Bab 21

1.2K 283 12
                                    

Santika berteriak tapi suaranya tidak keluar karena cengkeraman tanganku di lehernya. Pikiranku kosong, nafsu membunuh menguasaiku. Perempuan ini harus mati, tidak boleh lagi ada di dunia dan menghirup udara yang sama denganku.

"Kamu sudah pernah keguguran, kamu tahu rasanya sakit kehilangan anak. Tapi, ka-kamu membunuh anakku! Perempuan laknat!"

Beberapa orang memisahkan kami, dengan sedikit paksaan aku berhasil ditarik oleh mereka. Tentu saja aku memberontak, masih ingin mencekik Santika.

"Lepaskan akuu! Kalian semua minggir! Aku akan membunuh perempuan laknat ini!"

Terduduk di kursi sambil terbatuk-batuk, wajah Santika memerah. Seorang perempuan menyodorkan air minum untuknya dan Santika menepisnya hingga mug itu jatuh ke lantai dan isinya tumpah kemana-mana. Santika bangkit perlahan, matanya menatapku nyalang. Teriakannya keras seakan menembus langit.

"Pegang diaa! Jangan sampai lepaas!"

Beberapa orang kini memegangku dan Santika setengah berlari menghampiriku untuk melayangkan pukulan. Di wajah, di perut, menjambak rambutku dan merobek daster yang aku pakai hingga compang-camping. Memukul terus menerus sementara aku tidak bisa membalas.

"Perempuan Setan! Ingin membunuhku? Kamu pikir kamu hebat apa? Rasakan ini! Perempuan miskin tidak tahu diri. Sudah bagus aku memberimu makan dan tempat tinggal. Bisa-bisanya kau ingin membunuhku, haah!"

Santika meraih mug yang isinya telah tumpah dan memukulkan ke sisi kepalaku. Mataku seketika berkunang-kunang, darah mengalir di pelipis dan lubang hidung, membuat kepalaku pusing dan seketika ambruk ke lantai. Aku tidak boleh menyerah, harus tetap berdiri. Santika harus mati. Dari arah pintu serombongan orang masuk dari sudut mata aku melihat Jagad.

Akhirnya laki-laki itu pulang. Jagad harus tahu kalau Santika yang membunuh anak kami. Jagad harus menghukum Santika. Aku berusaha memanggilnya tapi Santika menginjak perutku lalu berpindah ke kaki dan tidak peduli aku yang merintih kesakitan.

"Apa-apaan ini?" Suara Jagad menggema di ruangan.

Santika menunjuk ke arahku yang terkapar. "Kamu tanya pada Perempuan Miskin itu, apa yang sudah dilakukannya padaku. Pak, dia ingin membunuhku. Mencekikku dengan membabi buta, lihat leherku! Semua orang di sini jadi saksinya saat dia kesurupan!"

Jagad memeriksa leher Santika dan aku berusaha untuk bersuara memanggilnya. Jagad, kamu harus mendengarku. Anak kita mati dibunuh. Jagaad, aku tidak peduli betapa keras dan kejamnya kamu, tapi kali ini harus membelaku. Jangan percaya pada Santika. Dia itu ular, iblis betina, dan pembunuh!

Harusnya aku tahu kalau Jagad tidak bisa diharapkan. Tentu saja dia lebih percaya istrinya dari pada aku. Bukankah aku berstatus sama dengan Santika? Sama-sama istri tapi kenapa harus berbeda? Rupanya harta menjadi pembeda. Selanjutnya yang aku ingat adalah Jagad menghajarku lebih keras dan nyaris merontokkan tulang-tulangku.

"Perempuan tidak bergunaa! Bahkan melahirkan anak pun kau ndak bisa. Malah berulah!"

Dalam keadaan setengah pingsan aku diseret pergi dari rumah besar ini. Pemandangan terakhir yang aku lihat adalah Santika yang tersenyum sinis, dan Jagad yang berkacak pinggang dengan marah. Aku memejam, sementara tubuhku diseret keluar. Dilemparkan begitu saja ke halaman yang kini berhujan dan dibiarkan berbasah-basahan. Mungkin maksud Jagad adalah agar aku mati kedinginan. Aku mengerang, sama sekali tidak ingin menangis. Penderitaan dan rasa sakit ini kurasakan dengan nikmat, berharap aku mati segera. Saat pandanganku menggelap, aku tersenyum. Akhirnya mati dan bisa bertemu dengan ibuku.

Suara kicau burung membuatku tersadar. Aku mengerjap, sangat berharap sekarang ada di surga. Di neraka pun tidak apa-apa, asalkan tidak kembali ke dunia yang kejam.Tapi khayalan memang terlalu indah untuk jadi nyata. Suara Menik membuyarkan semua keinginan.

"Mbak Bening, sudah sadar?"

Kepala sakit, tubuh nyeri, dan bibirku sakit. Saat membuka mata, Menik dan Lasmi berdiri menatapku kuatir.

"Akhirnya, Mbak sadar. Ayo, minum dulu."

Menik berusaha menyangga tubuhku, memberiku minum sedikit demi sedikit.

"Menik, aku ndak mati?"

"Ndak, Mbak. Masih hidup biarpun tubuh luka-luka dan tulang remuk. Untungnya Pak Sutrisno datang tepat waktu dan gendong Mbak pulang. Kalau ndak, entah apa yang terjadi."

Aku terdiam, memikirkan kejadian semalam. Rupanya Sutrisno yang menolongku. Sepertinya Jagad dan Santika memang berniat membiarkanku mati di bawah hujan. Apakah mereka sudah tahu kalau aku masih hidup?

Selama beberapa hari aku dirawat, dengan obat-obatan dan makanan seadanya. Jagad memerintahkan semua orang tidak boleh mendekatiku. Santika melarang semua orang untuk memberiku makanan.

"Perempuan pembunuh itu layak mati kelaparan!"

Itu yang diteriakkannya saat memasang pagar tinggi yang menjadi tembok pemisah antara tempat tinggal kami. Sekarang, aku benar-benar terisolasi. Tidak bisa lagi keluar masuk seeanaknya. Satu-satunya jalan keluar hanya pintu kecil yang mengarah ke sawah. Pasangan suami istri itu memang berencana membunuhku perlahan.

Aku tidak masalah kalau mati karena kelaparan, tapi tidak dengan Menik dan Lasmi. Mereka masih muda dan tidak bersalah. Tidak boleh ikut menderita bersamaku. Saat Sutrisno datang menjenguk, aku menyerahkan uang padanya.

"Bantu aku beli obat dan makanan. Jangan lupa ambil beberapa untuk membeli obat anakmu."

Sutrisno menangis, bersimpuh di dekat kursi yang kududuki. Meratap sedih karena melihat keadaanku.

"Dalam keadaan seperti ini, Mbak Bening masih memikirkan nasib anakku. Terima kasih, Mbak!"

Entah apa yang mendasariku berbuat baik, tapi anak Sutrisno masih kecil. Nyawanya masih layak diselamatkan dari pada aku yang tidak berguna ini. Apa gunanya aku hidup kalau terus menerus berkubang dalam rasa benci dan penderitaan. Mengepalkan tangan yang masih nyeri, aku memikirkan Santika dan Jagad. Perasaan benci menguasaiku seketika. Tidak tahu bagaimana caranya membalas dendam pada mereka.

Santika yang membunuh bayiku, tapi Jagad tidak kalah kejam dengan menganiayaku. Baginya ku tidak lebih dari seonggok sampah yang harus dibuang. Perasaan ini, campuran antara dendam dan benci menggerogoti hati. Setelah beristirahat beberapa hari, luka-lukaku mulai pulih. Sutrisno membawa salep yang katanya adalah racikan seseorang.

"Menik, aku rasa waktunya kita bertindak," ujarku pada Menik suatu sore.

"Mbak Bening punya rencana apa kalau begitu?"

Menik menatapku dengan prihatin. Aku memang sering dipukul oleh Jagad tapi apa yang terjadi kali ini lebih parah dari biasanya. Tangan dan kakiku nyaris patah.

"Menik, kamu tahu Simbok yang jualan bunga di pasar bukan?"

"Simbok Darmi? Tentu saja saya tahu. Kenapa dengan dia, Mbak?"

"Setelah kuat berjalan, aku ingin meninggalkan tempat ini dan tinggal bersama Mbok Darmi."

"Hah, mau jualan bunga di pasar juga, Mbak?"

Aku mengangguk, enggan menjelaskan panjang lebar pada Menik. Biarkan dia kebingungan dengan niatku untuk tinggal bersama Mbok Darmi. Orang-orang tidak ada yang tahu kemampuan tersembunyi yang dimilik perempuan penjual bunga itu. Dengan semua keahliannya, Mbok Darmi akan membantuku mencapai apa yang aku inginkan dari rumah ini.

Menghela napas panjang, aku mengernyit saat dada terasa sakit. Mbok Darmi pasti mau menampungku. Perempuan itu pernah mengatakan, sudah menganggapku sebagai anak sendiri. Sekarang adalah menemukan alasan yang tepat untuk keluar dari sini. Meskipun aku tidak yakin kalau Jagad ingin tahu alasanku pergi. Pasti laki-laki itu senang kalau aku menghilang.

"Menik, kumpulkan semua uang dan perhiasan."

Menik tanpa kata mengangguk. Rupanya dia mengerti kalau aku sedang merencakan sesuatu. Pembalasan dendam akan kumulai tapi sebelum sampai ke tahap itu, aku harus banyak belajar. Menjadi Bening yang lain, bukan perempuan lemah seperti sekarang.

Perempuan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang