BAB 18

4 0 0
                                    

Setahun kemudian.

Hari ini adalah ulang tahunku yang ke-26. Seperti biasa, kami merayakannya bertiga saja. Aku, Ayah dan Bunda. Saat ini kami ada di sebuah Café bernama Greyhound Café. Yang merupakan restoran Thailand dengan konsep urban meets nature. Nuansa tropical garden membuat Café ini menjadi kelihatan asri dan nyaman. Sungguh menarik untuk dikunjungi. Banyak spot-spot menarik untuk mengambil foto di dalam Café ini.

Di meja kami sudah tersedia Manggo sticky rice, dua mineral water, dua iced latte. Untuk main course-nya aku memesan sphagetti carbonara In, sementara Ayah dan Bunda memesan tom yum hot pot. Untuk dessert-nya keluarga kami request diberikan setelah makanan utama kami habis.

Disela-sela makan malam, kami berbincang banyak hal. Ayah dan Bunda juga mulai terlihat tertarik untuk membicarakan mental health. Lambat laun, mereka mulai paham bahwa penyakit mental bukan semata-mata hanya kurang ibadah saja. Aku senang, kehidupanku sudah mulai membaik. Ayah dan Bunda mau berusaha untuk mengerti keadaanku. Pun juga sebaliknya. Aku juga mau berusaha untuk mengerti keadaan mereka. Dalam hati, kulangitkan doa pada Yang Kuasa. Semoga begini seterusnya.

"Terus kamu jadi ke Bali?" tanya Ayah padaku setelah menyeruput kuah Tom Yum.

Aku mengangguk. "Iya, 5 hari ya, Bun."

Bunda mengangguk-angguk. "Tapi jangan aneh-aneh ya. Jaga diri, jaga barang dan jaga iman."

Aku tertawa kecil. "Udah berasa kayak mau pergi ke luar negeri sebulan."

Denting antara alat makan dan piring yang beradu menemani dinner keluarga kami. Dessert kami sudah datang. Aku mengambil sticky mango rice dan menyicipnya. Enak. Tidak terlalu manis. Bunda juga setuju, Mangganya manis meski kurang mengkel. Selain itu gurihnya juga pas dan menambah kelezatan makanan ala Thailand yang satu ini.

"Kak ... maafin Bunda, ya." Ucap Bunda yang seketika membuatku mengatupkan mulut. "Bunda kira, selama ini Bunda udah ngelakuin yang terbaik. Bunda kira, Bunda selalu tahu apa yang kamu maksud, apa yang kamu mau. Ternyata Bunda nggak pernah tahu perasaan kamu yang sebenarnya. Bahkan mungkin, sikap atau perkataan Bunda lah yang jadi salah satu faktor penyebab perasaanmu terluka."

Aku yang tidak pernah menangis di depan orang tuaku, kini mati-matian menjaga agar air mataku tidak jatuh. Aku hanya menunduk, fokus makan mango sticky rice yang ada dalam genggamanku.

"Ayah juga minta maaf ya, Maylaf Adzkiya. Selama ini pasti kamu sering merasakan kesusahan sendiri, ya? Dari mengontrol emosi sampai menjaga hubungan dengan siapapun. Maafin Ayah yang selama ini nggak pernah andil membantu kamu ya, Nak." Ayah mengusap kepalaku. "Tapi Ayah bangga sama kamu. Maylaf hebat, sudah bisa melewati semuanya hingga sampai di titik ini."

Bunda ikut mengangguk. "Benar. Kamu anak yang hebat. Terima kasih ya Sayang sudah bertahan sampai sejauh ini."

Malam ini tangisku pecah. Aku berangsur memeluk Bunda yang ada di hadapanku. Bunda membalas pelukanku lebih erat. Sesekali mengecup kepalaku. Kalimatnya yang terakhir, merupakan wish list-ku selama ini. Tidak ada kata-kata menghakimi, tidak ada kalimat-kalimat merendahkan, dan itu sebuah privilege. Menyadari bahwa tidak semua orang tua bisa mengapresiasi anaknya, tidak semua orang tua bisa menjadi support system anaknya, tidak semua orang tua mau mengaku kalau mereka keliru dan tidak semua orang tua bisa mengucapkan kata 'maaf' kepada anaknya, membuatku merasa bersyukur ada di tengah-tengah kehidupan Ayah Gibran dan Bunda Luly.

Dan kehidupanku, berangsur-angsur membaik.

-oOo-

Bandara I Gusti Ngurah Rai, 09:00 AM

Gugusan MisteriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang