Bab 18

1.1K 243 13
                                    

Aku sama sekali tidak berniat untuk bertengkar apalagi berdebat dengan Santika. Tapi kedatangan perempuan itu tidak dapat kutolak. Matanya terbelalak saat melihat box untuk tempat tidur bayi terletak di sudut. Ia menghampiri box itu dan menggoyangnya perlahan.

"Benda-benda seperti ini yang selalu aku inginkan dari dulu tapi ndak kunjung kudapatkan. Bukan ndak mampu membeli, hanya saja ndak punya anak untuk kebelikan."

Meneggakkan tubuh, Santika melepas genggamannya dari box bayi dan menatapku lekat-lekat. "Kamu cantik dan muda, pantas saja kalau cepat hamil. Meskipun umurmu bisa dikatakan terlalu muda untuk jadi ibu."

Kata-kata Santika yang lembut membuatku tercenung. Merasa aku salah dengar tapi dia meneruskan perkataannya.

"Saat suamiku membawamu kemari, tentu saja aku menolak. Dia membujukku kalau menikahimu hanya demi mendapatkan anak. Aku percaya awalnya, mengingat bagaimana dinginnya dia memperlakukanmu. Ndak pernah protes saat aku menjadikanmu buruh, dan ndak membela saat aku memakimu. Hahaha, kamu memang hanya perempuan pemuas nafsu suamiku. Terus terang ndak masalah kalau aku harus berbagi suami, asalkan hanya tubuh dan bukan hati."

Santika mendekat, aku tanpa sadar mundur. Jarinya yang lentik dengan kuku yang panjang dan terawat sedikit menakutkan. Bagaimana kalau tiba-tiba dia mengayunkan tangan dan mencakarku? Tidak ada harapan untuk berkelit. Sebelum hal itu terjadi, lebih baik aku berjaga-jaga.

"Kenapa Bening? Takut padaku?" ucap Santika sambil tersenyum. "Ndak aneh kalau kamu takut, mengingat selama ini kita ndak pernah akur satu sama lain. Tapi ndak usah kuatir, mulai sekarang semua akan berubah. Aku belajar untuk menerima kalau bayi yang kamu kandung adalah bayiku, dan kamu hanya mengandungnya saja."

Tanganku mengusap perut dengan posesif. Klaim yang diucapkan Santika untuk anak yang belum lahir, membuatku ketakutan.

"Sekarang aku ndak akan sakiti kamu. Justru ingin kamu tetap sehat agar anak kita nanti lahir sehat. Dokter sudah tahu belum jenis kelamin anak itu?"

Aku menggeleng. "Belum tahu, masih terlalu dini."

Santika lagi-lagi tersenyum, mengamatiku dari atas ke bawah lekat-lekat. Penampilanku dalam balutan daster sederhana harusnya bukan hal yang menarik untuk dilihat. Setelah itu dia menggeledah rumah, berkomentar tentang dapur kecil dengan peralatan memasak yang komplit. Juga barang-barang elektronik lainnya yang ada di rumah.

"Aku menemukan kotak perhiasan, tadinya aku pikir suamiku membeli untukku. Tapi ternyata aku salah, kotak itu menghilang di keesokan hari dan ternyata ada di sana," ucap Santika sambil menunjuk meja rias di dalam kamar. "Ndak masalah, yang penting kamu bahagia, lahir anak dengan selamat maka aku pun bahagia."

Santika kembali menatapku, terutama di bagian perut. "Mulai sekarang, Menik jangan memasak. Dia ndak bisa bikin masakan lezat."

Aku menggeleng. "Nyonya, masakan Menik cukup lumayan."

Melambaikan tangan, Santika memberi tanda agar aku diam dan tidak membantah. "Suami kita sudah memberi perintah agar aku juga ikut memperhatikan kesehatanmu. Ndak merepotkan untukku. Hanya menambah jatah untukmu saja. Menik dan Lasmi biar saja tetap masak kalau mereka ndak mau makan di rumah utama. Tapi kamu harus makan makanan yang bergizi. Aku ndak mau kamu jadi ibu hamil yang kurang gizi!"

Awalnya aku tidak percaya kalau Santika berubah menjadi baik, tapi begitulah kenyataannya. Semenjak saat itu, setiap pagi Menik datang ke rumah utama untuk mengambil makanan khusus untukku. Dari mulai sop daging, pepes ikan, sampai tumis sayur yang enak. Sesekali mereka memanggang ayam yang gurih dan lezat. Dalam sekejap berat badanku naik beberapa kilo, terutama setelah aku tidak lagi mual dan muntah.

"Aku senang lihat kamu sekarang, jadi gemuk dan makin cantik," puji Jagad saat menengokku suatu malam. Laki-laki itu merebahkan kepala di perutku yang mulai membuncit. "Anak kita harus lahir sehat, makanya kamu makan harus banyak."

"Iya, Ndoro. Masakan koki rumah utama sangat lezat," pujiku.

Jagad tertawa. "Memang, dan aku juga diberitahu oleh Santika kalau dia yang secara khusus menyusun menu untukmu. Aku sudah menduga kalau dia akan ikut senang, karena bagaimana pun kelak anak ini akan berada di bawah asuhannya."

Aku tidak dapat tertawa membayangkan itu terjadi, tapi tidak ingin menunjukkan kesedihan di depan Jagad. Laki-laki itu mengeluarkan kotak berisi perhiasan dan menyerahkan padaku.

"Ini untuk hadiah."

Menerima kotak dengan senyum terkembang, aku memuji indahnya bentuk perhiasan emas di dalam kotak. "Terima kasih, Ndoro."

"Aku juga sudah rundingan sama Santika, tentang tanah bagian mana yang akan menjadi namamu."

Mataku terbelalak saat mendengarnya. "Maksud, Ndoro?"

"Awalnya aku ingin kita tinggal ndak jauh dari sini tapi Santikan ndak setuju. Anak pertama dia akan mengurus sendiri dan kamu ndak boleh ikut campur, karena itu kamu harus tinggal jauh dari sini setelah anakmu lahir. Bagaimana kalau rumah di dekat kebun? Kamu mau, Bening?"

Itu bukan pertanyaan melainkan keputusan yang tidak dapat aku ganggu gugat. Laki-laki yang selama ini merasa sebagai suamiku, tidak lebih dari juragan otoriter. Apa yang bisa aku lakukan selain menerima? Tidak ada pilihan lain untuk itu.

Kehamilanku ini sudah diketahui banyak orang. Terkadang tamu datang dan minum tuak bersama Jagad. Dengan suara lantang Jagad mengatakan akan punya anak dan kelak kalau lahir akan membuat pesta tujuh hari tujuh malam.

"Anak itu kelak akan mewarisi seluruh hartaku!"

Semua orang memuji kemujuranku meski tidak begitu rasanya. Menikah dengan Jagad sama sekali bukan kemujuran untukku melainkan bencana untuk masa depan dan hidupku.

Hari demu hari berlalu, Santika kini menambah jamu untukku setiap hari. Makanan lezat tetap ada tapi jamu yang diminum setiap hari ada dua botol. Santika melarangku membeli jamu dari Mbok Darmi, mengatakan kalau jamu langganannya lebih enak.

Sesungguhnya tidak demikian. Tetap saja bagiku jamu buatan Mbok Darmi yang terasa segar dan menyehatkan. Tapi aku tidak berani menolak perintah Santika. Dalam sekejap satu bulan sudah Santika melayaniku dan perutku makin membesar.

Hingga terjadi hal yang membuatku kuatir, karena perutku terus menerus sakit. Aku mengadu pada Jagad dan laki-laki itu ingin membawaku ke dokter tapi Santika melarang.

"Jangan dikit-dikit dokter. Kita ada jamu traditional yang bebas bahan kimia. Minumlah Bening, rasa sakitnya pasti hilang."

Aku menerima gelas darinya, rasa jamu kali ini sangat pahit dan anehnya rasa nyeriku mereda.

"Lihat'kan, dia baik-baik saja. Jangan terlalu kuatir. Mungkin Bening hanya lelah."

Jamu pahit yang diberikan Santika datang tiap hari. Katanya untuk berjaga-jaga kalau aku kesakitan. Awalnya aku meminum itu saat rasa sakit kembali menyerang, tapi suatu malam rasa sakit tidak tertahan. Aku berteriak di kamar mandi saat melihat darah di lantai. Menik ikut berteriak dan memanggil Jagad.

Melihatku berlumuran darah, Jagad dengan segera menggendongku ke mobil dan melarikanku ke rumah sakit. Sepanjang jalan aku meraung kesakitan, hingga tiba di IGD aku diperiksa oleh dokter dan dinyatakan harus kuret karena keguguran.

"Tidaaak! Itu ndaak mungkin. Anakku baik-baik saja!"

Aku meronta di atas ranjang, menangis histeris saat menyadari anakku hilang. Seharusnya tidak begini, karena selama ini aku sehat saja. Dokter yang melihatku histeris menyuntikkan obat penenang dan tidak butuh lama aku jatuh dalam tidur yang panjang dan bibir tanpa sadar bergetar.

"Anakku, maafkan ibu."
.
.
.Tersedia di Karyakarsa dan Google playbook.

Perempuan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang