Episode 1

55 2 0
                                    

      "Mama, kenapa gak diskusiin dulu sama aku sih? Aku kan juga berhak tahu." Langkahku cepat di lorong gedung apartemen lantai 1 menuju lift untuk turun ke basement. Mulutku sibuk mengoceh untuk menjawab telepon dari mama. Entah bagaimana ceritanya tiba-tiba saja mama menelponku bilang akan menikahkanku. Padahal baru 2 bulan aku masuk kuliah dan ingin menikmati hidup jauh dari rumah.

      "Iya, maafin Mama. Ini juga dadakan tadi bilangnya. Ahad bisa pulang kan? Kita diskusikan bareng dirumah." Mama mengalah saja karena aku sudah protes berkali-kali. Enak saja aku dinikahkan tanpa persetujuan.

      "Oke, insyaallah. Darin bisa pulang. Jangan ambil keputusan dulu sebelum aku pulang lho, Ma." Tegasku.

      "Iya, iya. Udah ya. Mama mau masak dulu. Baik-baik disana. Assalamualaikum."

      "Waalaikumsalam. Love you, ma." Segera ku matikan panggilan karena aku harus segera berangkat ke kampus. Aku setengah berlari agar segera sampai di lift. Pikiranku semakin bercabang. Tugas ospek belum selesai, tugas matakuliah pertama juga belum, di tambah perkara pernikahan yang mendadak. Bisa-bisa rambutku memutih sebelum waktunya.

      BRUUK!

      "Maaf, kak. Gak sengaja." Lebih apesnya lagi aku menabrak seseorang hingga bola basket yang di jinjingnya mengelinding jauh. Bergegas aku mengambil bola itu sebelum orang yang ku tabrak marah.

      "Ini kak bolanya. Maaf, saya buru-buru tadi." Tanganku mengacung memberikan bola. Mata ku menatap ke bawah, sepatu basket warna merah. Itu yang ku lihat.

      "Lain kali jangan lari-lari di koridor. Ini sempit." Ucapnya dingin lalu mengambil bola basket dari tanganku. Laki-laki itu berlalu begitu saja. Aku menatap punggungnya. Masih mengenakan seragam basket. 17. Itu nomor punggungnya.

      "Bilang terima kasih kek. Untung gue tanggung jawab ngambilin bola." Aku melangkah dengan kesal menuju lift lantas turun ke lantai basement.

      Sesampainya di basement, aku segera menghampiri sepeda motorku yang terparkir di area parkir khusus motor. Lalu bergegas ke kampus karena matakuliah pertama segera dimulai.

*****  

      "Rin, ikut gue yuk!" Ucap Shiren setelah mata kuliah pertama selesai. Shiren, dia adalah sepupuku dari pihak Mama.

      "Kemana? Males ah kalo ke perpustakaan lagi." Anak itu memang suka sekali ke perpustakaan, bukan untuk membaca buku ilmiah tapi membaca koleksi novel yang ada di perpustakaan. Hampir semua novel yang ada di perpustakaan kampus sudah ia khatamkan.

      "Enggak. Kali ini beda tempat. Kita ke aula olahraga. Ayo, buruan."

      "Ngapain ke sana? Emang ada kelas olahraga?"

      "Ya Allah. Banyak tanya banget sih lo kayak bani israil. Udah nurut gue aja. Cepetan." Belum juga mau protes, Shiren sudah menarik tanganku untuk keluar kelas menuju aula olahraga yang berada di gedung sebelah.

      Aula itu sudah ramai oleh teriakan para penonton. Riuhnya hingga terdengar sampai ke luar ruangan. Shiren tetap menggandengku hingga kami duduk di kursi bagian depan. Ternyata ia mengajaku menonton pertandingan basket antar tingkat.

      Sorak sorai penonton memenuhi ruangan luas ini. Suara wanita paling terdengar menyemangati pemain idola mereka. Sepertinya permainannya baru saja dimulai.

      "KAK ALI! KAK ALI! KAK ALI!" Shiren ikut berteriak menyebut nama dari salah satu pemain basket. Tidak hanya Shiren saja, tetapi para wanita yang duduk di belakangku semuanya meneriaki nama itu dengan penuh semangat. Ada apa dengan laki-laki yang bernama Ali? Sekeren apa dirinya hingga membuat para wanita begitu semangat menyebut namanya? Emang boleh se ngefans itu? Telingaku hampir pengeng mendengar teriakan mereka yang tak ada capeknya.

      "Ngapain lo manggil nama Ali? Emang lo kenal?" Tanyaku pada Shiren ikut berteriak di telingannya.

      "Dia kapten basket." Shiren menjawab tak kalah berteriak di telingaku.

      "Lo lihat, yang pakek baju nomor punggung 17. Itu Kak Ali namanya. Kapten basket di angkatannya. Keren banget gila, ganteng." Shiren menjelaskan berbisik di telingaku sambil tangannya menujuk ke arah lapangan, seseorang yang sedang men dribel bola basket bersiap untuk memasukan bola itu ke ring. Bagaimana aku bisa melihat wajahnya, ia saja tak menghadap ke arahku.

      Mataku tetap memperhatikan laki-laki itu. Dengan lincah menghindari lawannya yang berusaha merebut bola dari tangannya. Berlari cepat menuju ring lawan sambil mendribel bola untuk ancang-ancang memasukkan ke dalam ring. Dan, ya, laki-laki bernama Ali itu berhasil memasukan bola ke dalam ring lawan. Skor timnya bertambah satu. Teriakan para penonton, terutama wanita, semakin menjadi. Sepertinya aula ini hampir roboh dengan teriakan mereka. Aku menutup telinga tak kuat mendengar teriakan bak ikan teri yang digoreng.

      Ali berlari kembali menuju ringnya untuk bersalaman dengan timnya karena berhasil menambah satu poin. Aku sekelebat dapat melihat wajahnya. Sepertinya memang tampan, aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena jaraknya yang cukup jauh. Tapi, aku menyadari sesuatu familiar darinya. Sepatu basket merah. Jangan bilang itu orang yang aku tabrak di koridor waktu itu? Nomor punggung 17. Yap, aku yakin itu orangnya.

      "Kayaknya emang bener orang itu." Gumamku sambil tetap menatap lapangan.

      "Ha? Ngomong apa lo, Rin?"

      "Enggak papa. Udah yuk, ke kantin aja. Laper gue." Shiren mengangguki ajakanku. Dirinya juga pasti lapar setelah berteriak tak jelas. Pikiranku masih menerka-nerka sosok Ali. Benarkah ia yang ku tabrak di koridor waktu itu? Atau mungkin orang lain yang punya sepatu sama? Ya, tidak mungkinkan hanya Ali yang punya sepatu merah seperti itu.

*****

!Part awal-awal mungkin masih pendek. Tapi part selanjutnya bakalan lebih panjang!

Happy Reading. Salam sayang dari Author 😍.
Jangan lupa like dan coment.

Husband Nextdoor (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang