Episode 11

19 2 2
                                    

Sebelum lanjut baca jangan lupa follow akun ini ya untuk dapat updaten an ceritanya.😉
.
.
.
SELAMAT MEMBACA!

•••

Awan putih membumbung tinggi memenuhi langit biru yang luas. Terik sinar matahari pagi tidak membuat orang menjadi malas untuk beraktifitas, malah sebaliknya. Karena musim hujan sudah berlalu maka datanglah musim panas. Di indonesia memang hanya memiliki dua musim, hujan dan panas. Musim apalagi yang kau tunggu? Tidak ada.

Tapi tidak denganku yang masih meringkuk malas di balik selimut. Ruang kamarku masih gelap karena lampu yang sengaja tak ku hidupkan setelah sholat subuh tadi.

Alarm dari ponsel ku berdering keras sekali. Aku memang selalu menyetel alarm setidaknya per setengah jam di pagi hari. Tapi tanganku terlalu lemas untuk mematikannya. Ku biarkan alarm itu melengking-lengking.

Selanjutnya berganti ponselku bergetar karena ada orang yang menelpon. Dengan sekuat tenaga aku meraihnya dari atas nakas untuk menjawab telpon. Tertera nama Shiren di sana.

“Rin, lo dimana? Gue tunggu lo di kelas gak dateng-dateng. Buruan ke sini, udah jam berapa ini? Bentar lagi kelas di mulai.” Cerocos Shiren dalam sekali nafas, mungkin.

Aku melihat jam sebentar, 9.50. Memang ada kuliah pagi hari ini, aku tahu itu. Tapi entah kenapa setelah subuh tadi tiba-tiba seluruh sendiku terasa sakit, kepalaku pun pusing tak terkira. Jadi aku berniat untuk istirahat sebentar, tak tahunya sudah selama ini aku tidur.

“Shir, gue ijin dulu keknya. Badan gue demam.” Ucapku sangat lemas. Aku sudah tidak peduli dengan jam kuliah pertama, badanku seperti tertimpa sesuatu yang besar. Pegal sekali. Ku ganti panggilan itu ke mode loud speaker dan ku biarkan di atas nakas. Semakin lama ponsel ada di dekatku, maka semakin pening kepalaku.

“Ya Allah. Kok bisa demam? Begadang lagi? Ya udah, gue ijinin. Nanti habis kuliah pagi, insyaallah gue jengukin lo. Kirim alamatnya. Minum air putih yang banyak dulu kalau gak ada obat dirumah. Jangan lupa makan, pokoknya makan apa aja yang lo punya. Gue tutup dulu, assalamualaikum.” Aku tersenyum tipis mendengar ocehan Shiren yang seperti Mama. Setelah ku jawab salamnya, panggilan itu terputus.

Sejenak aku memejamkan mata, berusaha merenggangkan badan dan menyingkap selimut tebal yang membungkusku. Aliran darahku seketika seperti berhenti memberi asupan ke otak begitu aku bangun dari tidur. Kepalaku berkunang-kunang.

Sinar matahari siang langsung menerobos mengenai wajahku begitu gorden putih itu terbuka. Angin sepoi-sepoi juga mulai masuk ke kamarku. Hanya ada tiga jendela di sini. Satu dikamarku, di ruang tengah dan satu di dapur. Namun hanya jendela kamarku saja yang rutin ku buka untuk membantu sirkulasi udara. Walaupun ada AC yang bekerja.

Dengan bersusah payah, aku berjakan keluar kamar menuju dapur. Aku meraih segelas air putih untuk membasahi kerongkonganku yang kering kerontang.

Lalu membuka kulkas berusaha menemukan makanan yang bisa menjadi ganjal perutku. Aku adalah orang sakit dengan tipe cepat lapar. Tapi begitu melihat makanan yang tidak kusuka, nafsu makanku bisa hilang begitu saja dalam sehari. Sedikit merepotkan memang.

Ku raih sebungkus roti sandwich sisa aku membeli kemarin. Menuangkan segelas susu. Lalu duduk dengan santai di sofa. Aku menatap kosong ke depan sambil melahap roti itu perlahan.

“Lucu banget gak sih gue, seminggu lagi nikah malah sakit. Mana belum persiapan apa-apa lagi.” Monologku sesekali mengunyah roti.

“Apa ini yang namanya sindrom sebelum nikah? Yang banyak drama. Tau ah, tambah pusing gue mikirinnya. Pusing banget Ya Allah....” Aku berganti posisi untuk merebahkan badan di sofa.

Kepalaku semakin nyut-nyutan memikirkan pernikahan yang seperti bukan pernikahan. Tidak ada persiapan. Tidak ada fitting gaun, survei tempat pesta, menyebar undangan atau apapun itu. Mungkin saja orang tua kami yang sudah mempersiapkan semuanya.

Padahal yang ingin ku rasakan ketika menikah nanti adalah memilih gaun pengantin dan mencobanya. Melihat gaun-gaun indah yang terpampang di butik. Lalu survei tempat pestanya, dekoran-dekorannya, tata letaknya dan segalanya. Tapi aku tak akan mendapatkan semua itu kali ini.

*****

Shiren datang membawa dua kantong plastik, satu berisi obat-obatan dan satu lagi berisi makanan. Tepat ketika adzan dhuhur tadi ia sampai di rumahku. Wanita itu sibuk mengeluarkan semua isi dari kantong plastik. Pertama ia menyodorkanku obat penurun panas lalu kembali sibuk di dapur.

“Rin, tadi di depan gue...” perkataan Shiren terpotong. Aku menatapnya dari sofa, menunggunya melanjutkan. “Bentar, gue selesai ini dulu.” Ia meletakkan potongan apel dan jeruk di atas piring lalu menghampiriku.

“Tadi gue di depen rumah lo lihat Kak Ali, atau gue aja yang salah lihat, atau orang yang cuma mirip dia doang?” Shiren menatapku penuh penasaran. Memang benar itu Ali. Dia tidak salah dan tidak ada orang yang mirip dengannya di sini.

“Lo gak salah lihat. Kak Ali emang tinggal disini. Tuh, depen rumah gue.” Jawabku santai, melahap satu potong apel.

“What? Dia.... tetangga lo?” Aku mengangguk membenarkan. Nah, kan tidak bisa selamanya aku menyembunyikan fakta bahwa kami bertetangga.

“Sorry, gak cerita ke lo. Sengaja sih, gue takut lo jadi sering main ke rumah gue kalo lo tahu.” Shiren menoyor kepalaku yang pusing.

Cukup fakta ini saja yang diketahui Shiren untuk sementara waktu walau aku yakin tak akan lama lagi berita pernikahan kami akan terdengar sampai ketelinganya.

Reaksinya cukup kalem kali ini, aku tak tahu bagaimana reaksinya ketika ia tahu bahwa kami akan menikah. Ku harap ia tetap kalem dan tidak menyusahkanku ke depannya.

“Sumpah gue bener-bener speechless pas liat Kak Ali keluar dari lift. Gue bener-bener bengong di depen pintu rumah lo, trus ngeliatin dia, gak kedip gue Rin... ngerasa mimpi gue. Ya Allah, selama ini lo sembunyiin hal berharga kek gini dari gue? Tapi bahaya banget sih kalo para fans girlnya tahu fakta ini, lo bakal jadi sasaran empuk.”

“Maksudnya?”

“Ya lo bakal jadi perantara mereka sama Kak Ali. Secara, buat nitip-nitip hadiah gitu lah.” Aku mengangguk mengerti dengan penjelasan Shiren. Se populer itu dirinya di antara perempuan?

“Bener juga. Kalau gitu lo harus tutup mulut kalau gue tetanggaan sama Kak Ali, jangan koar-koar di grup gosip lo, ngerti?” Shiren menggaruk kepalanya yang berbalut jilbab hitam.

Sebenarnya grup gosip itu memiliki perjanjian bahwa apapun yang kamu ketahui tentang Ali, entah benar atau salah, kamu harus memberitahu seluruh anggota grup, kalau tidak maka akan mendapat hukuman yang akan di tentukan. Sulit bagi Shiren untuk merahasiakan hal ini, tapi ini juga demi kehidupan sahabatnya.

“Oke-oke, gue rahasiain deh.” Pasrah Shiren. Obrolan kami terputus dengan suara bel rumah. Aku melirik Shiren sebentar, apa ia mengundang orang lain?

*****

Gimana menurut kalian bab ini? Jangan lupa komen ya.😂
.
.
.
Jangan lupa juga untuk vote. Salam sayang dari Author.

Let's next!👇🏻

Husband Nextdoor (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang