Pondok, mungkin?
Pondok kayanya, Bu.
Nggak tahu tapi kayanya sih bakal disuruh mondok.
Begitulah rata-rata jawaban yang kudapat dari murid-muridku ketika kutanya mau kemana mereka selepas SD.
“Kok kayanya? Emang belum yakin? Harus dipikirin mulai dari sekarang lho, kan, kalian bentar lagi lulus wong udah kelas 6,” kataku pada Vita cs.
“Emang harus mikirin ya, Bu?” Vita malah balik bertanya.
“Terus kalau bukan kamu yang mikir siapa yang mikir? Masa Presiden Republik Indonesia?”
Vita dan kawan-kawan terkekeh.
“Belum tahu, Bu, soalnya kalau aku milih mondok nanti kasihan ibuku sendirian di rumah,” jawab Vita.
Vita adalah anak tunggal dan ibunya juga anak tunggal. Adapun kerabat dari pihak ayahnya banyak yang merantau di luar kota sehingga mereka tidak punya kerabat di sekitar sini. Praktis Vita sangat disayang oleh kedua orang tuanya terutama ibunya. Aku masih sering melihat Vita diantar jemput oleh ibunya ketika madrasah meski Vita sebenarnya bisa naik sepeda sendiri.
“Ah, kan, masih ada bapakmu jadi ibumu nggak sendirian sendirian amat sebenernya,” tangkisku yang diamini oleh teman-temannya.
Vita nyengir. “Iya sih, Bu, tapi bapak, kan, kerja jadi nggak bener-bener seharian di rumah nemenin ibu makanya nggak tega kalau harus mondok yang pulang ke rumahnya juga jarang.”
“Lho, siapa tahu bapak ibumu bisa bikin adek buat kamu biar kamu nggak kesepian dan ibumu juga ada temen,” ujarku iseng yang langsung membuat Vita mencak-mencak. Dia tidak ikhlas jika dia punya adik di saat usianya sudah menginjak remaja.
“Kalau aku sama Brenda sih udah yakin sebenernya, Bu, tapi uangnya yang nggak ada. Soalnya ibuku udah ngincer satu ponpes bagus di Jawa Timur tapi ya itu, kebentur masalah dana, jadi mungkin nanti lanjut SMP biasa deket sini aja,” tutur Gendhis. Ceritanya sedih tapi ekspresi wajahnya yang santai membuatku terharu.
Anak sekecil itu berkelahi dengan pahitnya realita dunia.
“Yang udah pasti mondok tuh Aira sama Ica tuh, Bu,” kata Vita seraya menunjuk kedua orang yang namanya disebutnya barusan.
“Oh ya, Ra, Ca?” tanyaku beralih pada Ica dan Aira yang dijawab anggukan oleh keduanya. “Kenapa pondok?” tanyaku.
“Karena.…” Ica mengerling pada Aira dan sebaliknya.
“Karena…nggak tahu, Bu,” jawab Raihan dengan kedua bahu mengedik ketika kutanya pertanyaan yang sama setelah berpikir cukup lama dan masih tak menjawab pertanyaanku.
“Lah, kok nggak tahu?” tanyaku bingung.
Raihan nyengir. “Ya, nggak tahu, Bu.”
Aku mengembuskan napas kasar tapi dalam hati komat-kamit agar tandukku tidak mencuat keluar.
Sabar, Mir, sabar, batinku.
Tidak peduli anak-anak sudah duduk di kelas berapa tapi ada kalanya betapa sulitnya mengobrol dengan anak-anak terutama yang menyangkut opini pribadi mereka karena pendidikan dan pola pengasuhan kita memang jarang sekali— atau bahkan tidak pernah(?)— mengajarkan anak-anak untuk mengemukakan pendapat. Dampaknya anak-anak tidak terbiasa bahkan takut untuk berpikir dan beropini. Aku pernah mengajar beberapa murid SMP dan ternyata seusia mereka pun masih kesulitan ketika menjawab pertanyaan ‘apa pendapatmu mengenai x’ atau ‘bagaimana pendapatmu tentang x’ dan sejenisnya padahal topik seperti ini biasanya kujadikan permainan saat berlatih Bahasa Inggris untuk membuka diskusi.