jadi gini...

158 31 2
                                    

Beberapa hari sebelum Epiphany nembak Wonbin...

Dia konsultasi ke Aya, soalnya cuma dia penghuni kosan yang paling bisa dia tanya-tanya, meskipun terkadang suka keceplosan, tapi gapapa, soalnya Aya tipikal manusia yang cukup jujur, Aya kalau bohong suka gagap soalnya.

“Ay,” Panggil Epiphany ke Aya yang lagi motongin kuku kaki di kursi teras kosan.

“Kenapaa?” Balas Aya, masih konsen sama kuku kakinya.

“gue mau nanya.”

“Nanya aja.”

“Pacaran tuh landasannya apa selain suka?”

Aya yang mau motong kuku jempol kakinya langsung berhenti, dia negakin punggung dan noleh ke Epiphany yang ada di ambang pintu, nempel di salah satu daun pintu yang gak dibuka.

“Waaah~ kamu lagi suka sama seseorang yach?” Aya meledek.

“Gak gituu, gue cuma nanya soalnya gue paham.”

“Ckck.. Kalau gue sih suka sama nyaman, sama beberapa faktor lain yang jelas gak semua orang bakalan sama.”

“Gak jelas dong landasannya?”

“Bisa dibilang gitu juga sih, tapi ambil dasar suka sama nyaman aja, kayanya itu sih yang paling bikin orang mantap buat pacaran atau enggak.”

“Oh, oke.”

“Kalau jadian traktir ya, cilok apa batagor gitu sebungkus hehe.” Cengir Aya yang hanya dibalas putaran mata malas oleh Epiphany.

Epiphany sebenarnya masih lumayan trauma dengan keluarganya, tekad dia untuk enggak nikah masih bulat, tapi... Kalau pacaran aja gapapa, kan? Toh gak semua orang yang pacaran bakalan sampai ke pelaminan, kan?

Di pikiran Epiphany, mungkin Wonbin cuma sekadar suka aja sama dia, toh semisal dia pacaran sama Wonbin, mungkin aja semangat dia buat terus dateng ke kampus jadi makin tinggi? Siapa tau dengan adanya Wonbin di cerita hidupnya bakalan bikin jalan hidupnya lebih berwarna?

Mungkin, siapa tau, dengan adanya Wonbin dia bisa ngelupain rasa amarah dia ke keluarganya? Siapa tau dengan adanya Wonbin dia juga jadi punya hal lain buat dipikirin?

Daannnn... Siapa tau Wonbin gak bakalan nembak-nembak Epiphany gara-gara Epiphany yang dari lalu-lalu selalu gate keeping dirinya sendiri?

Sekarang, meskipun belum jelas apa bentuk perasaannya, tapi ada satu hal yang bisa Epiphany lihat dengan jelas, yang sekarang muncul di batinnya.

Dia mau Wonbin. Dia harus punya Wonbin. Untuk sekarang, dan entah sampai kapan.

Epiphany gak pernah nembak cowok, dia gak tau caranya nembak orang.

Di suatu pagi, dia yang mau cuci baju di mesin cuci belakang kosan, sambil tangan kirinya milihin baju, tangan kanan dia sibuk pegang ponsel, lihat-lihat kartun apa yang bakalan dia putar selama dia berkutat dengan baju-baju kotornya ini.

Tapi, pucuk dicinta ulam pun tiba, chat dari Wonbin tiba-tiba muncul di layarnya. Gak bohong, dia dagdigdug.

Dia buka chat Wonbin, dia buka foto sekali putar yang Wonbin kirim, dan ketawa pelan waktu lihat Wonbin ngirim screenshot story dia.

Dia berhenti milihin baju, sambil senderan ke mesin cuci dia sibuk balasin chat Wonbin, sambil terus senyum-senyum gak jelas.

Lalu, tibalah sekelebat ide di kepalanya. Syukur kalau diterima, ditolak pun dia gak akan masalah.

- lo mau pacaran sama gue gak? -

Wonbin yang dikirimi pesan seperti itu jelas bingung dong. Pasalnya sejak awal pun sikap Epiphany ke dia gak pernah menunjukkan ada gelagat suka ke dia. Wajar kalau dia ragu dengan kalimat yang dikirimkan oleh Epiphany.

Lalu, demi meyakinkan Wonbin, dia pun jadi ingat dengan “dasar” yang Aya bilang beberapa hari sebelumnya. Suka dan nyaman.

Epiphany belum yakin dengan rasa sukanya, tapi dia yakin kalau dia nyaman dengan Wonbin. Buktinya dia bisa ngobrol banyak dengan Wonbin bukan cuma di chat, tapi di dunia nyata juga. Dia juga berani cerita ke Wonbin soal masa lalu dan traumanya, jadi... Udah pasti kalau dia nyaman, kan sama Wonbin?

Momen liburan semester genap yang berlangsung kurang lebih sebulanan ini jelas jadi waktu yang tepat buat Epiphany untuk membuat memori baru, dengan orang baru.

Dan ternyata rencana dia berhasil, di liburan ini, dia jadi punya banyak memori baru yang kebanyakan diisi oleh Wonbin. Wonbin secara gak langsung mampu mendistraksi pikiran Epiphany yang terkadang suka balik ke masa lalu.

Epiphany suka sama kehadiran Wonbin di hidupnya, rasanya dia gak mau sampai Wonbin lepas dari dia.

“Kak, lihat photo booth yang ada di lantai dua tadi gak?”

“Lihat, kenapa?”

“Kita foto di sana, buat koleksi.” Ajak Wonbin, senyum dia di mata Epiphany sekarang beneran manis dan lucu, makin lucu banget karena pagi ini Wonbin muncul di kosan Epiphany dengan rambut bob bergelombang, kayanya tadi dia sempet nyatok sendiri di rumah.

Epiphany mana bisa nolak, dia langsung iya-iya aja diajak Wonbin selagi ajakannya gak membahayakan jiwa dan raga dia.

Dari lantai tiga, mereka turun ke lantai dua, muter dan nyari photo booth yang tadi mereka lihat. Dari pose normal sampai banyak tingkah mereka pakai, dan waktu hasilnya jadi, mereka langsung ngetawain hasil foto mereka.

“Bin, rambutmu lucu banget di sini.”

“Eh? Lucu?? Lucu gimana??” Padahal niat Epiphany muji, tapi muka Wonbin kelihatan bingung karena gak paham sama maksud kata "lucu" yang dipakai Epiphany.

“Ya lucuu~”

“Lucu bikin ketawa gitu?”

“Bukaan, duuh, lucu gitu lho Biin!” Epiphany mendecak, lihat muka Wonbin kayanya Wonbin memang gak paham sama kata yang dia maksud. “Gemesin, lucu.”

Mata Wonbin dengan cepat ngelirik ke arah lain, kelihatan banget kalau dia bersemu dibilang gemesin sama orang yang dia suka.

“Weh? Kenapa? Ahaha! Emang lucu kok, rambutmu gitu aja terus, suka lihatnya, gemes.”

Makin merah muka Wonbin, makin gak karuan juga batin dia dipuji begitu. Rasanya mau meledak.

“A-ah, apaan sih kak? Haha..”

“Bin, telingamu merah tuh.”

“H-ha?!” Wonbin buru-buru nata rambutnya buat nutupin telinga, dan tawa Epiphany pun jadi makin pecah karena tingkah kikuk dan panik Wonbin.

comfort human - park wonbin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang