malam minggu

294 44 3
                                    

Gue menarik napas begitu dalam, perlahan dihembuskan sebelum memaksakan diri ini untuk tersenyum pada sosok yang udah gue lihat nungguin di satu titik sana.

Gue berjalan dengan santai, mengatur agar senyum ini gak kelihatan terlalu palsu dan memaksa. Tapi, begitu sampai di depan dia, senyum gue gak mau dijadikan setulus itu, karena ucapannya.

Padahal di sini gue udah mencoba memposisikan diri agar enggak terlalu memasukkan ke dalam hati kejadian kemarin, tapi, kalau begini??

“Saya kira Kakak gak suka sama saya, tapi ternyata Kakak masih bisa senyum selebar itu buat saya.”

Kalau orang lain yang bilang, yang mukanya gak seganteng ini, mungkin tanpa sadar tangan gue udah nampol muka mereka, mungkin bahkan udah gue dorong juga sampai dia nyusuruk ke rumput basah sana karena efek betapa gelinya omongan dia.

Tapi, ini malah jadi momen yang bagus untuk gue menyadarkan anak ini bahwasanya apa yang gue lakukan adalah normal.

“Nah, ini!” Gue menunjuk Wonbin. “Pikiran kaya gitu harus diilangin, karena senyum itu hal basic yang dilakukan manusia, dannnn..! Orang yang senyum lebar ke elo artinya bukan selalu karena mereka suka sama lo, oke? Paham ya?”

“Kenapa gitu?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa senyum gak bisa dijadiin patokan kalau orang A atau B suka sama kita? Saya cuma senyum ke orang yang saya suka.”

Rasanya gue kaya lagi ngobrol sama orang di kolom komentar twitter, di atas udah dijelaskin kenapa, tapi di balasan komentar dia masih nanya kenapa.

“Karena memang basic manner aja, kita boleh senyum ke siapapun tanpa harus menunggu rasa suka. Lo juga harus banyakin senyum, jangan cuma senyum ke orang yang lo suka aja.”

Wonbin kelihatan narik sebelah ujung bibirnya sekilas, mukanya kelihatan sebal. Tapi ini kan buat kebaikan dia, harusnya dia paham sama hal dasar kaya gini, biar dia gak terus-terusan salah paham sama perilaku baik orang lain ke dia.

“Akhir pekan kakak sibuk gak?”

Gue mengernyit, dia lagi mengubah topik, kah?

“Kalau ada tugas sih sibuk.”

“Kita libur dua hari, kan?”

“Hm.”

“Paksain lenggang beberapa jam bisa gak?”

Gue memincing, memaksakan diri untuk membaca isi pikiran Wonbin. Tapi sayang gak bisa, gue gak punya indera tambahan.

“Gatau, kenapa sih?”

“Sabtu malam Abangku ada manggung di kampus sebelah, ada festival musik, kalau kakak gak keberatan mau nemenin saya gak?”

Dia punya Abang? Penyanyi? Woah??

“Oh ya? Kenapa gak dateng sendiri aja?”

Wonbin ngerapatin bibir, dia mandang gue dalam diam cukup lama, kayanya dia mau mengirimkan sinyal ke gue tanpa bicara, tapi sinyal dia sepertinya buruk karena gue gak menangkap apa-apa.

Sadar kalau gue gak peka akan sinyalnya, dia pun nyerah dan ngomong alasannya. “Di sana banyak orang, saya butuh support kak Fani.”

Ahh... Iya... Support... Kembali ke setelan awal.

“Oke, Abang lo penyanyi apa? Pop? Jazz?”

“Aslinya R&B sih, tapi sekarang kayanya dia lagi fokus ke musik pop-rock.”

“Hmm..” Gue mengangguk-angguk, tanpa banyak tanya gue pun setuju untuk nemenin dia.

Masuk di Sabtu malam... Gue cukup terkejut dengan apa yang gue lihat, dengan apa yang ditunjuk oleh Wonbin.

comfort human - park wonbin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang