BAB 2

10 1 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah memoleskan lipcream pada bibirku, mataku berpusat pada kalender yang tergeletak di meja rias

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah memoleskan lipcream pada bibirku, mataku berpusat pada kalender yang tergeletak di meja rias. Aku mengambilnya dan memerhatikan tanggal yang sudah kusilang-silang memakai pulpen merah. Sudah sebulan lebih lima hari aku menempati rumah ini, rupanya. Tidak banyak yang terjadi. Masih begitu-begitu saja, hanya beda latar tempat. Dan tentu ... aku masih sendiri di saat teman-teman dekatku tengah sibuk menyiapkan acara tunangan mereka masing-masing.

Dddrrtt ...

Ponselku bergetar dan terdapat notifikasi Whatsapp pada layar ponsel.

From : Melisa
Maylaf, maaf ya ... minggu ini gue nggak bisa. Mau jalan sama cowok gue.

Aku tidak berencana membalas pesan tersebut.

Dddrrtt ...

From : Chia
Beb, sorry banget nih. Gue nggak bisa minggu ini. Kok lo lupa sih? Kan gue tunangan tanggal segitu. Lo nggak datang?

PLAK!

Aku menepuk keningku. Aku memang tidak berencana menghadiri tunangan siapa pun. Bodohnya, aku malah mengajak Chia yang rupanya minggu ini dia tunangan.

From : Maylaf
To : Chia
Eh, bukan minggu ini Chia. Itu typo. Harusnya minggu depan. Tapi kalo lo nggak bisa juga nggak apa-apa, sih.

Pada akhirnya, berbohong demi kebaikan menurutku sah-sah saja.

"Huft ..." aku menghela nafas.

Pagi-pagi sudah menyumbang polusi udara dari nafasku yang berat. Aku menyandarkan punggungku pada sandaran kursi. Memerhatikan wajahku yang cantik ini-menurutku dan keluargaku-terkulai lemas ditampar kenyataan. Kenapa sekarang aku jadi sendirian? Kenapa pangeran berkuda yang Tuhan takdirkan untukku juga belum datang-datang hingga detik ini? Tuhan ... aku juga butuh someone to talk.

'Tok ... Tok ... Tok ...'

"Iya ..." jawabku dari dalam kamar.

Begitu daun pintu terbuka, terlihat Eyang Uti berjalan ke arahku dengan pelan. Rambutnya sudah memutih semua dan keriputnya sudah dimana-mana. Punggungnya sudah agak membungkuk sebab usianya sudah menyentuh 68 tahun. Dan aku harap beliau akan terus hidup hingga bertahun-tahun ke depan.

Gugusan MisteriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang