Di bulan ketujuh pernikahanku dengan Jagad, aku menerima tamu. Tidak lain tidak bukan adalah ayahku sendiri. Laki-laki itu menyeringai ke arahku dengan raut wajah gembira tapi menjijikan untuk dilihat. Apakah ini salah satu karma dari Tuhan untukku, mempunyai ayah yang lebih mirip germo dari pada orang tua?
Aku mengajaknya duduk di teras rumah, tidak ingin dia masuk ke dalam kamar. Dari kejauhan terlihat Santika yang mengawasi kami. Tidak heran kalau perempuan itu curiga, karena aku pun merasakan hal yang sama. Kedatangan ayahku sama sekali tidak membuat senang. Entah apa yang diinginkan laki-laki itu.
"Nduk, rumahmu bagus. Meskipun kecil."
Suara ayah terdengar lembut, sungguh mengejutkan mendengarnya.
"Kata orang-orang kamu dapat posisi bagus di perkebunan? Gimana, Nduk? Apa kamu sudah berhasil memikat hati Ndoro Jagad?"
Pandangan kami bertemu dan dari seringainya aku bisa tahu kalau sama sekali tidak ada ketulusan di sana. Ayahku pasti menginginkan sesuatu dan lebih baik menunggu dia mengatakannya. Seseorang seperti ayah tidak mungkin datang jauh-jauh hanya untuk bertanya kabar. Kalau aku saja bisa dijual demi bayar utang, maka tidak mungkin ada cinta di hatinya layaknya ayah pada anak. Kisah manis seperti itu hanya ada dalam dongeng.
Melihatku hanya diam, ayah menyeringai sekali lagi lalu berdehem. "Sebenarnya aku datang ingin minta bantuanmu, Nduk. Karena kamu sudah hidup senang di sini, sudah jadi nyonya kaya, apa ndak bisa kamu ngasih aku uang? Kondisi sawah sedang ndak bagus, banyak hama dan gagal panen. Piye, Nduk. Kamu ada tabungan ndak buat aku?"
Tanpa bertanya apakah aku baik-baik saja, apakah Jagad memperlakukanku dengan baik, ayah hanya bicara tentang uang dan dirinya sendiri. Tidak mengherankan tapi tetap saja membuat hatiku sakit. Aku berharap lebih baik tidak punya ayah dari pada dijadikan sapi perah. Aku melengos, menatap Menik yang berdiri cemas di kejauhan. Beberapa pembantu Santika mondar-mandir tidak jauh dari tempat kami duduk. Bisa dipastikan, mereka diperintah untuk mencuri dengar pembicaraan kami.
"Kenapa kamu diam, Bening? Kamu ndak tuli'kan?"
Suara ayah meninggi, aku menatapnya lekat-lekat dan menjawab dengan perasaan hampa. "Kalau kamu ingin uang, kenapa ndak minta langsung sama Ndoro Jagad?"
Ayah menggeleng cepat. "Sudah, tapi ndak dikasih. Katanya karena kamu belum hamil. Kenapa bisa kamu belum hamil? Kamu masih muda, harusnya dalam waktu satu dua bulan sudah hamil. Ini berbulan-bulan malah ndak hamil. Ingat, jangan sampai kamu mandul! Kalau itu terjadi, kamu bisa dijual sama Ndoro Jagad!"
Tidak ingin mendengar perkataannya, aku bangkit dari teras dan masuk ke kamar lalu mengunci pintu. Terdengar teriakan dan sumpah serapah dari teras dan aku mengabaikannya.
"BENIING! BUKAN PINTU! ANAK KURANG AJAR! ORANG TUA BICARA BELUM SELESAI MALAH DITINGGAL! MANA UANGNYA, BENIING!"
Ayah terus menggedor pintu dan aku duduk memperhatikan bagaimana benda kayu itu bergetar. Sumpah serapah terdengar makin kasar dan membuat hati sakit. Menghela napas panjang, aku menutup telinga dengan dua tangan, berharap kalau gedoran dan teriakan selesai lebih cepat. Hingga terdengar suara Santika yang melengking dan mengusir ayahku.
"Pergi kamu Mulyoharjo! Jangan datang lagi dan merusak rumahku!"
"Ndoro Santika, saya mau ketemu anak."
"Anakmu durhaka, ndak mau ketemu kamu. Pulaaang!"
Setelah ayahku berhasil diusir pergi, Santika menyuruhku keluar dan memakiku tiada henti. Sepanjang sore aku menerima semua caci maki dan hinaan darinya dalam diam. Tidak ada lagi tenaga hanya untuk sekedar menjawab, semua sirna karena kelelahan dalam dada menghadapi orang-orang di sekitarku.
Malamnya Jagad mendatangiku, dan membuat hatinya berdebar tidak menentu. Laki-laki itu pasti sudah mendengar kalau ayahku datang dan keributan yang ditimbulkannya. Entah hukuman apalagi yang akan aku terima untuk kesalahan yang bukan aku lakukan.
"Ayahmu datang kemari, Bening?" tanyanya sambil meletakkan ikat pinggang yang baru dilepasnya ke atas meja. Bulu kudukku meremang seketika.
"Iya, Ndoro," jawabku takut-takut.
Jagad menatapku tajam. Matanya seolah ingin menelanjangi dan menusukku. "Dia mau uang dari kamu?"
Kali ini aku mengangguk. "Iya, Ndoro."
"Kenapa kamu ndak beri?"
"Ndak ada uang, Ndoro."
Jagad mendatangiku, mengangkat daguku dan mencengkeramnya. "Aku memberimu uang, kamu kemanakan?"
Aku meneguk ludah. Jagad tidak boleh tahu kalau uang itu aku kirimkan ke Simbah. Dia tidak boleh tahu tentang itu atau aku akan dibunuhnya.
"Untuk be-belanja, Ndoro," jawabku gugup.
"Belanja apa?"
"Ge-gelang emas dan juga bayar utang ke Ndoro Santika."
Maksudku adalah mengembalikan uang kerugian jeruk waktu itu. Jagad melepaskan cengkeramannya secara tiba-tiba, meraih bagian belakang kepalaku dan melumat bibirku dengan paksa. Aroma tembakau membuatku mual tapi aku menahannya. Dengkusannya terdengar keras di telinga saat dia mengoyak dengan paksa pakaianku dan tanpa kemesraan memasukkan kejantanannya ke tubuhku. Rasanya sakit luar biasa dan aku hanya bisa menggigit bibir saat laki-laki itu bergerak di atasku. Yang kuharapkan adalah semua siksaan ini cepat berakhir, tapi entah kenapa malam ini terasa sangat lama dan tubuhku hampir tidak bertenaga saat dia selesai.
Aku pernah membaca di novel, kalau percintaan sepasang laki-laki dan perempuan harusnya indah. Tapi kenyataannya tidak lebih dari aktifitas yang menyiksa dan menyakitkan untukku. Aku benci dan jijik saat tubuhku dijamah, dan berharap kalau Jagad tidak lagi mendatangiku.
Suatu hari aku tubuhku meriang dan perut mual. Menik mengerok punggungku dan mengolesi minyak hangat.
"Masuk angin, Mbak. Makanya kalau malam langsung tidur, jangan baca buku terus."
Aku memaksakan diri tetap ke kebun meskipun Menik melarang. Tidak bisa berleha-leha di rumah atau Santika akan membunuhku. Sutrisno juga melihat wajahku yang pucat dan berujar kuatir.
"Duduk aja, Mbak. Biar kami yang kerja. Jangan sampai sakit."
Nyatanya kekuatiran mereka beralasan, karena sorenya aku pingsan. Seorang mantri didatangkan untuk memeriksaku dan meminta agar aku dibawa ke rumah sakit karena kondisiku yang lemah dan muntah terus menerus. Jagad yang membawaku dengan mobilnya, didampingi Menik serta Sutrisno. Aku diperiksa di IGD dan hasilnya sungguh mengejutkan.
"Selamat Ndoro Jagad. Anda akan jadi ayah."
Kata-kata dokter jaga yang diucapkan untuk Jagad membuat semua orang terkejut. Jagad tidak bisa menahan rasa bahagia, menyalami dokter laki-laki itu dengan penuh semangat.
"Terima kasih, Dok."
Aku memejam di atas ranjang, mendengarkan percakapan Jagad dengan dokter dan suster. Mereka memberikan obat, vitamin, dan segala macam untukku. Jagad bergembira dan mentraktir semua orang dengan memberikan dua peti jeruk segar yang baru dipetik pada staf rumah sakit.
Masih dengan mata terpejam, aku mengusap perut. Tidak percaya ada anak di dalam kandunganku. Anak yang menyelamatkanku dari ancaman akan dijual. Satu sisi aku sedih karena di usia muda sudah mengandung, tapi di sisi lain aku lega. Dengan adanya anak ini, aku akan selamat.
"Nak, kamu bersama ibu sekarang. Sehat-sehat, ya?" bisikku sambil terus mengusap perut.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 48.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Kedua
RomanceBersetting tahun 1990-an, cerita ini akan membawa kisah Bening yang penuh lika liku dan pernikahannya yang berakhir tragis dengan Jagat.