Episode 2

25 2 0
                                    

      Sesuai rencana, minggu ini aku pulang ke rumah untuk membicarakan perihal pernikahan yang mendadak itu. Aku memarkirkan motor di depan rumah. Jarak antara kampus dan rumah cukup jauh, hampir memakan waktu satu jam perjalanan.

      "Assalamualaikum, Mama! Darin pulang!" Teriakku begitu masuk rumah. Rumah besar ini begitu sepi. Itu hal yang aku tak suka. Rumah sebesar ini hanya berpenghuni tak sampai sepuluh orang. Ayah sibuk bekerja di rumah sakit, Mama walaupun hanya ibu rumah tangga tapi jadwalnya juga termasuk padat, ada saja kegiatan yang ia agendakan tiap hari. Aqil, adikku satu-satunya juga masuk pesantren, jadi tidak ada yang menetap di rumah ini.

      Aku meletakkan tas ranselku di sofa ruang tamu lalu pergi menuju kamar Mama. Tidak ada orang. Mungkin ada di dapur, tidak ada juga. Kemana semua orang ini? Aku memilih kembali duduk di sofa sambil bermain ponsel menunggu Mama datang.
Tak lama, pintu rumah terbuka. Mama datang dengan mbak Mala, asisten pribadi mama. Lihat, Mama saja yang hanya ibu rumah tangga memiliki asisten pribadi. Sudah ke tebak kan seberapa padat jadwalnya.

      "Darin, kamu datang gak telpon Mama?" Ucapnya sambil meletakkan belanjaannya di meja pantry.

      "Males nelpon. Ma, gimana ceritanya kok bisa tiba-tiba aku dinikahin sih?" Tanyaku to the point. Hal itu benar-benar mengganggu pikiranku setiap malam. Mama ikut duduk di sebelahku yang sudah cemberut.

      "Kemarin itu teman Ayah datang ke sini, terus minta anaknya untuk dijodohkan sama kamu, gitu. Mama juga gak ngerti kok tiba-tiba minta dijodohin. Padahal gak ada perjanjian, gak ada apa-apa." Jelas Mama perlahan.

      "Ya udah, kalo gitu batalin aja. Bilang aku belum mau nikah, masih mau sekolah."

      "Masalahnya, orang tuanya memang mau nyari yang masih sekolah. Katanya biar bisa belajar bareng, gitu."

      "Ha? Apa-apaan itu? Gak! Pokoknya aku gak mau. Kalo gak kasihin ke Shiren aja. Aku gak mau." Protesku hampir menangis. Aku sudah melipat kedua tanganku di dada. Mama memijat pelipisnya bingung harus bagaimana.

      "Oke lah, Nanti diomongin lagi sama Ayah. Ayah yang lebih tahu maksudnya. Kamu mandi sana, habis itu bantuin Mama masak."

      "Mau masak apa?"

      "Gurita asam manis kesukaanmu."

      "Asik! Mama memang terbaik." Aku segera memeluk Mama dengan erat sambil menyisipkan ciuman kecil di pipinya. Lantas bergegas menuju lantai 2, kamarku berada. Sudah cukup lama aku meninggalkan kamar tersayang ku ini. Waktunya bernostalgia ria.

*****

      Suasana meja makan lengang tak ada yang mau mulai berbicara. Hanya suara dentingan sendok dan piring yang beradu. Aku pun juga tak berniat untuk membahas perihal pernikahan itu duluan, menunggu ayah speak up tentang itu.

      "Ma, tolong lauknya, aku mau nambah." Sejurus Mama meraih sepiring gurita asam manis dan diberikan padaku.

      "Rin, Kamu mesti udah tau kan kalau mau di jodohin?" Ayah memulai percakapan setelah nasi dipiringnya habis, tersisa secangkir kopi hitam yang masih mengepul asapnya. Aku hanya menjawab perkataan Ayah dengan deheman, sibuk mengigit daging gurita yang alot.

      "Ayah harap kamu terima aja perjodohannya. Insyaallah, dia laki-laki yang baik. Dari segi agama, lingkungan dan materinya. Ayah udah kenal lama keluarganya. Terima ya." Aku menelan daging gurita yang alot itu besar-besar karena susah payah ku kunyah sebelum menjawab.

      "Kenapa harus aku, Yah? Darin kan gak sebaik itu. Gak bisa masak, gak tahu cara bersihin rumah, gak suka sama anak kecil. Kayaknya gak cocok deh sama aku, Yah. Batalin aja ya." Alibiku panjang lebar. Aku benar-benar tak ingin menikah dalam waktu dekat ini. Aku ingin menikmati masa-masa menjadi anak muda. Masa-masa menjadi seorang mahasiswa yang terlihat keren di mata orang. Dan yang paling penting aku baru mencoba untuk hidup secara mandiri.

      "Gak bisa disimpulkan seperti itu dong sayang. Ayah hanya mau kamu mendapat suami yang baik, shalih, bisa membimbing. Daripada kamu tinggal sendirian di kos, kan lebih baik ada yang nemenin, ada yang bantu kamu."

      "Ayah gak percaya kalau aku bisa hidup mandiri?"

      "Bukan gitu, ayah percaya kamu bisa. Ayah percaya itu. Ayah cuma khawatir aja kalau ada apa-apa gak ada yang jaga. Kalo kamu di rumah kan, ada ayah, ada pembantu juga yang jaga."

      "Itu sama aja Ayah gak percaya sama aku. Ayah, Mama, please ya! Darin belum mau nikah sekarang, oke? Udah Darin mau ke kamar dulu. Good night all." Aku segera membereskan piring dihadapanku untuk di bawa ke dapur.

      "Besok kamu ikut Ayah untuk nemuin calon kamu." Ucapan itu membuatku mengurungkan niat ke dapur.

      "Gak usah repot-repot, Yah. Gak perlu."

      "Ayah gak repot kok, besok Ayah libur, jadi kita semua harus hadir di pertemuan itu. Mereka sudah merencanakan itu. Mau gak mau kamu harus ikut, Darin." Aku memutar bola mata jengah lantas langsung ke kamar tanpa membereskan piring.

*****
Part ini pendek banget, semoga part selanjutnya lebih panjang.😂
Hari ini up dua Part.
.
.
.
Happy reading. Salam sayang dari author 😍.
Jangan lupa like dan coment.

Husband Nextdoor (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang