mendapatkan penghasilan lebih dengan bekerja lebih cepat dan efektif. Semua orang di kebun menghormatiku, sebagai nyonya kedua yang baik dan tidak sombong.
Dari dulu aku memang baik dan lembut, semua orang mengenalku sebagai Bening yang anggun. Tidak pernah ingin berbuat jahat pada orang lain dan selalu berpikiran positif. Tapi semenjak hidupku menjadi alas kaki orang lain, dijual dan dianggap tidak berharga, maka Bening yang dulu anggun berubah menjadi pendendam.
Bagi banyak orang waktu beberapa bulan mungkin tidak lama, tapi tidak bagiku. Harus menahan siksaan dari Jagad dan istrinya, aku menjalani waktu dengan sangat lambat. Pukulan dan ejek Santika yang membuatku sakit hati serta sakit tubuh, belum lagi Jagad yang selalu memperkosa. Kalau itu tidak cukup, ditambah dengan kedatangan ayah, yang makin mempersulit hidup. Hanya Tuhan yang tahu, kalau aku kuat demi Simbah, dan sekarang ada bayi dalam kandunganku.
Mengusap perlahan perutku yang rata, perasaanku campur aduk. Bukan karena aku tidak menyukai bayi ini, tapi rasanya belum siap menjadi ibu. Masih terlalu muda untuk punya anak. Harusnya sekarang aku kuliah sambil bekerja dan bukan menjadi istri kedua sekaligus buruh di rumah Jagad.
"Kenapa diam saja? Uangmu kurang?"
Aku menggeleng, berusaha tersenyum. "Ndak, Ndoro. Cukup ini."
Jagad menepuk sofa kosong di sebelahnya dan memintaku duduk. "Sini, aku ingin pegang anakku."
Dengan kikuk aku duduk di samping laki-laki itu dan membiarkan tangannya mengusapm perutku perlahan. "Entah laki-laki atau perenpuan, aku akan menerimanya dengan senang hati. Tapi tentu saja lebih senang kalau laki-laki. Dengan begitu dia akan mewarisi semua harta dan akan aku didik menjadi tuan muda yang giat bekerja!"
Tertawa dengan gembira, wajah Jagad terlihat lebih muda dari biasanya. Laki-laki yang selama ini kaku ternyata bisa tertawa. Aku tidak pernah melihatnya, karena selalu saja kemarahan setiap kali kami bersama. Dilihat lebih dekat, Jagad bukan orang yang jelek. Rahangnya tegas dengan mata lebar dan alis tebal. Kulitnya kecoklatan karena termakan cuaca. Memang tidak setampan Segara tapi tidak jelek juga.
Menghela napa panjang, aku berusaha mengingatkan diri sendiri. Tidak baik saat bersama suami justru mengingat tentang laki-laki lain. Bukankah itu sama saja namanya selingkuh? Aku diajari kalau selingkuh itu perbuatan dosa dan tercela, tapi ternyata tidak mudah menghapus bayangan Segara dari benakku.
"Mulai besok kamu kontrol ke bidan, biar kandunganmu sehat!"
"Iya, Ndoro."
"Besok juga hari pasaran, jadi kamu bisa beli jamu atau apa pun yang kamu mau."
Saat sedang baik dan tidak marah, Jagad ternyata cukup perhatian. Sayangnya penilaian baikku tidak bertahan lama saat laki-laki itu meneruskan perkataannya.
"Jaga baik-baik bayi dalam kandunganmu, karena dia anakku dan kamu hanya mengandungnya saja. Ingat, terima konsekuensi kalau sampai terjadi apa-apa."
Hati terasa perih, seolah ada ribuan duri yang tertancap dan menggores. Aku bahkan tidak punya kuasa untuk tubuhku sendiri.
"Setiap pagi dan sore kamu harus jalan-jalan di sekitar rumah. Jangan terkurung di dalam, semua demi kesehatan bayimu!"
Jagad pergi setelah melontarkan ancaman, meninggalkan uang dan barang di atas meja. Aku mengusap tumpukan uang dan menahan air mata. Sekarang bukan waktunya menangis, tidak ada yang perlu ditangisi. Kandunganku baik-baik saja, anakku sehat, dan meskipun kelak bayi ini akan menjadi milik Jagad, setidaknya aku adalah ibunya.
Aku menghitung uang dengan cepat, jumlahnya cukup banyak. Seperti gajiku bekerja di kebun selama satu tahun. Aku menyisihkan beberapa dan akan meminta Sutrisno mengirim untuk Simbah. Sisanya aku masukkan celengan. Jagad sudah memberiku cemilan dan buah-buahan yang cukup untuk aku makan. Tidak perlu lagi buang uang untuk itu. Menyisakan untuk memberi bonus bagi Menik dan Sutrisno lalu berniat ke pasar besok.
Demi agar Jagad tidak marah, aku melakukan semua keinginannya. Bersama Menik berjalan-jalan di sekitar rumah. Menikmati udara sore yang sejuh. Dari tempatku berdiri, terlihat hamparan luas kebun jeruk. Halaman dipenuhi bunga-bunga liar dan rumput yang dipangkas rapi. Ada banyak pohon seperti sawo, mangga, dan sirsak. Kami berdiri di bawah pohon mangga yang besar dan rindang. Ia menatap bunga-bunga yang mulai mekar di pucuk pohon.
"Nggak sabar pingin makan buahnya," ucapku saat melihat mangga yang masih muda tumbuh beberapa di dahan.
"Nunggu beberapa Minggu udah bisa dimakan, Mbak. Kalau mau, besok kita cari di pasar. Barangkali ada."
Aku menangguk, meneguk ludah saat membayangkan mangga muda yang asam dan sudah pasti segar.
"Mbak, kalau mau kita ke halaman depan. Ada pohon mangga rindang di sana."
Usulan Menik membuatku bergidik ngeri. Halaman depan adalah wilayah kekuasaan Santika. Perempuan itu tinggal di rumah utama dan selama menjadi istri Jagad tidak pernah sekalipun aku ke sana.
"Ndak usah, aku takut bikin marah."
Menik terheran-heran. "Siapa yang mau marah, Mbak. Namanya orang nyodam, harusnya mereka ngerti loh."
"Itu kalau kita, mereka lain Menik. Sudahlah, jangan bikin perkara."
"Tapi, Mbak—"
"Menik, aku pingin mangga tapi ndak mau cari masalah. Kamu tahu gimana dia'kan? Lagipula, aku ndak pernah ke sana. Heran nanti orang-orang kalau lihat aku."
Menik terdiam dan tidak membantah, membututi langkahku. Rumah utama memang besar dan megah dengan halaman luas dan beragam buah serta bunga tumbuh di sana. Santika membayar banyak orang untuk membantu merawat tanaman atau pun membersihkan rumah. Dibandingkan mereka, rumah yang aku tempati tidak ubahnya sebuah gudang. Sangat kecil dan cukup untuk diriku sendiri. Tidak masalah, selama aku bisa menjauh dari Santika, tinggal di rumah kecil adalah hal terbaik untukku.
"Menik, entah bagaimana perasaan Simbah kalau tahu aku ha—"
"Heh, ngapain kalian di sana?"
Sebuah teguran mengaggetkan kami. Terlampau asyik mengobrol membuat kami lupa diri dan melangkah ke halaman utama. Di depan kami ada tiga pembantu bertampang galak dan Santika muncul di antara mereka. Matanya memandang tajam ke arahku dengan tatapan membunuh.
.
.
.Bab baru di Karyakarsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Kedua
RomanceBersetting tahun 1990-an, cerita ini akan membawa kisah Bening yang penuh lika liku dan pernikahannya yang berakhir tragis dengan Jagat.