zehn

235 29 5
                                    

Iqbal sedang berada di post satpam melihat rekaman CCTV sebagai bukti untuk laporan pecahnya lukisan kemarin. Ia juga sibuk untuk merekam layar komputer yang menampilkan rekaman kejadian hari itu, sebenarnya ia bisa meminta file rekaman karena ia juga memiliki akses untuk melakukannya, namun Iqbal malas.

Saat memperhatikan rekaman tersebut, Iqbal tiba-tiba saja salah fokus dengan rekamannya. Mematikan ponselnya dan meminta satpam untuk mengulang beberapa detik sebelumnya. Ia tampak sedang berhitung

"Delapan, sembilan, sepuluh..." hitungannya menggantung, ia memasang ekspresi heran

"Bapak lihat di situ ada berapa orang?" tanyanya pada satpam yang sedari tadi bersamanya

"Sepuluh, sampeyan ndak bisa ngitung apa gimana?" jawab satpam tersebut dengan logat medoknya

Yang dikatakan satpam itu benar, disana hanya sepuluh orang. Ia dan satpam tersebut tidak salah hitung. Hanya saja, Iqbal merasa saat itu mereka bersebelas. Diulangnya kembali rekaman yang ada di layar komputer dan memperhatikannya lebih jeli. Benar saja, satu orang tidak tertangkap kamera.

°°°

Jam istirahat tiba, Nabil dan Jehan sedang berada di kantin untuk makan. Jehan pergi untuk memesan makanan sementara Nabil fokus pada laptop dihadapannya.

"Gua liat-liat dari kemarin lu mantengin laptop mulu, ngapain si?" tanya Jehan yang sudah kembali dengan membawa mangkok di kedua tangannya lalu menyerahkan salah satu mangkok yang berisi soto

Nabil menoleh dan menerima mangkok tersebut, "Ini, gua lagi liat-liat univ dan jurusan yang sekiranya oke buat gua"

Ah iya, mereka sudah kelas 12 tentunya harus benar-benar memikirkan tujuan mereka setelah lulus. Entah itu mau bekerja, kuliah, atau melanjutkan passion mereka masing-masing.

"Lu beneran nurutin kemauan ortu, ya? Padahal kita dulu janji buat gabung klub ibukota bareng" ucap Jehan sambil mengaduk-aduk makanannya, wajahnya terlihat lesu

Nabil menghela napas, sejujurnya ia juga ingin melanjutkan hobinya. Tapi mau bagaimana lagi? Semua karena tuntutan orang tua.

"Maaf Lev, gua gak mau ngebantah kemauan ortu lagi. Cukup sekali waktu itu aja" katanya

Jehan mengingatnya, saat Nabil pertama kali menolak keinginan orang tuanya untuk bersekolah di sekolah negeri terbaik di kota tersebut dan memilih untuk mendaftar di SHS Garuda. Kala itu Nabil memberikan dua pilihan kepada orangtuanya, yaitu sekolah di SHS Garuda bersama Jehan atau tidak sekolah sama sekali. Alhasil orangtuanya pun menurutinya, itu mungkin akan menjadi pertama dan terakhir kalinya.

"Tapi Bil, peluang lu buat gabung klub itu gede tau. Lu tau sendiri lulusan sekolah kita banyak yang jadi atlet terkenal, contohnya bang Asnawi sepupunya Zaky, sekarang dia di klub Korea! Terus bang Sananta, dia dulu bukan bagian tim inti tapi sekarang jadi andalan di klubnya." ujar Jehan meyakinkan sahabatnya, namun Nabil hanya menggeleng

"Gua tetep mau ngikutin ortu, Lev." ucapnya

Kali ini Jehan yang menghela napas, ia juga tidak bisa memaksa karena Nabil sendiri yang memutuskannya. Ia sebagai sahabatnya tentu mendukung saja apapun pilihannya.

"Yaudah kalo emang mau lu gitu, yang penting jangan terlalu memaksakan diri. Kalo lo ga sanggup jangan dilanjutin, lo sendiri yang capek" ujar Jehan memberi nasehat

"Iya-iya, arigatou Jehan-kun"

"Wibu monyet!"

°°°

One Of Us (Timnas U-17)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang