BAB 20

2 0 0
                                    

Seminggu berlalu.

Sehari setelah dari Bali, Sakha benar-benar melamarku. Dadakan kayak tahu bulat. Dan hari-hari setelahnya setelah dia pulang kerja dan aku sedang tidak ada meeting, kami pergi ke wedding exhibition. Melihat vendor-vendor untuk wedding kami yang akan dilaksanakan bulan ini juga. Ya, semuanya serba dadakan. Orang tuaku pun terkejut namun mereka tetap support. Katanya biar nggak dapet dosa zina terlalu lama.

Aku baru saja keluar kantor. Omong-omong, aku akan launching sebuah buku yang kutulis dari satu tahun lalu. Dan hari ini aku janjian dengan Melisa di salah satu Mall Jakarta. Jujur, aku agak nervous sendiri mengingat kita sudah benar-benar lost contact setahunan lebih. Aku juga tidak tahu apakah Melisa masih kesal kepadaku atau tidak. Tapi yasudah lah ... namanya juga usaha.

Aku memasuki salah satu outlet Sushi. Duduk di tempat paling ujung setelah memesan pesananku dan mengambil nomor meja. Beberapa kali aku mengambil nafas, menenangkan detak jantungku. Aku sedikit takut. Takut Melisa tidak welcome. Takut Melisa merasa terganggu dengan pertemuan ini dan ketakutan-ketakutan lainnya. Tapi kalau aku tidak mengajaknya bertemu, mau sampai kapan kami perang dingin begini?

'Tak ... tok ... tak ... tok ...'

Suara sepatu berdekak-dekak itu menuju mejaku. Kulihat seseorang yang memakai stiletto hitam, celana jeans loose haighwaist, blazer biru muda dan rambut yang diikat satu itu kini berdiri di depanku. Aku segera berdiri menyambutnya. Menyapanya dengan senyuman ... canggung.

"Hai, Mel."

"Hai, Maylaf Adzkiya." Jawabnya seraya tersenyum. Entah hanya formalitas atau memang tulus aku tidak tahu.

"Duduk dulu, Mel." Ucapku menyuruhnya duduk.

"Nggak peluk dulu? Kita udah lama nggak ketemu loh, May."

Aku kembali menatap kedua matanya. Memang dasarnya lemah, aku mulai berkaca-kaca dan langsung menubruk Melisa. "Mel, gue minta maaf ya ..." ucapku dengan tangis yag sudah tidak tertahankan.

"Gue juga May. Gue juga minta maaf ya."

Pengalaman yang paling tidak enak menurutku adalah bertengkar dengan sahabat sendiri yang mana sebelumnya dia sudah seperti saudara sedarahku. Apa-apanya sama dia, kesana-kesini sama dia, gila-gilanya sama dia, sedih-sedihnya sama dia, lalu tiba-tiba bertengkar tuh sakitnya lebih sakit dari diputusin pacar sendiri. Bukan kah begitu? Kurasa 99% manusia mengangguk dan mengatakan hal tersebut valid.

"Jadi lo nikah kapan?" tanya Melisa padaku.

"Insyaallah bulan ini, Mel. Dadakan juga." Ucapku kemudian menyuapkan sushi ke mulut. "Lo beneran bulan depan? Gue kira lo udah nikah terus nggak ngundang gue."

Melisa terkekeh. "Tadinya berpikir begitu sih, May. Soalnya kan lo tau sendiri, dari dulu gue paling nggak bisa mulai percakapan. Kita lagi biasa-biasa aja gue nggak bisa mulai, apalagi pas berantem."

"Well, Gue minta maaf ya Mel. Selama ini banyak banget salah ke lo. Banyak banget ngerepotin lo. Banyak banget bikin susah lo. Tapi terima kasih udah ngasih kesempatan kesekian kalinya untuk gue memperbaiki hubungan pertemanan kita."

Melisa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya, dimaafkan. Terima kasih ya udah terus berusaha memperbaiki hal-hal yang rusak. Semoga lo tetep sehat-sehat deh, dan tetap bertumbuh jadi manusia yang baik."

"Hahaha, tumben kata-kata lo bener. Diajarin siapa?"

"Cowok gue."

Aku tertawa kecil. Dan kami melanjutkan obrolan-obrolan berikutnya dari yang ringan sampai yang deep talk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gugusan MisteriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang