Aku menatap pada keheningan dan kekosongan yang terhampar di depanku. Jarum pendek jam dinding menunjuk di tengah-tengah antara angka sepuluh dan sebelas sedangkan jarum panjangnya berhenti di angka enam. Aku terkejut. Ternyata ini sudah pukul setengah sebelas malam. Tumben sudah jam segini tapi mataku belum merasa mengantuk. Biasanya baru lewat waktu isya saja aku sudah ribuan kali menguap.
Zahira sudah lama terlelap di kamarnya sendiri- ah iya, akhirnya Zahira resmi punya kamarnya sendiri sejak masuk sekolah. Kalau mas Ganjar entah sedang mengerjakan apa di ruang tengah. Sepertinya sejak kemarin dia sibuk mengetik-ngetik dengan laptopnya. Pekerjaannya memang cukup menyita perhatiannya akhir-akhir ini. Beberapa kali dia juga sering ikut pelatihan di luar kota selama beberapa hari.
"Lho, kirain Ibu udah tidur," kata mas Ganjar yang tiba-tiba saja masuk ke kamar sembari menjinjing tas laptopnya. Sepertinya pekerjaannya sudah selesai. Suara televisi yang tadi sayup-sayup terdengar juga sudah hilang. Omong-omong soal TV, mas Ganjar memang biasa menyetel TV sambil bekerja yang mana sebenarnya ini bukan kebiasaan yang baik karena membuang-buang listrik tapi meski sudah kutegur tetap saja tidak berubah. Jadi kubiarkan saja. Toh, dia yang membayar tagihan listriknya. Untungnya tagihan listrik kami tidak pernah sampai membengkak.
"Belum," sahutku.
"Kenapa?" tanya mas Ganjar.
"Nggak tahu," jawabku.
Mas Ganjar langsung meletakkan tas laptopnya di atas meja kerja tak jauh dari tempat tidur kami lalu langsung menghampiriku yang duduk di atas kasur. "Ibu marah ya sama Ayah?" tanyanya dengan wajah polos yang sebenarnya membuatku ingin tertawa.
Aku menggeleng. "Nggak kok," ucapku masih tetap pendek. Aku sedang tidak berminat bergurau karena sedang galau.
Mas Ganjar mengernyit. "Terus kenapa kalau ditanya jawabnya singkat-singkat gitu kayak orang lagi marah?"
"Ya nggak papa, Yah. Emang lagi pengen jawab singkat aja. Emangnya aneh ya?"
Mas Ganjar mengangguk kuat-kuat. "Ya, aneh lah. Ibu marahin Zahira karena hal sepele aja bisa dari A sampe Z masa yang kayak gini nggak dianggap aneh?"
Aku mencebik. "Kapan Ibu marahin Zahira?"
"Sering," sahut mas Ganjar cepat. "Baru tadi pas makan malem. Gara-gara Zahira nggak sengaja numpahin air minum aja Ibu merepet dari abis magrib sampe abis isya."
Aku mencebik lagi. "Dih, lebay. Nggak sampe selama itu juga kali ah."
"Ya, pokoknya buat Ayah lama deh."
Aku mendengus pelan. "Ya, maklum lah, Yah, kan kerjaan Ibu dari pagi udah banyak. Masak, nyuci baju, nyuci piring, nyapu, ngepel, belum lagi nyiapin Zahira sekolah, nganterin Zahira sekolah, nungguin di sekolah sampe dia pulang, pulang dari sekolah masak lagi buat makan siang, abis itu nyiapin Zahira buat berangkat madrasah, beres-beres lagi. Gitu terus sampe malem. Wajar kalau tiap hari kalau ada yang nggak sesuai ekspektasi jadinya kayak kompor mbleduk. Biasanya abis marah-marah kayak gitu Ibu juga langsung minta maaf sama Zahira kok."
"Tapi itu, kan, nggak baik buat Zahira, Bu. Kalau Zahira terbiasa dimarahin nanti dia bakal ikutan suka marah-marah atau malah jadi rendah diri karena apa-apa disalahin."
"Iya, iya, maaf." Aku tertunduk. "Abisnya jujur aja Ibu kadang stres, Yah. Di rumah kerjaan emang banyak tapi Ibu ngerasa semuanya monoton gitu loh," tuturku pelan.
"Kalau Ibu ngerasa kerjaan Ibu monoton coba deh sekali-sekali Ibu nyetrika baju sambil salto, atau nyuci baju di atas genteng, atau nyuci piring sambil koprol."
Aku memukul lengan mas Ganjar pelan sambil sedikit tersenyum. Suamiku ini memang tidak berbakat serius padahal istrinya sudah berusaha setel mode kalem. "Nggak sekalian aja nyapu ngepel sambil kayang," sahutku mau tak mau mengikuti skenarionya.