Episode 6

19 1 0
                                    

Sorry banget baru up hari ini🙏🏻. Sebagai permintaan maaf, aku bakal up 2 bab hari ini.
.
.
.
Selamat membaca!     

•••

      Hari minggu adalah hari istirahat dari segala aktifitas di luar rumah. Setelah subuh aku bersiap untuk ke Gym yang berada di lantai tiga. Membawa handuk kecil, botol minum dan mengenakan pakaian Gym yang nyaman dan menutup aurat. Aku sengaja memilih waktu di pagi buta karena khawatir akan bertemu dengan laki-laki itu lagi. Perlahan aku membuka pintu dan mengintip pada rumah di seberang. Tidak ada tanda-tanda kehidupan disana, sepertinya ia tak akan keluar kali ini.

      Aku dengan santai menuju lift naik ke lantai tiga. Tebakanku tepat, ruang Gym itu masih sepi dan gelap. Setelah menyalakan lampu aku melakukan streaching untuk melemaskan otot-otot. Aku memulai dengan olahraga otot kaki, treadmil lah yang ku pilih. Sepuluh menit berlalu, keadaan masih terkendali. Hanya satu dua orang yang mulai memasuki ruang Gym. Aku masih fokus dengan treadmil, waktuku masih ada dua puluh menit lagi.

      Lima belas menit berlalu, lima menit sebelum kejadian yang mengagetkan. Aku mulai mengurangi kecepatan treadmil agar lebih santai.

      “Minta nomer ponsel lo.” Kalimat yang begitu mengejutkan datang dari seseorang yang baru saja datang dan berdiri di mesin treadmil tanpa menyalakannya. Aku seketika menoleh padanya terheran.

      “Gak usah su’udzon. Bunda gue yang minta. Kalau gak mau ngasih ya serah lo.” Lagi-lagi dengan nada dingin. Ia mulai menyalakan treadmil di sampingku. Berlari di tempat.

      “Oh, gue kira lo cemburu gara-gara gue minta nomernya Faris kemarin.” Sindirku acuh.

      “Ha? Cemburu? Gak usah kepedean.”

      “Serah sih. Tapi sorry gue lagi gak bawa ponsel kesini, ntar gue cari kertas dulu.” Aku sudah mematikan treadmil dan hendak beranjak untuk mencari kertas dan bolpoin.

      “Tulis di ponsel gue aja.” Ucapnya sambil menyodorkan ponselnya. Aku menerimanya dengan ragu. Ini sungguh tante Maya yang meminta atau hanya akal-akalan Ali saja agar ia bisa mendapatkan nomer ku? Ide gila terlintas lagi di benaku. Aku mengetikkan nomer palsu.

      “Nih, udah.” Aku meletakkan ponselnya di depan mesin treadmil dan meninggalkannya begitu saja. Senyuman jahil terbit diwajahku. Ia pikir aku tidak mengerti trik modus yang ia gunakan, membawa-bawa nama ibunya segala. Aku berpindah pada alat gym yang lainnya.

*****

POV ALI

      "Nak, sudah dapat belum nomernya?” Wanita itu menagih permintaannya kemarin melalui telepon. Meminta nomer Darin. Aku sudah menyusun banyak cara di otakku bagaimana mendapat nomer wanita itu.

      “Sudah, nanti Ali kirim nomernya. Bunda ini gak usah minta yang aneh-aneh lagi. Kenapa harus minta nomernya lewat aku? Minta sendiri kan bisa.” Omelku sambil merebahkan badan di sofa. Ini bukan jadwalku untuk datang ke Gym sebenarnya, tapi demi bunda yang merengek untuk segera mendapat nomer ponsel wanita itu, jadilah aku harus datang kesana. Tentu setelah mengintipnya pergi keluar pagi tadi.

      “Iya deh. Ini yang pertama dan terakhir. Bunda mau ajak Darin makan siang hari ini. Mau kenalan lebih dalam lagi sama calon menantu bunda. Kamu mau ikut gak?”

      “Ali gak minat. Masih harus ngerjain proposal hari ini.” Aku menuangkan segelas air putih dan meneguknya kandas. Gerah sekali rasanya padahal hanya treadmil saja.

      “Ya udah kalau gitu. Sibuknya jangan berlebihan. Jangan lupa makan yang teratur. Bersih-bersih rumah....” dan omelan Bunda yang lainnya. Aku mendengarkannya melalui kamarku yang berjarak jauh sehingga suaranya terdengar samar dari telepon.

      “Ya!” jawabku setengah berteriak karena aku sudah bersiap untuk mandi. Selanjutnya sambungan telepon itu dimatikan secara sepihak.

      Selesai mandi aku kembali ke rutinitas hari biasa, membuka laptop untuk menonton pertandingan basket. Basket adalah olahraga yang sudah ku tekuni sejak masih SMP. Banyak pertandingan antar sekolah yang sudah ku ikuti hingga sekolahku mendirikan klub basket mandiri, akupun yang menjadi ketuanya. Entahlah, aku merasa jiwaku ikut masuk kedalamnya ketika pertama kali aku memegang bola karet berwarna oren itu. Dan hingga saat ini aku tetap menjadi ketua basket di kampus.

      Pertandingan antara tim Pelicans dan Eagle berada di klimaks. 11-11. Skor mereka seri dalam menit-menit terakhir. Pelicans semakin ganas menyerang ring lawan tanpa ampun. Langkahnya membesar ketika mendrible bola sambil berlari dan menghindari blokade dari Eagle. Tapi siapa yang bisa melawan ketangkasan dan kekuatan Pelicans.

      Eagle sangat beruntung bisa bertahan hingga sesi terakhir melawan Pelicans yang ganas. Mungkin tim mereka belum mengeluarkan jurus utamanya. Mereka masih main santai untuk bisa mengimbangi lawannya.

      Ketua tim Pelicans dengan gesit bak burung pelican, sesuai nama timnya, menyambar bola yang ada di tangan lawan. Lalu merangsek maju tanpa ampun meuju ring Eagle dan meloloskan satu poin untuk timnya. Pelicans berhasil menambah satu poin.

      Triing! Triiing!

      Ponselku berbunyi ketika sedang seru-serunya menonton. Siapa yang berani mengganggu hari liburku. Di layar tertera nama Bunda. Mau apa lagi Bunda? Aku mengangkat teleponnya dengan malas lalu menjawab salamnya singkat.

      “Kamu bohong ya soal nomernya Darin. Bunda telpon kok tidak menyambung?” Tuduhnya tanpa babibu.

      “Ali gak bohong, Bun. Dia sendiri kok yang nulis nomernya. Ya mana Ali tahu. Gak punya kuota kali, Bun.”

      “Nomernya tidak terdaftar di whatsapp, Ali. Bunda sudah cek.” Aku menghela nafas kasar. Lalu aku harus bagaimana? Mendatangi Darin dan meminta nomernya lagi. Aku tidak mau jadi orang bodoh.

      “Bunda jangan-jangan salah masukin nomernya? Atau ada nomer yang kurang. Di cek lagi coba.” Aku kembali menyakinnya. Itu benar nomernya.

      “Sudah Bunda cek berkali-kali. Tapi memang tidak terdaftar.”

      “Sebentar Ali cek dulu.” Aku berpindah pada aplikasi note dimana wanita itu menuliskan nomer ponselnya tanpa mematikan sambungan telepon. Aku terbelalak dengan susunan nomer yang wanita itu tuliskan disana. Pantas saja tidak tersambung, siapa yang akan menggunakan nomer telpon dengan susunan urut seperti ini. Wanita itu main-main ternyata dengan ku.

      “Bun, sepertinya memang salah deh nomernya. Dia sendiri yang bohong. Bunda besok minta sendiri aja deh, atau minta ke Tante Farah. Ali tutup dulu ya telponnya, Assalamualaikum.” Ku putuskan sambungan telepon begitu saja tanpa menunggu jawaban salam dari Bunda.

      ‘Darin, dia emang cewek aneh.’

*****

POV DARIN

      Malam ini, tumpukan tugas yang harus di kumpulkan besok berserakan dihadapanku. Mingguku memang beristirahat tapi jangan harap bisa beristirahat dari tugas kuliah. Aku mengerjakan di ruang tengah agar bisa leluasa dan mudah jika ingin mengambil minum atau makanan.

      Suara tawa menggelegar tiba-tiba terdengar hingga menebus dinding rumahku. Siapa yang malam-malam begini dengan tidak sopannya mengganggu tetangga. Ia kira ini gedung miliknya sendiri? Aku berusaha untuk tidak menghiraukan. Mataku fokus menatap laptop. Menyusun makalah dari referensi yang sudah ku dapatkan hari lalu.

      Suara tawa itu kembali terdengar semakin keras. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Bergegas aku keluar mencari sumber keributan itu. Tetangga sampingku terlihat tenang-tenang saja. Pikiranku langsung tertuju pada tetangga depan rumah. Si biang kerok. Dan benar saja, suara tawa itu memang berasal dari rumahnya. Haruskah mengadakan pesta di malam-malam begini? Ia tak tahu apa kalau dinding disini tidak terlalu kedap suara? Aku harus melakukan sesuatu.

      Aku memencet bel rumahnya berkali-kali dan seketika para penghuni rumah itu terdiam. Takut jika sang tuan rumah keluar, aku langsung berlari masuk rumah dan menguncinya rapat-rapat. Sepertinya cara jahilku berhasil juga. Suara tawa itu tak lagi terdengar hingga aku beranjak tidur.

*****
Hmm🤔 Gimana menurut kalian bab ini? Komen di bawah ya!
.
.
.
Sebelum next, jangan lupa vote dan komen. Salam sayang dari Author🥰

Husband Nextdoor (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang