Minggu pagi, Wonbin dan Jaewon kelihatan jogging berdua, sudah jadi aktivitas akhir pekan mereka kalau sama-sama ada di rumah.
Rumah yang ditempati Wonbin dan Jaewon adalah rumah lama keluarga mereka sebelum pindah, niatnya memang sengaja dijadikan rumah kosan, dan biar tidak terasa sepi atau malah dijadikan tempat tinggal oleh makhluk astral, orang tua mereka meminta mereka untuk tetap tinggal di sana sampai calon penghuni baru datang mengisi rumah kosan tersebut.
Di rumah dua tingkat itu ada total 5 kamar tidur, jika ada penghuni lebih dari 3 orang, maka Wonbin atau Jaewon akan kembali ke rumah baru keluarga mereka yang masih berlokasi di perumahan yang sama.
Selain tak ingin rumahnya dihuni makhluk astral, orang tua mereka juga ingin dua putranya itu belajar mandiri. Jaga-jaga suatu saat nanti mereka mau pindah ke daerah lain atau bahkan ke luar negeri, minimal mereka harus tahu bagaimana rasanya hidup sendiri, tanpa orang tua.
Jaewon yang tadinya menyamakan gerak langkahnya dengan Wonbin kini tiba-tiba mempercepat lajunya begitu melihat sosok pujaan hatinya yang sedang menyiram bunga di depan rumah.
Wonbin sudah biasa dengan tingkah Jaewon yang seperti ini, waktu pertama dia hanya menggelengkan kepala, kalau sekarang dia hanya tersenyum prihatin saja karena Jaewon hanya berani menyapa dan menggoda.
“Pagi Aisha~”
Perempuan dengan baju tidur serba panjang dan kerudung panjang itu mengangguk pada Jaewon, tersenyum. “Mas Jaewon..” Balasnya dengan suara yang sopan.
“Jogging yuk?” Ajak Jaewon basa-basi, karena setelah itupun Aisha akan menolak, selalu menolak.
“Iyaa..” Aisha tiba-tiba mematikan putaran keran di selang yang ia pegang, kemudian dia taruh di tanah dan pamit permisi pada Jaewon sebelum perempuan itu masuk ke dalam rumah.
Jaewon menghembuskan napas, hatinya kembali harus merasa kecewa karena penolakan halus Aisha.
Melihat Aisha sudah masuk ke dalam rumah, Wonbin pun agak melajukan larinya dan menghampiri Jaewon.
“Nyerah aja sih, Bang, beda server kita sama dia.” Ucap Wonbin mengingatkan, yang kemudian hanya disambut senyum masam oleh Jaewon.
Jaewon menyerongkan badan, kemudian kembali berjalan, Wonbin, dia hanya mengekor di belakang, membiarkan Jaewon berbaur dengan rasa galaunya di setiap Minggu pagi.
Jujur, Wonbin pun merasa kasihan pada Jaewon. Tapi dia juga tak bisa menolong, mana bisa dia membantu kalau penghalangnya setinggi itu.
Wonbin mengejap, lalu berlari kecil agar bisa jalan beriringan dengan Jaewon.
“Bang.” Panggilnya.
“Kenapa?”
“Abang kenapa bisa suka sama Kak Aisha?” Wonbin juga penasaran dengan alasan Jaewon, dia mau tahu kenapa dan bagaimana bisa.
Jaewon tampak tersenyum tipis, dari matanya seolah dia mengingat satu hal yang buat dia suka pada Aisha.
“Dia sopan, baik, dulu seangkatan juga sama Abang waktu SMA. Anaknya manis, supel juga, suaranya juga lembut, banyak cowok yang suka sama dia, tapi gak ada yang berani deketin karena dia anaknya Ustadz.”
“Abang kok berani godain?”
“Ya kan niatnya cuma mau godain, soalnya mau serius juga, kan gak bisa? Minimal, gue tau rasanya komunikasi sama dia, gue sapa, atau apa gitu basa-basi sama dia.”
“Abang gak takut diceramahin sama Bapaknya?”
“Kenapa takut? Tiap Jum'at juga suaranya kedengeran terus dari toa masjid.”
“Bukan ceramah Jum'atan! Maksud Wonbin tuh kalau Abang ketahuan godain Kak Aisha sama Bapaknya, gak takut diomelin??”
“Tapi gak pernah ketahuan tuh. Lagian ngapain mikirin hal yang gak pasti gitu? Toh Abang juga cuma nyapa sama basa-basi ngajak lari doang, masih sopan lah. Oh ya, lo sama kating lo yang itu gimana?”
“Oh iya, semalem Wonbin gak sengaja bikin Kak Fani mimisan.”
Kedua alis Jaewon menukik, tanpa menghentikan larinya dia bertanya. “Lo apain??”
“Gak sengaja kesiku.”
“Kesiku gimana?”
“Kemarin Kak Fani kecopetan, hape dia diambil sama orang, tapi berhasil ketemu soalnya malingnya pas kelar ternyata masih di parkiran, Wonbin kejar orangnya, Wonbin hajar, eh waktu Wonbin mau ditarik malah Wonbin gak sengaja nyiku hidung Kak Fani.”
“Anjrit.. Udah lo obatin? Tanggung jawab, kan lo?”
“Udah Wonbin bawa ke klinik, cuma kayanya dikasih obat doang, gak ada penanganan khusus lain.”
“Hari ini lo mau jenguk dia dong?”
“Eh? Kenapa?”
“Ya lo tengok lah keadaan dia gimana, hidungnya gimana, masih sakit apa enggak. Gimana sih??”
“Harus ya?”
“Hadeh, anak kukang. Jenguk sana!”
“Nanti deh.”
Jam 10 pagi menjelang siang, Wonbin duduk di kasur kamarnya, di tangannya sudah ada ponsel, yang posisinya menyala dan menampilkan chatroom pribadi dirinya dan Epiphany.
Gue harus nanya apa ya? Batin Wonbin, cukup blank.
Bingung, Wonbin malah keluar dari roomchat dan memilih untuk melihat story saja. Baru saja dibuk, tiba-tiba muncul profil Epiphany yang baru mengunggah status.
Tanpa pikir panjang, Wonbin langsung membuka story milik Fani dan senyum kecut pun terukir di bibirnya.
“Kalau gini hidungnya pasti udah gak sakit, kan? Pasti udah sehat.” Katanya mengulum senyum, mematikan ponsel dan menaruhnya di atas kasur.
Wonbin bangkit dari kasur, keluar kamar dan mencari udara segar.
KAMU SEDANG MEMBACA
comfort human - park wonbin ✔
أدب الهواةEpiphany kira dia cuma akan dijadiin emotional support animal jadi-jadian aja, eh yang minta jadi nyaman beneran sama dia. semuanya fiksi yaaa