Bab 8

1.2K 237 8
                                    

Setelah luka-lukaku sembuh dan tidak terlalu nyeri, aku diperintahkan untuk kerja di kebun jeruk bersama para pekerja yang lain. Menik yang seharusnya bekerja di rumah, rela ikut bersamaku. Katanya untuk menjagaku kalau sakit atau ada kondisi tertentu. Gadis yang baik dan setia, aku merasa tidak layak menjadi majikannya. Menik harusnya bekerja di tempat lain yang lebih baik, dengan majikan yang bisa memperlakukannya lebih manusiawi. Sayangnya, aku hanya bisa mengenang kebaikan Menik dalam hati, tidak bisa mengungkapkan sekarang karena tidak bisa memberinya apa-apa selain uluran tangan dan tanda terima kasih untuk persahabatan yang ditawarkannya tanpa pamrih. Aku berjanji dalam hati, kalau suatu saat hidup senang maka Menik.

Tidak ada yang tahu berapa hektar kebun jeruk milik Jagad. Sejauh mata memandang pohon jeruk dengan buah yang lebat menggantung di dahan. Ada puluhan buruh yang bekerja bersamaku. Tidak ada seorang pun dari mereka yang tahu kalau aku istri Jagad. Barangkali itu bukan hal yang harus diberitahukan pada semua orang. Menjadi istri kedua dan tidak diinginkan dari laki-laki arigan bukan hal istimewa. Setidaknya untukku yang diperlakukan layaknya pelacur dan kini buruh oleh mereka.

Berdiri kebingungan di bawah pohon dengan keranjang besar di tangan, aku mengawasi bagaimana orang-orang bekerja. Mereka dengan cekatan menggunakan gunting khusus dan memasukkan jeruk ke dalam keranjang. Memilih mana yang sudah matang dan belum. Menik mulai ikut bekerja bersama mereka dan saat hendak memulai bekerja, seorang laki-laki membentakku.

"Heh, kamu! Napa malas-malasan di situ! Cepat kerja sana!"

Laki-laki itu memakai kemeja batik merah yang sudah usang dengan celana denim yang sudah pudar warnanya. Melotot ke arahku dan kulitnya yang hitam berkilau karena keringat. Ia mengangguk, enggan memperpanjang masalah. Yakin kalau laki-laki itu adalah mandor di sini.

Bergerak cepat dengan gunting di tangan, aku mulai bekerja. Bersama beberapa buruh lain, bergerak dari satu pohon ke pohon lain. Saat istirahat makan siang, tubuhku rasanya remuk redam dan tanganku pegal. Menik menghampiri dengan sebungkus nasi dan sebotol air.

"Mbak, ini makannya."

"Makasih, Menik."

Sebuah bungkusan yang tidak terlalu besar tapi juga tidak kecil kutimang di tangan. Membuka perlahan aku melihat nasi, tumis pepaya muda dan dua potong tempe. Bukan makanan yang bergizi untuk buruh tapi setidaknya mampu mengisi perut. Aku makan dengan lahap, mencoba menghabiskan semua mengingat bekerja membutuhkan tenaga. Pandanganku tertuju pada beberapa perempuan yang bersenda gurau di bawah pohon. Wajah mereka terlihat cerah dengan kulit terbakar matahari. Seolah tidak peduli kalau baru saja bekerja keras.

Hatiku merintih seketika, teringat akan Simbah. Entah bagaimana keadaannya sekarang semoga ada tetangga atau siapapun yang mengurusnya. Simbah yang sudah tua, seharusnya ada anak cucu mendampingi dan bukan malah hidup sebatang kara.

Tenggorokanku tercekat saat mengingat betapa pedih dan sial nasibku. Tidak pernah terpikir kalau aku yang pintar akan terdampar di tempat seperti ini. Semua gara-gara ayahku.Kini memaki pun tidak lagi membuatku senang. Tubuh yang perih karena luka dan pegal sehabis bekerja, lebih nyaman digunakan untuk berbaring dari pada memaki orang tidak tahu diri.

Selesai bekerja, tubuhku rasanya remuk redam. Malamnya aku merasa bersyukur karena Jagad tidak datang kamar. Saat ini aku belum siap bertemu apalagi melayani nafsu laki-laki itu. Dipikir lagi, aku tidak akan pernah siap sampai kapanpun menerima penghinaan atas tubuhku.

"Mbak pasti capek. Jangan lupa minum jamu."

Menik yang baik, datang malam-malam untuk memberiku beras kencur campuran kunyit.

"Minum selagi hangat, Mbak. Tadi saya tambahkan sedikit jahe juga."

Aku meneguk jamu dengan rakus, demi kenyamanan dan kesehatan tubuh. Tidak boleh sakit atau akan makin sengsara di rumah ini.

"Menik, kamu sudah cape saat siang. Ndak perlu repot-repot ngurus aku."

Menik tersenyum, wajah bulatnya bercahaya karena sinar lampu. Matanya berbinar cerah kala menjawab perkataanku.

"Mbak, kita berdua sama-sama orang luar di sini. Saya ditugaskan untuk jaga, Mbak. Karena itu susah kewajiban untuk melayani."

Menyerahkan gelas kosong pada Menik, aku menggeleng perlahan. "Ndak perlu begitu. Di sini ndak ada ayah yang awasi kamu. Lakukan pekerjaanmu saja, dan jangan capek-capek ngurus aku."

Tanpa disangka, Menik duduk bersimpuh di lantai dengan kepala berada di lututku. Matanya menatapku dengan berkaca-kaca. Aku merasa bersalah karena membuatnya sedih.

"Menik, kenapa?"

"Mbak, saya ndak punya siapa-siapa lagi. Orang tua juga sudah meninggal. Kalau ndak ada Mbak Bening, berarti saya sendirian di dunia. Tolong jangan usir saya, Mbak. Biarkan saya ada di samping Mbak dan melayani sampai kapanpun juga. Saya janji ndak akan cerewet dan merepotkan."

Aku memejam, merasakan kesedihan mendalam. Begini rasanya menjadi orang miskin dan tertindas, dipaksa untuk menjalani kehidupan dalam penderitaan. Aku dan Menik, khanya berusaha untuk tetap hidup sementara orang-orang menekan kami. Kata-kata Menik membuatku bertekad untuk tidak menyerah, setidaknya sekarang selain Simbah ada menik yang membutuhkanku.

Waktu berjalan cepat, tanpa terasa dua Minggu aku menjadi buruh pemetik jeruk. Selama itu pula aku tidak pernah bertemu Jagad dan istrinya. Hal yang bagus untukku, karena tidak sanggup kalau harus berurusan dengan mereka sementara tubuhku dalam keadaan lelah.

Para buruh dibayar mingguan, dan aku pun mendapatkan bagianku. Uang yang lumayan, aku menyimpannya di dalam dompet kecil. Uang itu aku tabung dan rencananya akan aku kirim untuk Simbah. Di sini meskipun diperlakukan seperti budak, setidaknya aku bisa makan sehari tiga kali, tapi Simbah belum tentu seperti itu.

"Kamu cantik, kulit halus, dan rambut juga hitam legam. Tubuh tinggi semampai dengan kaki yang jenjang. Duuh, Cah Ayu. Dari pada jadi buruh, napa ndak jadi istriku saja. Mau ndak sama aku?"

Mandor bernama Sutrisno itu selalu merayuku setiap ada kesempatan. Tentu saja aku tidak menanggapi. Rayuan makin lama makin gencar, hingga suatu saat tangan kanan Jagad mendatangi kebun tempat kami bekerja. Entah apa yang dikatakannya pada Sutrino, tapi laki-laki itu kini menghindariku. Apakah mereka memberitahunya kalau aku istri Jagad?

Sebulan setelah menjadi buruh, dan aku mulai menikmati waktu bekerja. Bercengkrama dengan para perempuan yang lain, mendengar cerita mereka tentang anak dan keluarga. Rasanya menyenangkan karena punya teman. Namun, semua kebahagiaan itu tersapu saat mimpi buruk hadir kembali dalam bentuk Jagad.

Laki-laki itu mendobrak pintu saat aku hendak berganti pakaian. Menatap liar ke tubuhku yang hanya memakai celana dalam dan tanpa kata menyambar dan menindihku ke atas ranjang. Yang aku lakukan hanya diam, tidak melawan, tidak pula menangis, dengan begitu semua penderitaan ini akan cepat selesai.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 36.


Perempuan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang