BAB 12

3 0 0
                                    


BAB 12

Tiga hari terakhir ini kami cukup sibuk, tapi tidak sesibuk awal perencanaan dan pelaksanaan acara. Anak-anak kantor juga tidak percaya kalau ternyata peminatnya banyak sekali. Tidak hanya pengunjung, brand-brand juga mengaku kalau mereka senang sekali bisa berpartisipasi dalam acara ini. Bahkan sekitar 70% brand yang hadir dalam booth-booth yang ada di acara ini, meminta agar brand mereka harus ikut berpartisipasi lagi di tahun depan. Sungguh merupakan sebuah kebanggaan untuk perusahaan kami karena acara ini menjadi acara pameran kecantikkan terbesar se-Indonesia. Menurut kami, ini merupakan buah hasil jerih payah orang-orang kantor. Terlebih untuk Queen Bee yang memang menjalankan perusahaan start up ini dari awal sekali.

Hari-hari terlewati dengan ke-hectic-an di kantor kami. Tibalah hari ini, aku dan anak-anak kantor memutuskan untuk makan bersama sekalian merencanakan reward karena anak-anak kantor sudah banyak yang achieve goals.

"Mau kemana, May?" tanya Cynthia begitu melihatku berjalan ke arah pintu keluar kantor.

"Mau ke minimarket sebentar. Gue mau ngambil cash."

Cynthia yang tengah memegang segelas es kopi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian terus berlalu.

Hari ini langit Jakarta cukup teduh meski tidak mendung. Aku berjalan menuju minimarket terdekat diiringi dengan suara mesin-mesin kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya. Sesekali aku menyelipkan rambutku ke belakang daun telinga agar tidak berterbangan dan menghalangi pandangku.

'Ting!'

Aku memasuki minimarket dan berjalan menuju mesin ATM. Memasukkan kartu ATM pada slot yang ada kemudian menekan PIN. Aku merapikan rambutku dengan berkaca pada bagian atas layar monitor mesin ATM. Setelah berhasil menerima cash uang kertas lima puluh ribuan, aku berjalan hendak keluar dari minimarket ini. Namun fokusku teralihkan begitu melihat snack yang ada di rak.

"Duh ... beli nggak ya?" aku mendadak dilema. "Mau hidup sehat sih, tapi ciki-ciki ini kenapa terlihat menggiurkan, ya?"

Aku mengehela nafas. Merentangkan kelima jariku. "Beli ..." aku menutup jempolku. "Nggak ..." kemudian aku menutup jemariku. Dan melakukan itu seterusnya hingga kelingkingku tertutup. "Beli."

Pada dasarnya aku memang ingin membelinya saja.

"Sepuluh ribu." Ucap Kasir wanita setelah meng­-scan belanjaanku.

"Ini, Mbak." Ucapku sembari memberikan selembar uang bernilai lima puluh ribu rupiah. Iseng, aku menoleh ke samping.

Seorang perempuan yang sepertinya umurnya beberapa tahun di bawahku. Rambutnya yang highlight blonde dikuncir satu namun tampak tak pernah tersisir. Sweater putih tulang menutup setengah tubuhnya hingga menenggelamkan jemarinya. Celana kulot berwarna senada pun turut menutupi kakinya hingga setengah sneakers abu-abunya.

"Mbak ... Zara?" sapaku yang masih 30 persen ragu.

Perempuan itu menoleh pelan ke arahku. Meski wajahnya datar namun sorot matanya menyiratkan kalau ia pun penasaran kenapa tiba-tiba ada aku di sini.

-oOo-

"Halo, Kak. Aku izin keluar ya, kerjaankku sudah beres kok. Mungkin bisa di-cek di email kamu atau buka komputer di mejaku juga nggak masalah." Ucapku dari ujung telepon.

"Oke, May."

'Klik.'

Sambungan telepon terputus bertepatan dengan toast dan cramel macchiato ice yang datang ke meja kami berdua. Aku dan Zara.

Gugusan MisteriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang