ada yang asing, tapi bukan kita

209 30 1
                                    

Minggu, pukul 07.50 pagi, taksi online yang Fani pesan sudah ada di depan rumah kosan Wonbin, seperti orang yang baru pulang dari belanja, Fani turun dari mobil dengan membawa totebag yang cukup besar, yang isinya ada puzzle 1000 piecenya, bingkai untuk puzzle dan satu kotak jenga kayu yang sudah lamaa sekali duduk diam di lemari kamar kosnya.

Imajinasi Epiphany saat akan jadi mahasiswa baru dulu sangat tinggi, dia bahkan sengaja membawa mainan yang bisa dimainkan bersama dengan harapan mungkin nanti dia akan punya teman yang bisa diajak bermain jenga dan monopoli.

Tapi sial, ternyata dunia perkuliahan tidak seindah bayangannya. Teman yang bisa disebut teman pun jumlahnya bahkan bisa dihitung hanya dengan lima jari di satu tangannya.

Sekarang, kenal orang yang memiliki ketertarikan yang sama pada board game dan kawan-kawannya, Fani pun jadi sangat antusias dan senang. Impian dia akhirnya bisa terlaksana.

Untuk puzzlenya, dia baru membeli puzzle itu sebelum liburan semester genap kemarin, dengan pikiran kalau liburan waktu itu dia gak akan pulang kampung dan tetap di kosan, intinya puzzle itu harusnya jadi pengalihan rasa bosannya.

Tapi Fani lebih memilih untuk ambil part time di toko swalayan milik Ayahnya Jaemin dan mengisi waktu liburannya dengan bekerja, sampai lupa kalau dia punya paket puzzle yang sejak datang hanya duduk diam di atas lemari, bahkan waktu itupun paketnya belum dia jamah sama sekali dan masih dibungkus bubble wrap.

Saat sampai di depan pagar, entah mengapa dia refleks mendongakan kepalanya ke atas, lebih tepatnya ke balkon atas rumah Wonbin. Karena sinar matahari dari belakang rumah, dia agak menyipitkan mata, dan cukup bertanya-tanya mengapa ada sosok asing di atas balkon sana, yang saat ini juga sedang melihat ke bawah, ke arahnya.

Tak berselang lama, Wonbin keluar dari pintu depan, dengan senyum manisnya dia berjalan menuju gerbang rumah.

“Udah lama, kak?” Tanyanya sambil membuka pintu pagar, buat Fani yang tadi melihat ke atas kini menurunkan pandangnya.

Sekilas senyum ia berikan pada Wonbin, lalu disusul dengan gelengan kepala. “Enggak, baru aja.”

“Wonbin bantu.” Senyum Wonbin seraya mengambil alih totebag yang Fani bawa. “Kakak udah sarapan? Kalau belum aku pesenin.”

“Hn? Gak usaah, belum laper kok.” Balasnya sambil mengikuti langkah Wonbin masuk ke dalam rumah.

Selayaknya sifat dia, meskipun penasaran siapa orang di atas yang tadi dia lihat, tapi sudah bertemu dengan pemilik rumah pun dia malas untuk membuka mulut dan bertanya. Toh dalam pikirannya, semisal info orang yang tadi dia lihat itu penting, Wonbin pasti akan memberi tahu dia.

Wonbin menaruh totebag tadi ke atas meja ruang tamu, mempersilahkan kakak tingkatnya itu untuk duduk dulu selagi dia pamit ke belakang.

Jujur, meskipun sudah berulang kali datang kemari, Fani belum pernah sekalipun menyempatkan diri untuk melihat detail rumah ini, dia bahkan sekarang jadi kagum karena kebersihannya.

Dari balik gorden pembatas antara ruang tamu dan tengah, Wonbin menyembulkan kepala, sambil tersenyum kikuk bertanya pada Fani yang sedang melihat detail ukiran kayu pada meja di ruang tamu.

“Kakak suka soda gak? Apa mau aku bikinin es kopi aja?”

Fani memandang Wonbin. “Apa aja boleh, es kopi kalau gak ngerepotin juga gapapa.”

“Kopi sachet gapapa?”

Fani terkekeh lucu, “Gapapaa~ gue juga bikin es kopi pakai yang sachetan.”

Wonbin ikut tersenyum, mata dia yang berubah mirip bulan sabit entah mengapa buat Fani merasakan perasaan yang aneh di dirinya.

Wonbin kembali ke belakang, sekarang Fani memilih untuk mengambil tasnya dan mengeluarkan semua isinya dan menaruhnya dengan rapih di atas meja.

Kalau dia pikir lagi, sepertinya waktu 3 jam saja tidak akan cukup untuk menyelesaikan puzzle ini, apalagi dia yakin sekali kalau di pertengahan pun dia akan pusing sendiri karena terlalu keras memikirkan potongan ini harus berpasangan dengan potongan yang mana.

Mirip seperti prasangkanya, satu jam di rumah ini pun mereka berdua belum bisa menyelesaikan bahkan setengah dari puzzlenya.

Film pilihan Fani yang sejak tadi diputar pun sejak setengah jam lalu sudah diabaikan oleh mereka berdua karena terlalu fokus pada puzzle.

Fani melepas kacamata, memijit tulang hidungnya. “Bin, nyerah, gue nyerah.” Ucapnya putus asa.

“Gak boleh nyerah, kak, puzzle kaya gini gak sebanding sama puzzle hidup.”

“Tapi kepala gue pusiiing.” Fani menyandarkan dirinya di kaki sofa, menjatuhkan kepalanya di atas bantal sofa terdekat.

Wonbin menengok, terkekeh pelan pada tingkah Fani yang menurutnya lucu. Sangat lucu.

“Efek laper kali, makanya pusing, aku pesenin makan ya? Kakak mau makan apa?”

“Apa aja, tapi yang asin, yang gurih, jangan yang manis.” Jawabnya, masih dengan posisi wajah di atas bantal.

“Okee..” Wonbin menjauh dari meja, lalu mengambil ponselnya yang sejak tadi ia taruh di pojok sofa.

Saat Wonbin sibuk mencari makanan untuk dipesan, muncul sosok asing yang tadi Fani lihat di atas balkon rumah, keluar dari ruang tengah dengan pakaian yang lumayan rapih.

“Cabut, Bang?” Sapa Wonbin pada sosok tersebut, yang mana buat Fani yang tadinya masih menaruh wajah di bantal langsung mengubah posisi kepalanya.

Sosok yang disapa Wonbin pun berhenti, tersenyum sambil mengangguk. “Iya, ada yang mau dibeli.”

“Oh, tiati, Bang.”

“Siap.” Dengan begitu, orang itu pun lanjut jalan keluar, namun sekilas tampak melirik ke arah Fani yang hanya memandangnya dalam diam dan tanpa ekspresi.

“Siapa, Bin?” Sudah lewat di depan mata, lebih baik bertanya, begitu pikir Fani.

Wonbin menoleh. “Bang Jungwoo, penghuni pertama kosan ini.”

“Sejak kapan?”

“Kemarin.”

“Ooh.. Eh, udah pesen belum? Gue kok pengin ayam geprek ya?”

Wonbin menyengir. “Kok sama? Aku juga baru aja order ayam geprek.” Katanya, memperlihatkan tampilan ponselnya yang menunjukkan pesanan ayam geprek dia yang saat ini sedang diproses.

“Wah, kayanya ayam geprek udah jadi makanan wajib anak kuliahan kali ya? Bisa sama gini pikiran kita.”

“Ha haha.. Oh iya, ongkos taksol kakak tadi berapa?”

“Berapa ya? 20 berapa gitu.”

“Okee.”

“Gak usah diganti, Biin.”

“Gapapa kok, aku ganti pakai geprek. Kakak suka es krim gak? Sekalian aku beliin, biar abangnya bisa sekalian pas mau nganter ke sini.”

✨️✨️✨️

✨️✨️✨️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
comfort human - park wonbin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang