XXVI. INVITATION

98 8 0
                                    

[TYPO BERTEBARAN - HAPPY READING]
[VOTE - COMMENT - SHARE]

Ω Ω Ω


Melihat Yuna tak kunjung berhenti menangis dan waktu sudah berjalan dua menit, Giyan akhirnya menegakkan badannya. Berjalan mendekati gadis itu yang masih menyembunyikan wajahnya dengan tangan.

Giyan langsung duduk di samping Yuna. "Udah jangan nangis lagi," sahut Giyan tanpa melihat gadis itu.

Yuna tiba-tiba terdiam dan langsung menjauhkan tangannya dari wajahnya. Ia menatap cowok di sampingnya dengan bibir melengkung ke bawah.

"Boleh minta peluk nggak?" celetuk Yuna dengan suara bergetar.

Giyan menoleh menatap gadis itu dengan senyum yang merekah. Cowok itu tidak menjawabnya melainkan merentangkan tangannya pertanda ia memperbolehkan gadis itu untuk memeluknya.

Melihat itu, Yuna langsung menghamburkan pelukannya dan tak tahan untuk kembali menangis. Ia menangis sepuasnya dalam diam.

Giyan pun mengusap punggung Yuna dengan lembut, membiarkan gadis itu menangis dalam pelukannya.

Karamel dan Alisha kompak menurunkan kepalanya setelah melihat kejadian itu. Mereka saling pandang satu sama lain dengan wajah yang terkejut.

"Ini beneran, kan, Ra?" ujar Alisha tidak percaya.

Karamel mengangguk membenarkan. "Bener, Lis," sahut Karamel.

"Fiks, mereka punya hubungan spesial," celetuk mereka bersamaan dan menunjuk satu sama lain.

Mereka berdua kembali menyembulkan kepalanya dan penasaran kejadian apa selanjutnya yang akan terjadi.

"Jadi Giyan suka sama Yuna," benak Karamel baru tahu.

"Untung gue nggak jatuh cinta beneran sama tu cowok," gumam Karamel tidak sadar.

"Hah? Lo ngomong apa barusan?" Alisha menatap Karamel dengan kening mengkerut.

"Hah? Nggak ada. Gue nggak ngomong apa-apa," balas Karamel sambil menggeleng bertubi-tubi.

"Kirain," ucap Alisha dan kembali melihat ke depan.

"Karamellll bisa-bisanya Lo ngomong begitu di samping Alisha," benak Karamel merutuki kebodohannya.

Yuna melepas pelukannya dan memperbaiki posisinya. Giyan pun sama halnya.

"Gimana... Udah baikan?" tanya Giyan dengan lembut.

Yuna merogoh saku bajunya dan mengeluarkan tisu dari dalam sana. Yuna menghapus jejak-jejak air matanya beserta ingusnya yang tak mau berhenti melorot.

"Baikan gimananya? Kalau Iden nggak ada di sisi gue, gue nggak bakalan pernah ngerasa baikan," jawab Yuna cemberut.

Giyan meraih tangan Yuna yang tidak memegang tisu dan membawanya ke pangkuannya.

"Lo nggak capek, Yun? Gue nggak tega liat Lo tiap hari kayak gini terus. Gue nggak mau liat Lo nangis gara-gara cowok berengsek itu," ucap Giyan selembut mungkin.

"Iden bukan cowok berengsek," tekan Yuna.

"Dia belum tau yang sebenarnya. Jadi stop ngatain Iden berengsek," tambah Yuna sambil menarik tangannya.

"Lo tau kan kalau gue peduli sama Lo? Kalau Lo butuh apa-apa kabarin gue aja. Gue siap kapanpun demi Lo," tutur Giyan dengan tegas.

Yuna menatap Giyan dengan rumit. "Lo masih suka sama gue?" tanya Yuna.

Giyan menghela napas panjang mendengar pertanyaan Yuna. Sudah tentu, ia masih suka dengan gadis ini.

"Kalau gue bilang iya, Lo mau ngapain?" Giyan bertanya balik.

𝐎𝐔𝐓 𝐎𝐅 𝐓𝐇𝐄 𝐁𝐋𝐔𝐄  [нιαтυѕ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang