Bab 11

1.2K 267 7
                                    

Peristiwa tentang jeruk busuk berbuntut panjang, tadinya aku pikir hanya selesai di Santika. Tapi ternyata dugaanku salah, Jagad pun tahu masalah ini dan bisa dibayangkan akibatnya. Dia menghajarku habis-habisan dengan ikat pinggang, membuat tubuhku memar-memar. Rasa sakit yang kurasakan tidak bisa dibayangkan, dan menangis pun tidak lagi membuatku tertolong. Setelah dihajar, aku hanya bisa berbaring tidak berdaya di ranjang selama dua hari. Santika datang untuk mengomeliku dan di hari ketiga memaksaku merangkak dari tempat tidur untuk bekerja di kebun. Sekali lagi aku mengutuk Tuhan karena menggariskan hidupku dalam penderitaan, padahal aku baru saja memuja dan memuji-Nya. Ternyata Tuhan tidak baik padaku, mungkin karena aku bukan umat yang taat.

Satu hal yang membuatku bahagia setelah penderitaan panjang adalah kabar dari Sutrisno yang mengatakan Simbah sudah menerima uang dariku. Selembar foto di mana Simbah menggenggam uang aku terima. Air mata berlinang tiada kira. Penderitaanku karena membela Sutrisno membawa hasil yang memuaskan.

Sikap orang-orang perkebunan sangat berubah sekarang, mereka menghormati dan menghargaiku. Perlahan tapi pasti, aku membuat orang-orang itu mempercayaiku, bahkan dalam kondisi apa pun, aku akan selalu ada untuk mereka. Dalam sekejap, aku sudah berada enam bulan di rumah Jagad dan selama itu pula tidak ada tanda-tanda kehamilan dariku. Entah ini sebuah kutukan atau anugerah, aku tidak tahu.

Setelah luka-lukaku sembuh dan situasi perkebunan normal, aku meminta ijin pada Jagad untuk keluar jalan-jalan ke pasar. Tidak masalah kalau harus dijaga banyak orang, yang terpenting aku bisa menghirup udara segar. Di luar dugaan, Jagad mengabulkan permintaanku.

"Kamu ke pasar, beli baju baru, dalemanm baru, dan juga wangi-wangian. Pakai saat aku datang, biar kamu cepat hamil!"

Semua yang aku lakukan harus demi dia. Tanpa bantahan aku iyakan. Pergi ke pasar ditemani Menik dan juga dua anak buah Jagad. Pertama kalinya aku berada di keramaian dengan banyak pedagang dan pembeli. Menik tidak dapat menahan pekikannya.

"Mbaak, kita beli ini!" Menik menunjuk rok kembang-kembang warna biru muda yang cantik. "Pakai ini pasti Mbak Bening makin cantik."

Aku menatap rok itu penuh harap dan sepakat dengan kata-kata Menik. Setelah memastikan ukurannya sesuai, aku membelinya. Menik memaksaku untuk berganti pakaian lusuhku dengan rok baru.

"Ada kamar mandi umum, masuk sana, Mbak. Ganti pakaian aku tunggu."

"Ndak, ah. Malu!"

"Malu sama siapa. Ndak ada yang tahu. Sana, Mbak! Cepat!"

Aku memutuskan untu mengikuti saran Menik. Mengganti pakaian dengan yang baru dan mencuci muka. Saat keluar Menik tersenyum bahagia.

"Cantiknyaa!"

Kami melanjutkan perjalanan dan Menik benar, rok biru cocok untukku. Sepanjang jalan orang-orang memperhatikanku dan Menik dengan nada menggoda mengatakan kalau wajahku menarik perhatian banyak orang terutama laki-laki.

Langkahku terhenti di kios buku. Ada banyak buku bekas terhampar di tanah beralas plastik. Aku mengambil beberapa dan membacanya, Buku-buku ini menarik minatku, tentang perkebunan, pertanian, dan ada juga novel. Aku mengambil tiga buku dan menawarnya. Si penjual tidak mau turun harga sedangkan uangku tidak cukup untuk semua buku itu. Saat aku hendak menyerah, satu suara membuatku mendongak.

"Jangan mahal-mahal jualan Pak Lek. Buku ini bekas semua, toh."

"Bekas juga pakai modal, Le!"

"Tetap aja kalau mahal ndak masuk kantong pelajar. Ayolah, Pak Lek. Kasihan temanku ini, biar jadi langganan."

Aku terpaku pada wajah tampan yang beberapa waktu belakang hilang timbul dalam ingatan. Segara dalam balutan kemeja biru menatapku sambil tersenyum dan mengacungkan dua jempol.

"Ambil semua bukunya, Mbak. Pak Lek ngasih harga pas buat kamu."

Membayar dengan cepat dan senang, aku mengangguk pada Segar. "Terima kasih."

Segara menggeleng, rambut hitamnya sedikit panjang melawati dahi. "Ndak apa-apa, udah biasa saling bantu."

Tanpa basa-basi yang lain, Segara menghilang di keramaian. Meninggalkan aku yang terdiam sendirian di dekat kios buku. Rasanya seperti tidur dan bermimpi singkat tentang sesuatu yang menyenangkan. Tanpa sadar aku tersenyum dan menatap buku di tangan.

"Mbak, baju kalian tadi kembaran loh," bisik Menik.

"Baju siapa, Menik?"

"Mbak Bening sama Mas Segara, sama-sama biru. Kayak janjian, hihihi!"

Untungnya dua penjaga Jagad sedang sibuk melihat-lihat jadi tidak terlalu memperhatikan kami. Aku tidak mau Segara mendapatkan masalah dari Jagad hanya karena bicara padaku. Merogoh uang di saku dan tinggal beberapa ribu rupiah saja, aku ingin pulang.

"Ayo, mampir. Bunga mawarnya mekar-mekar."

"Mampir, Nduk. Cah Ayu, bunganya cantik. Dari pagi belum ada yang beli."

Seorang perempuan yang mengingatkanku akan Simbah sedang menjajakn bunga di kiosnya yang kecil. Terbuat dari bambu, kios itu sudah nyaris runtuh karena cuaca dan lapuk. Perempuan itu memakai kain dan kebaya yang lusuh dengan wajah keriput. Ada bermacam-macam bunga yang sepertinya untuk orang datang ke pusara. Mawar yang dijajakannya masih bertangkai. Jenis yang bisa didapatkan di kebun-kebun, tapi wajah perempuan itu membuatku trenyuh. Tanpa sadar aku menghampiri dan memberikan semua sisa uangku.

"Beli bunganya, Mbok!"

Perempuan itu menatapku lekat-lekat dengan tangan membuka untuk menerima uang. Tak lama senyum samar muncul di bibirnya.

"Kamu istri kedua Ndoro Jagad?"

Aku mengerjap kaget. "Simbok tahu aku?"

"Ndak tahu secara persis, tapi saat kamu menikah aku datang buah ngasih bunga untuk pengantin. Jadi sekarang aku ingat. Piye, Nduk. Seneng ndak jadi istri Ndoro Jagad?"

Terdiam sesaat, aku melihat perempuan tua itu terkekeh. Memasukkan beberapa batang bunga ke dalam kantong dan menyerahkannya padaku.

"Aku tahu gimana rasanya jadi istri kedua, karena dulu aku pun sama. Sebelum akhirnya suamiku meninggal, keadaan sangat runyam antar istri saling tikam. Suamiku juga kaya, punya tiga istri dan aku jadi nomor dua. Sampai akhirnya, suamiku memilihku dan menceraikan dua istri lainnya. Kalau kamu ingin tahu apa resepku? Datanglah lagi kemari, aku akan ajari caranya memikat suami."

Simbok penjual bunga yang ternyata bernama Darmi mengusap pipiku dengan lembut. Diamati dari dekat, meskipun sudah tua tapi sisa-sisa kecantikan terlihat jelas di wajahnya.

"Salah satu senjata andalan perempuan itu tubuhnya, Nduk. Kamu itu cantik, tubuhmu berbentuk dan bagus. Harusnya kamu bisa gunakan untuk memikat suamimu. Tapi, aku tahu kalau kamu ndak bisa karena belum pengalaman. Hari ini kamu sudah bantu aku, kalau kamu ndak beli bunga, aku pulang ndak bawa uang. Lain kali, datang lagi, ya? Aku ajari caranya gratis!"

Dengan kantong berisi bunga di tangan, aku sibuk memikirkan kata-kata Mbok Darmi. Apa maksudnya dengan mengajari tentang memikat laki-laki? Kalau bisa, aku bahkan ingin menjauh dari Jagad dan bukan malah memikatnya. Meski begitu aku tetap mengucapkan terima kasih sebelum pergi. Orang tua yang aneh tapi baik, entah akan bertemu lagi atau tidak.
.
.
Di karyakarsa upadate bab 48

Perempuan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang