BAB 19

2 0 0
                                    

Semalaman hampir tidak bisa tidur. Virus merah jambu sepertinya bersiap memerangi ego dan amarahku. Aku masih memejamkan mata meski otak dan seluruh anggota tubuhku sudah seratus persen sadar. Bimbang yang menggelantung di udara membuatku kadang tidak bisa berpikir lebih rasional. Eh tapi ... memang memutuskan untuk berusaha balikan dengan mantan terlahir dari pikiran yang rasional, ya?

Hanya suara AC yang mengisi keheningan di kamarku pagi ini. Aku membuka mata perlahan. Mengacak-acak rambutuku frustasi. Takut lebih gila, aku memutuskan untuk mengambil wudhu dan solat subuh. Air dingin membasahi kepalaku yang sedang bimbang sendiri.

Aku menunaikan dua rakaat subuh. Disusul dengan dua rakaat istikharah. Ingat kata-kata Ayah kalau sedang gundah, kalau sedang bimbang dan galau, lebih baik minta jawaban dari Allah lewat istikharah.

"Ya Allah ... aku lelah menaruh hati pada cinta yang salah. Aku juga lagi nggak menaruh harap pada manusia mana pun. Karena aku sadar, sepahit-pahitnya hidup adalah berharap pada manusia. Kali ini, kalau Sakha memang benar-benar untukku, memang benar-benar takdirku maka mudahkanlah caranya untuk mendapatkan aku. Dan Ya Allah ... aku ingin cinta yang pasti-pasti aja dan cinta yang engkau ridhoi."

-oOo-

07.00

Setelah stretching tipis-tipis, dengan jaket Airism Uniqlo berwarna lilac dan legging panjang berwarna senada, aku memasuki restoran Hotel yang belum banyak pengunjung. Mengambil croissant dan Café Latte yang ku-request pakai ice.

"Jadi gini, Bun ... kemarin aku ketemu Sakha ..."

Aku menceritakan semuanya kepada Bunda dari awal aku bertemu dengan Sakha. Bunda sedikit terkejut karena kali ini ia tidak memberi tahu siapa pun kalau aku sedang di Bali. Bunda bilang, mungkin Sakha takdirku. Tentu aku menyanggahnya, namun Bunda bilang di dunia ini tidak ada sesuatu yang namanya kebetulan. Semuanya takdir dan sudah direncanakan Tuhan.

Setelah berteleponan dengan Bunda dan Ayah lalu menghabiskan sarapan yang sudah entah ini piring ke berapa, aku melamun sejenak. Namun dering ponsel menggangguku. Ada yang menelepon—lagi. Sakha?

"Halo?"

"Sekarang mandi, siap-siap, kita ke Bali Zoo. Kamu aku jemput 30 menit lagi."

'Klik!'

Belum sempat memutuskan untuk ikut atau tidak, Sakha memutuskan panggilan telepon secara sepihak. Si Kampret.

-oOo-

Seperti biasa aku mencepol rambutku asal. Memakai kemeja oversize putih tulang serta celana hitam di atas dengkul. Tidak lupa memakai sepatu lari Diadora sebab hari ini akan berjalan kaki cukup lama. Kulihat Sakha juga cukup ehm, keren. Memakai kacamata hitam, kemeja motif bali ala-ala yang kancingnya dibuka dan memperlihatkan kaos putihnya. Serta celana pendek berwarna khaki muda.

Para rusa menyambut kami begitu tiba di pintu masuk. Aku dan Sakha memberi makan rusa tersebut. Sakha menyuruhku yang menyuapkan makanannya sementara dia sibuk mengambil gambarku. Aku yang menyadari lensa kameranya sedang on, langsung berpose dan menunjukkan wajah tercantikku.

"Coba liat dong hasilnya!" seruku mendekat ke arah Sakha. Sakha memberikan ponselnya. Aku tersenyum menyadari lelaki ini pintar juga mengambil angle foto. "Aku cantik banget nggak—"

"Iya."

Aku sedikit mengadah, melihat wajahnya. Tidak sadar bahwa jarak kami sedekat ini. Dan rupanya saat aku sibuk melihat ponselnya, justru Sakha malah sibuk melihat wajahku.

"Kamu cantik. Mau di kamera mau langsung lihat. Kamu cantik."

Ucapannya mulai membuat efek-efek butterfly dalam diriku. Namun aku selalu berusaha keras menyembunyikannya. Aku agak salah tingkah jadi tidak meresponnya dalam bentuk apapun. Dan kembali melanjutkan aktifitas.

Gugusan MisteriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang