kalau nyaman

253 34 3
                                    

Baru aja gue masuk dan duduk di kursi penumpang, Jaemin udah langsung nodong gue soal semalam.

“Jadi, hidung lo semalem kenapa?”

Gue noleh, natap dia beberapa detik lalu sibuk benerin seat belt. “Gak sengaja kena siku Wonbin.”

“Ha?? Kok bisa??”

“Bisa, soalnya gue mau ngelerai dia biar gak main hakim sendiri.”

“Ha??”

Sabuk pengaman berhasil dipasang, gue balik mandang Jaemin lagi yang mukanya kelihatan banget kadar penasarannya. “Semalem gue diajak Wonbin ke festival musik kampus sebelah, di tengah acara hp gue dicopet sama orang, pas mau pulang gue nyari hp gue pakai smart things find dan voila, copetnya ketangkep, terus dikejar Wonbin dan dipukulin sama dia.”

“Demi???”

Sia-sia gue ngejelasin sekali tarikan nafas kaya gitu.

“Lovato.” Sambung gue sambil senyum. “Kita mau ke mana?”

“Bentaaar, jangan ganti topik dulu! Tadi lo bilang, lo diajak Wonbin ke festival musik? Semalem? Malam Minggu kemarin??”

Gue mengangguk, dan dia langsung lihat ke depan dan menghela napas. “Gak adil banget, gue berulang kali ngajak lo ngedate serius gak pernah lo tanggepin, giliran ada maba cakep ngajak lo ke mufes lo tanggepin. Ternyata lo emang sememandang fisik itu ya?”

Paling bener emang cuma temenan sama kucing sih, gak ada cemburu-cemburuan kaya gini.

“Cuma nonton doang, bukan kencan.” Ucap gue, meluruskan pikiran dia.

“Kan sama aja, acara kaya gitu kan bisa dijadiin siapapun ajang pendekatan.” Jaemin tiba-tiba nolehin kepala, natap gue dengan serius. “Kalian beli tiket sendiri-sendiri?”

Dan gue menggeleng. “Wonbin yang ngajak, dia lah yang beli tiket.”

“Kan!” Jaemin nunjuk muka gue. “Itu ngedate!”

Jaemin hembusin nafasnya lewat mulut, dia lepas sabuk pengaman dia dan bertingkah sangat abstrak. Susah ya kalau gak bisa ungkapin emosinya secara lisan, jadi harus gerak-gerak aneh kaya anggota sekte yang lagi ritual buat nyembah apa yang mau mereka sembah.

“Sakit lho, Fan.” Katanya begitu dia mulai kelihatan cukup tenang. “Sekarang gue ngerti gimana perasaan Malcolm waktu Olivia malah suka sama anak yang baru pindah ke sekolah mereka.”

Untuk referensi dua tokoh di atas—Malcolm & Olivia—gue berulang kali ngajak Jaemin nobar film-film lama, dan yang sering gue putar ya She's The Man, kaget juga sih dia sampai hapal nama tokohnya.

“Cari yang lain, banyak, kan yang mau sama lo?”

“Tapi gue sukanya sama lo, Epiphanyyyy.. I like you!” Dia menyerongkan badan, lalu membuat lingkaran besar dengan kedua tangannya di atas kepala. “A LOT!”

Kita berdua sama-sama diem, dan gak lama di nurunin kedua tangannya dan nutup mulutnya dengan tangan kanan.

Selang beberapa detik, dia jauhin tangannya dari mulutnya yang ditutup rapat dan dengan suara serius namun masih dengan senyum dia berucap. “Lupain semua yang tadi gue bilang, anggap aja tadi gak terjadi apa-apa. Please, jangan blacklist gue dari daftar orang yang bisa bikin lo nyaman.”

Untuk Jaemin, jujur, gampang sebenarnya buat nebak dia suka sama gue atau enggak. Tapi, tingkah dia yang seperti ini, nunjukkin rasa cemburu dia, secara terang-terangan bilang kalau dia memang suka, tapi setelahnya pasti bakalan kaya gini, dia nyuruh gue untuk lupain semuanya, dengan maksud biar pertemanan kita baik-baik aja.

Gue pribadi juga gak pernah protes dan lakuin apa aja yang dia mau selagi tidak merugikan sama sekali. Gue suka temenan sama Jaemin, tapi untuk pindah dari status teman ke partner, hm.. Enggak dulu, bukan karena gak mau, tapi memang belum siap aja di gue.

Dia pernah bilang kalau gue butuh support system, ya bener, ada masalah keluarga yang buat gue males untuk mencari partner. Pikiran gue udah terlalu negatif untuk diajak berpikir soal hubungan yang spesial.

Kadang gue juga kasihan sama Jaemin, harusnya dia gak perlu kaya gini, toh banyak cewek yang mau sama dia, dia harusnya nyari cewek yang suka banget sama dia, bukannya nungguin gue yang belum sembuh-sembuh juga.

Gue juga takut kalau suatu hari nanti Jaemin malah marah ke gue. Gue takut kalau nantinya dia malah nyalahin gue yang gak pernah bisa buka hati.

“Please, bilang kalau lo belum sarapan.” Ucap Jaemin sambil masang sabuk pengamannya.

“Belum sih, tapi gue pengin minum es kopi sama nyemil.”

“Oke,” dia nyalain mesin mobilnya. “kalau gitu kita muter-muter nyari cafe yang udah buka.”

“Okee.”

Seandainya hidup gue gak bermasalah, mungkin gue juga gak akan banyak pikir untuk nerima perasaan Jaemin. Like, siapa sih yang bakalan nolak sosok baik kaya Jaemin?

Cuma orang aneh kaya gue.

Kalau gue gak aneh, gue gak akan nolak dia. Serius.

Seperti tujuan di awal, kita nongkrong dan gue bertugas untuk menampung keluh-kesah Jaemin yang seolah gak ada habisnya.

Jaemin biasanya gak butuh pendapat, selalunya dia cuma mau cerita dan didengar aja, jadi ya gue cukup menyiapkan diri aja dengerin kisah kehidupan dia yang aslinya lebih normal dibanding punya gue.

“Terus gimana?”

“Namanya gak bakalan gue cantumin! Enak aja, baru awal semester udah ketemu aja orang gak berguna kaya gitu! Dipikir dia anak Raja gitu masuk kelompok terus gak ngapa-ngapain? Minimal kalau gak bisa bantu ngerjain ya beliin makanan kek, apa kek, ini enggaaaakk sama sekaliiiii!”

“Kalau dia beneran anak Raja gimana?”

“Mana ada anak Raja pemalas begitu!? Anak Raja dimana-mana tuh harus rajin! Mau dia ditendang keluar dari KK kerajaan???”

Kira-kira, nyaman itu termasuk dari bagian rasa suka atau enggak?

Jujur, gue merasa nyaman kalau sama Jaemin. Tapi, gue masih ragu sama perasaan gue sendiri.

comfort human - park wonbin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang