Episode 17

9 1 0
                                    

Hari Pernikahan. 30 Maret 2024. 16.15 pm.

Aula hotel disulap menjadi venue acara pernikahan yang sederhana tapi terlihat mewah. Jajaran kursi para tamu undangan ditata dengan rapi dan dihias dengan apik menampakkan bahwa ini bukan sembarang acara. Ini acara yang sangat penting bagi kedua keluarga.

Sebagai centerpiece, Meja-meja tamu dihias dengan berbagai jenis bunga. Ada bunga mawar pink yang memiliki arti tumbuhnya sebuah cinta yang baru, bunga lili air yang menyimbolkan kebahagiaan, juga tulip putih yang menyimbolkan kesucian akan cinta.

Lima candelier mewah tergantung rapi di langit-langit ruangan memberikan efek pencahayaan yang redup membuat suasana acara semakin khidmat.

Kain-kain putih tergantung dibentuk sedemikian rupa untuk menambahkan kesan pernikahan yang sesungguhnya. Kursi pelaminan untuk kedua mempelai disiapkan dengan dekorasi yang tak kalah mewah.

Diruang ganti aku menatap cermin dihadapanku dengan lekat. Memperhatikan sendiri wajahku yang sedang di make up oleh seorang MUA yang handal. Hari ini aku akan resmi menikah, melepaskan status single yang telah ku emban selama duapuluh tahun.

MUA itu sibuk memoles wajahku agar terlihat cantik dihari spesial ini. Tangannya dengan telaten menyapukan blush on menggunakan brush di pipiku menambahkan rona merah. Aku tak pernah berdandan sebagus ini.

Pintu ruangan terbuka, tampaklah Mama yang sudah mengenakan dress hijau sage sebagai seragam keluarga. Ia mendekat padaku dan ikut memerhatikan diriku dipantulan cermin. Cahaya matanya terlihat ada kesedihan disana, namun berusaha rela melepaskan anak gadisnya dimiliki orang lain.

“Cantik banget anak Mama. Mbak MUA nya pinter deh make up innya.” Masih saja bisa meledek di tengah-tengah kesedihan seperti ini.

“Mbaknya yang udah cantik aslinya kok bu.” Timpal MUA itu membelaku. Seketika senyumku terbit kemenangan.

“Habis ini langsung ganti baju ya. Sebentar lagi acara ijabnya dimulai. Mama ke depan dulu mau nyambut tamu.” pamitnya. Aku mencekal tangan Mama sebelum wanita itu beanr-benar pergi.

“Ma, aku takut.” Ucapku menatapnya melas.

“Gak biasanya. Kamu kan biasanya gak takutan gini.”

“Ma, ini beda. Aku takut kalau ternyata Kak Ali gak baik sama aku gimana? Secara kan kita kenalnya bentar banget.” Mama memegang kedua tanganku erat. Matanya menatapku intens berusaha meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa Ali adalah laki-laki yang baik untukku.

“Tidak ada yang namanya hidup mulus terus, Rin. Dalam pernikahan pun akan banyak ujiannya. Dan kamu adalah salah satu yang Allah takdirkan untuk siap menghadapai ujian itu. Allah tahu kalau kamu pasti bisa menghadapinya. Jadi, anak mama yang cantik ini harus kuat, oke?” senyuman indah itu terbit di wajah Mama memberikan efek positif padaku.

Menikah adalah ibadah yang paling panjang, seumur hidup. Tapi aku yang masih muda seperti ini apa bisa menjalani kehidupan yang panjang itu tanpa orang tua? Ibadah saja aku masih suka menunda-nunda. Ilmu agamaku yang sangat tipis ini tak bisa menjadi bekal dalam berumah tangga.

Fikih nikah? Aku tak tahu ilmu apa itu. Memang aku bukan lulusan pesantren seperti Aqil yang ilmu agamanya menumpuk di otaknya.

Tidak hanya itu, skillku dalam mengurus rumah juga sangat minim. Tidak bisa memasak, tidak tahu cara memperlakukan anak kecil bahkan aku sangat tidak suka dengan bayi yang menurutku sangat berisik. Merapikan rumahpun sangat jarang ku lakukan, aku hanya akan merapikan kamarku sendiri. Apa Kak Ali bisa menerima semua kekuranganku yang tersembunyi ini?

Husband Nextdoor (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang