BAB 17

1 0 0
                                    

Aku memeluk diriku dan duduk di pojok kamar. Sudah dua hari aku tidak mandi. Sudah dua hari piyamaku tak kunjung diganti. Dan entah sudah berapa hari rambutku tidak disisir. Hanya dicepol asal yang menyisakan banyak anak rambut berjatuhan.

Aku merasa hampa. Kosong melompong dalam hatiku. Aku merasa semua orang meninggalkanku. Semua orang tidak ingin lagi membuat relasi tanpa konflik padaku. Semua orang tahu bahwa aku landak. Yang ketika disentuh maka durinya akan muncul dan melukai apapun yang menyentuhnya. Sama sepertiku. Bisa jadi niat mereka baik, namun aku tidak melihat itu sebagai sesuatu yang positif. Aku sering tiba-tiba senewen, tiba-tiba merasa sangat tersinggung atau bahkan tiba-tiba merasa sangat marah. Dan aku benci pada diriku sendiri yang sering kali melakukan hal impulsive seperti ini.

Aku hanya melamun dengan air mata berlinang yang sudah kering. Bibirku pucat dan pecah-pecah. Kulitku kering karena tidak kuaplikasikan skincare seperti sebelum-sebelumnya. Malam-malam kulalui dengan perasaan hampa yang nyaris tak tertolong. Aku melihat, tidak ada kehidupan yang lebih buruk dair hidupku.

Aku memutuskan untuk menghapus akun sosial mediaku. Aku merasa sedih atas kebahagiaan teman-temanku di sosial media. Aku juga tidak ingin, tapi untuk kali ini, aku tidak bisa mengontrol rasa iriku melihat mereka. Sudah menikah dan dikaruniai keluarga yang baik, baru melahirkan anak bayi yang lucu, atau bertunangan dengan pria idamannya. Ah, satu lagi. Single, tapi travelling melulu. Semua orang tampak disisakan satu ruang untuk berbahagia. Tapi aku merasa ... Tuhan tidak menyisakan ruang itu dalam hidupku. Aku merasa semuanya rusak. Baik percintaan, pertemanan, keluarga, bahkan diriku.

Terakhir, aku melihat postingannya Melisa. Tampak sangat bahagia ketika bertunangan dua hari lalu. Kurasa hidupnya sudah baik-baik saja. Temannya masih banyak. Keluarganya masih ada dan selalu sedia mendengarkan keluh kesah dalam hidupnya. Kini dilengkapi dengan pasangan yang sangat menyayanginya. Seberat apapun beban yang ia pukul sebagai tulang punggung keluarga, tetap saja ... dia punya tempat untuk pulang. Entah itu Ibunya atau calon suaminya.

Aku juga melihat postingannya Karina. Setiap weekend dia dan suaminya selalu menyempatkan diri untuk berlibur. Terakhir mereka liburan sambil snorkeling. Asik rasanya berfoto romantis di pesisir pantai. Meski belum dikaruniai anak, hidupnya tampak bahagia-bahagia saja. Dan ... suaminya selalu menjadi tempatnya untuk pulang.

Kemudian aku melihat postingannya Ara. Dia juga sedang melakukan foto prewedding bersama calon suaminya. Tentu saja dari dating apps. Ara termasuk orang yang beruntung sebab mendapat pria yang cukup mapan, baik dan tidak aneh-aneh meski mereka bertemu lewat dating apps.

Entah kenapa, aku merasa semua orang beruntung. Disamping kehidupannya yang keras, mereka punya alasan untuk bahagia dan mungkin membantu meringankan beban mereka. Tidak sepertiku. Aku tidak tahu harus bahagia karena apa.

Dan ... semua orang punya rumah. Punya tempat untuk pulang. Tidak sepertiku. Orang-orang yang pernah kujadikan rumah, mereka selalu pergi. Pada akhirnya, aku selalu ditinggalkan sendiri begini. Ingin menyalahkan takdir, rasanya aku bukan siapa-siapa. Aku merasa tidak berhak melawan Tuhan.

07.00 AM

Aku berkaca di depan cermin kamar. Aku mendadak insecure. Aku merasa wajahku ini jelek. Diriku ini sangat jelek. Aku kesal dan memilih meninggalkan cermin tersebut lalu duduk di ranjang. Mengambil ponsel yang sejak dua hari lalu tidak pernah berubah letaknya. Mengetikkan sebuah nama di kontak whatsapp.

'Calling Kak Allura'

"Pagi! Halo, May? Ih seneng banget akhirnya lo udah bisa menghubungi gue duluan!"

Gugusan MisteriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang