BAB 15

1 0 0
                                    

Malam minggu ini, aku dan keluargaku memutuskan untuk menginap di salah satu hotel yang ada di Bandung. Pun dengan Sakha. Ia dan Kakaknya mendadak harus menginap di Bandung karena mereka berdua memiliki schedule hingga hari senin. Kamar kami berurutan. Kamar 163 ditempati oleh Ayah dan Bunda, kamar 164 ditempati oleh aku, dan kamar 165 ditempati oleh Shaka dan Shova.

Aku turun dari mobil sembari menjinjing tasku yang agaak besar karena berisi pakaian, alat mandi dan lain sebagainya. Kulihat ke arah lobby hotel, Shaka dan Kakaknya sudah lebih dulu memasuki gedung hotel tersebut. Baru saja ingin berjalan menyusulnya, Bunda menahan tanganku.

"Kak, awas kalo macem-macem!" ancam Bunda dengan lirikan sinisnya. Tentu ia tahu kalau kamarnya Shaka berada tepat di samping kamarku.

Terkadang aku kesal dengan sifat Bunda yang berlebihan seperti ini. Dia selalu bersikap tidak percaya kepadaku. Aku tahu, mungkin itu salah satu bentuk kasih sayangnya, mungkin itu salah satu bentuk kepeduliannya, tapi ... dicurigai atau bahkan dituduh padahal sesuatu itu belum atau tidak terjadi merupakan sebuah hal yang menurutku sangat. Sangat. Sangat. Sangat menyebalkan.

-oOo-

Sekitar pukul sebelas malam, aku sudah berada di kasur dengan piyama lengan panjang dan celana lengan panjang berwarna pink. Aku juga sudah mengaplikasikan skincare di wajahku. Lampu hotel sudah kumatikan, yang tersisa hanya lampu tidur di nakas meja. Aku memejamkan mata namun tidak bisa nyenyak. Balik sana, balik sini, semua posisi tidur mendadak tidak ada yang enak.

Aku mendengus kesal karena tidak kunjung tertidur padahal sudah 30 menitan aku tidak pegang ponsel. Aku telentang, memandangi langit-langit hotel. Hening. Sesekali hanya terdengar suara langkah kaki yang sepertinya mereka baru keluar dari lift. Please, jangan pikir yang aneh-aneh, sebab kali ini aku tidur sendirian. Ya, sehari-harinya memang selalu tidur sendirian sih, tapi ini kan ... bukan di rumah.

"Duh ..." aku mulai gelisah hingga terduduk di ranjang. "Telepon siapa, ya? Takut ..." aku sudah tidak bisa menutup-nutupi perasaan takutku ini.

"Melisa?" pikirku kemudian mengurungkannya kembali. "Ck, nggak usah lah. Dia juga udah lupa kali sama gue. Udah sibuk juga kali sama hidupnya."

Aku menggigit bibir bawahku. Scrolling down nama-nama orang yang ada di kontak teleponku. Aha! Sakha.

"Tapi kan ... baru juga tadi ketemu ..."

'Dddrrtt ...'

Lagi-lagi, seolah ada ikatan batin yang terjadi, Sakha meneleponku.

"Halo, Sakh?"

"Loh? Belum tidur? Aku iseng doang padahal."

"Belum nih, susah tidur."

"Susah tidur? Kan tadi udah jalan-jalan, udah makan, apalagi?"

"Iya juga yah ... ngggak tau nih kenapa."

"Hmm ..." suara dehaman Sakha yang berat itu nyaris membuatku kehabisan nafas. "Mau ketemu lagi?"

"Emang boleh?"

"Boleh dong. Sekalian jalan aja yuk, mau nggak?"

"Ayo!"

"Ish semangat banget hahaha ..."

"Eh tapi aku make sure Ayah sama Bunda udah tidur dulu ya ..."

"Ya ampun. 25 tahun masih aja backstreet begini."

-oOo-

Begitu membuka pintu kamar, tiba-tiba Sakha sudah berdiri dengan bersandar pada dinding seberang kamarku. Dia juga sudah berganti baju tidur. Hanya kaos pendek berwarna putih dan celana pendek berwarna biru. Tidak lupa, sandal jepit yang entah dia dapatkan dimana.

Gugusan MisteriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang