Episode 8

13 1 0
                                    

Selamat Bulan Ramadhan teman-teman🙏🏻. Semangat puasanya ya! 🌝
.
.
Maaf banget baru Up hari ini, karena dua hari kemarin lagi ngurus kerjaan lain.🙏🏻😭
.
.
SELAMAT MEMBACA!

•••

Di dalam kamar aku sibuk memandangi kalender. Akhir bulan? Tanggal berapa yang harus aku ambil? Hari senin? Jum'at? Atau Ahad? Pertanyaan itu berputar-putar di otakku. Ternyata menentukan tanggal pernikahan sama sulitnya menghitung matematika. Aku melempar kalender itu asal.

"Harus ya nikahnya secepat ini?" Monologku sendiri. Atau hanya aku saja yang bersemangat mempersiapkannya? Semangat? Tentu saja aku tidak bersemangat kalau saja pernikahan itu masih lama diadakannya. Ali? Apa laki-laki itu sama bingungnya denganku? Ia terlihat santai saja dan siap dengan pernikahan ini. Apa aku tanya padanya saja ya?

"Ali, sialan. Kenapa dia harus menerima perjodohan tengik ini. Argghhh!! Menyebalkan." Aku mengacak-acak rambutku yang panjang. Memilih pergi ke kamar mandi untuk mendinginkan otak. Mandi dan keramas.

Aku bergegas keluar kamar mandi. Mengenakan handuk kimono, membalut rambutku yang basah dengan handuk asal dan segera menyambar ponselku di atas kasur, mencari sesuatu disana. Seketika aku mendapat ide untuk tanggal pernikahanku ketika sedang mandi tadi. Segera menemui Mama yang masih asik di dapur bersama Aqil.

"Mama!! Aku udah dapet tanggalnya!" Ucapku antusias dari tangga membuat kedua orang itu melongok kaget ke arahku.

"Tanggal 30, akhir bulan." Yap, aku menetapkan tanggal itu sebagai hari pernikahanku karena bertepatan dengan hari ulang tahun salah satu artis korea yang ku gemari, Cha Eunwoo.

"Bagus kalau gitu. Dua minggu lagi berarti. Mama setuju." Ucap Mama masih terkaget melihat penampilanku yang sangat aneh dipandang.

"Kakak, seksi!" Satu kata keluar dari mulut Aqil. Ku tapuk mulut lemesnya itu dengan keras. Lalu berlari kembali ke kamar untuk mengenakan pakaian. Aqil berteriak menyumpahiku.

"Sekarang kakakmu itu kesenangan mau nikah. Padahal kemarin-kemarin tantrum gak mau ketemu jodohnya." Guman Mama sambil kembali mengaduk sop ayamnya.

"Namanya juga Kak Darin, gak tantrum gak afdhol hidupnya." Mereka berdua tertawa dengan celotehan Aqil yang masuk akal.

*****

Sore ini aku berniat kembali ke habitat asal, ke apartement. Mama menyuruhku untuk menunggu makan malam saja, baru pulang ke apartement. Tapi aku menolak dengan alasan sibuk mengerjakan tugas kuliah yang menumpuk.

"Rin, udah netapin tanggal nikahnya?" Ayah bertanya padaku. Ia pulang lebih awal hari ini karena kemarin seharian tidak pulang dari rumah sakit.

"Udah, Yah. Tanya aja sama Mama nanti." Ayah mengangguk singkat dan kembali berkutat dengan laptopnya.

"Rin, tunggu bentar. Ini makanannya dibawa. Gak usah beli di luar, habisin dulu yang ini." Mama datang sambil membawa paper bag berisi lauk pauk.

Baik sekali Mamaku satu ini. Itung-itung pengiritan di akhir bulan. Karena pemasukanku hanya dari uang saku yang Ayah beri setiap bulannya. Belum ada pemasukan mandiri dari bekerja.

"Makasih, Ma. Sayang Mama banyak-banyak." Ku selipkan ciuman kecil dipipinya.

"Aqil, gue balik dulu. Kalau kangen maen aja ke apartement gue. Ntar gue shareloc." Anak itu hanya menatapku datar dari sofa.

"Mukanya datar amat kaya mbak kunti. Bye-bye Aqil laknat. Assalamualaikum, semuanya." Salamku berpisah.

Sesampainya di apartement, aku memarkirkan motor dan naik ke lantai 1, tempat tinggalku berada. Damai-damai saja perjalananku hingga di depan pintu rumah. Namun aku menangkap suara keributan ketika hendak membuka pintu. Itu berasal dari tempat tinggal Ali.

Sejenak aku terdiam menatap pintu itu sedang otakku bekerja menebak apa yang sedang terjadi hingga seorang wanita keluar dengan kondisi rambut berantakan dan menangis.

Otakku menangkap alarm yang berbahaya. Ada apa Ali dan wanita itu? Tidak mungkinkan ia berbuat yang tidak-tidak disana, kan? Semua pikiran negatif menggelayuti otakku. Aku berusaha untuk menghempaskannya dan berfikir positif. Tidak boleh menuduh sembarangan kalau tidak ada bukti yang valid.

Ali menatapku dari dalam rumahnya, terdiam terpaku. Wajah yang tidak bisa dibaca ekspresinya. Sungguh dingin dan misterius. Aku menatapnya tak mengerti dan bergegas masuk kerumah dengan dada yang dipenuhi amarah.

Seburuk apa sebenarnya sosok Ali itu? Kenapa semuanya masih gelap tentangnya? Kenapa tidak ada titik terang bahwa ia adalah laki-laki yang baik di mataku?

Perlahan air mataku turun. Aku terjatuh lemas di balik pintu. Kenapa aku menangis? Sesakit ini kah rasanya? Bukankah aku yang tidak mengharapkan pernikahan bodoh ini? Kenapa sekarang aku yang merasa tersakiti?

Baru siang tadi Tante Maya memohon kepadaku untuk menikah dengan anaknya, lalu Mama yang menyuruhku menentukan tanggal pernikahan. Lantas untuk apa Allah menampakkan ini semua? Air mataku semakin deras mengalir. Menumpahkan rasa sakit di dada yang tak kupahami.

*****
POV ALI

"Gila lo, Nan! Lo kalo mau ribut sama pacar lo jangan di rumah gue." Aku membentak pada Hanan, sahabat sekaligus anggota tim basket ku. Hanan yang sedang frustasi ikut memerah mukanya. Kembali tersulut emosi.

"Ya mana gue tahu kalo dia datang ke sini!" Kami sama-sama terdiam di penuhi oleh emosi. Sekarang aku bingung bagaimana menjelaskan keadaan ini pada Darin. Wanita itu kenapa juga tiba-tiba berada di depan pintu.

"Bikin salah paham tau gak sih lo."

"Maksud lo?"

"Ya sama tunangan gue. Dia tadi liat gue dari depen pintu. Dia bisa berpikir kalo gue ngelakuin hal yang enggak-enggak sama pacar lo, bego." Hanan sudah tahu perihal pertunanganku dengan Darin, pun fakta bahwa kami bertetangga.

"Sekarang masalahnya makin rumit. Lo harus rahasia in tentang Darin dari semua anggota. Ngerti?" Ancamku langsung diangguki olehnya.

"Terus gimana lo mau jelasin ini ke dia?"

"Gue juga mikir ini. Bantu mikir dong. Sebelum dia ngadu ke emaknya." Kami berdua hanyut dalam pikiran masing-masing.

Tidak ada badai, tidak ada hujan. Tadi tiba-tiba saja Karina, pacar Hanan, mendobrak pintu rumahku dan membuat keributan disana.

Aku yang sedang serius berdiskusi dengan Hanan tentang pertandingan basket minggu besok terkaget. Karina mengaku bahwa ia melihat Hanan sedang bersama perempuan lain ketika ia berada di Mall bersama temannya.

"Hanan, lo jadi cowok gak usah belagu deh. Menang tampang aja gandeng cewek sana-sini." Ucapnya spontan begitu memasuki rumahku. Hanan yang masih kebingungan seketika berdiri dan mendekati pacarnya itu.

"Kar, maksud lo apa ngomong kayak gini? Gue gak paham. Duduk dulu sini, jelasin baik-baik, oke?" Hanan mengandeng tangan Karina dengan lembut dibawanya ke kursi. Namun dengan kasar Karina menghempaskan begitu saja. Aku tentu saja tak berkutik di tempat melihat drama pasangan ini.

"Gak usah sok lembut. Lo tu emang ahli banget ya ngerayu cewek. Sampai-sampai pacarnya gak dipeduliin malah jalan sama cewek lain di Mall." Hanan yang sudah tahu kemana arah pembicaraan Karina, menghela nafas. Ini semua salah paham.

"Kar, jelasinnya pelan-pelan, jangan pake emosi." Ucapku melerai.

"Diem lo! Gak usah bela sahabat lo. Ini urusan gue sama dia." Aku menciut begitu saja dengan gertakannya. Gila, ceweknya Hanan galak banget. Aku memilih diam memperhatikan dari jauh.

"Gue minta maaf, oke? Ini cuma salah paham. Itu sepupu gue, Kar. Gue gak bohong." Hanan berusaha membela diri dengan menjelaskan kesalah pahaman itu. Serumit inikan hubungan tanpa ke halalan?

"Oh, cuma sepupu, tapi gandengan, mesra-mesraan, suap-suapan, gitu? Pacaran aja sama sepupu lo itu. Mulai detik ini kita putus! Blok aja nomer gue!" Karina mengeluarkan ucapan berbisanya yang membuat Hanan kejang keracunan. Lalu ia pergi begitu saja dengan tangisan yang belum berhenti. Tentu saja Darin tidak mengerti kejadian yang sebenarnya.

*****
Menurut kalian Darin ngadu ke Mama nya gak ya?
Guys, Sebenarnya Ali itu gak dingin-dingin amat kok, cuma bisa leleh di depen orang yang tepat 🤭.
.
.
Jangan lupa vote dan komen ya. Tetep banyakin tilawah di bulan suci ini.
.
.
Salam sayang dari Author 🥰

Husband Nextdoor (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang