26 - Namanya Juga Sauda- eh, Manusia

29 4 0
                                    

“Bu Mira kalau nggak salah masih saudara, kan, ya sama Bu Haji yang punya warung di pengkolan sana itu?” tanya ibu Fais suatu hari.

Meski aku agak heran dengan pertanyaan itu, aku tetap mengangguk sebagai jawaban.

“Iya, Bu. Yah, meskipun sebenernya bukan saya yang bersaudara langsung tapi dari pihak suami. Bu Haji itu bisa dibilang budhe suami lah. Emang kenapa gitu, Bu?” tanyaku balik.

“Ng-nggak, anu, Bu, tadi Bu Haji ngomong nggak enak tentang Bu Mira ke saya,” jawab ibu Fais yang membuatku mengerutkan kening. “Ng, sebenernya saya nggak pengen ngadu sih karena bisa bikin salah paham antarsaudara tapi gimana ya, Bu. Saya yang denger jadi agak gemes juga sama omongan Bu Haji itu. T-tapi saya harap Bu Mira nggak gimana-gimana ya ke Bu Haji. Ini antara kita berdua aja.” Ibu Fais buru-buru menambahkan.

Selama ini aku tidak pernah membicarakan hal buruk tentang keluarga siwa Juhari, setidaknya tidak di depan orang lain selain suamiku sendiri. Bagaimana aku bisa membicarakan hal buruk tentang mereka jika aku mendengar sifat mereka dari katanya katanya saja dan aku tidak mengenal secara pribadi. Meskipun memang aku sempat sedikit sebal pada mbak Titin tapi perbuatannya waktu itu tidak memberiku cukup motivasi untuk menjelekkannya di luar lingkupku dan mas Ganjar. Oleh sebab itu, aku heran jika istri siwa Juhari sampai hati menjelekkanku. Kami tidak sering bersinggungan atau mengobrol lama dan privat jadi bagaimana dia bisa mengatakan hal buruk tentangku pada orang lain?

“Emangnya omongan nggak enaknya apa ya, Bu?” Aku tak kuasa menahan rasa penasaranku.

“Anu, itu…. Kata Bu Haji harusnya Bu Mira nggak usah buka warung segala, mending fokus ngelesin aja. Di sini, kan, udah ada warung ngapain buka warung juga. Jadinya malah ngilangin rejeki orang aja. Yah, kurang lebih omongannya begitu lah, Bu.” Ibu Fais berkata dengan takut-takut. “Mungkin gara-gara Bu Mira sekarang jualan alat tulis sama jajanan sendiri anak-anak jadi jarang yang beli jajanan dan alat tulis di warungnya Bu Haji. Jadi kayanya gara-gara itu Bu Haji jadi ngomongin Bu Mira,” tambahnya. 

Padahal tak jauh dari warung siwa juga ada warung milik mbak Parti— tapi warung mereka berlainan arah— dan mbak Parti tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Mbak Parti tidak pernah menganggapku sebagai saingan sekalipun warungku lebih dekat dengan warungnya. Rezeki itu sudah ada yang mengatur. Tugas kita sebagai umat manusia hanyalah berusaha. Masa siwa yang seorang haji malah tidak paham agama? Kalau prinsipnya satu tempat hanya boleh ada satu penjual maka tidak akan ada banyak pedagang di pasar. Nyatanya dengan banyaknya pedagang di pasar tidak ada pedagang yang tidak kebagian pembeli.

Ngilangin rejeki orang ya.

Padahal itu bisa jadi karena ulahnya sendiri, batinku.

Aku pernah beberapa kali membeli jajan dan barang-barang lain di warung siwa dan jika dibandingkan dengan harga jajan di warung mbak Parti selisihnya bisa dua kali lipat lebih mahal. Logikanya, jika mbak Parti bisa menjual dengan harga segitu berarti dia sudah mendapat untung, kan. Namun, siwa malah menjual lebih mahal lagi. Itu artinya dia mengambil keuntungan yang sangat banyak. Jelas saja orang-orang lebih memilih warung lain. Lagipula sebelum ada warungku orang-orang sudah banyak membeli di warung mbak Parti karena selisih harga itu. Barang-barang yang dijual mbak Parti juga lebih beragam sehingga orang-orang lebih senang berbelanja di sana. Kenapa dia tiba-tiba langsung menyalahkanku yang belum lama membuka warung? Toh, warungku juga spesifik hanya menjual alat tulis dan makanan ringan saja.

“Terus anu, Bu. Itu….” Ibu Fais mendadak ragu berucap.

“Iya, kenapa, Bu?” tanyaku sekaligus memberikan dorongan agar ibu Fais menyelesaikan ucapannya.

“Itu….” Ibu Fais masih ragu-ragu lalu kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya. “Bu, saya mohon maaf banget. Maaf banget ya, Bu. Yang ini mungkin lebih menyakitkan hati Bu Mira. Ini saya cuma mengulang omongannya Bu Haji aja.”

Aku makin penasaran. “Memangnya beliau ngomong apa, Bu?”

“Anu, nuwun sewu, Bu Haji bilang kalau Bu Mira itu guru gadungan. Aduh, ngapuntene, Bu. Ini saya cuma mengulang aja.” Ibu Fais kembali menangkupkan kedua telapak tangannya.

Astaghfirullah. Kok bisa?

“Maaf banget, Bu, maaf banget. Itu kata-kata dari Bu Haji. Saya cuma mengutip saja.” Ibu Fais kembali menegaskan.

“Iya, Bu, saya tahu. Ibu tadi, kan, udah jelasin.”

Harusnya yang minta maaf yang udah ngatain saya, Bu, bukan Ibu.

“Iya, Bu. Nah, omongan itu yang bikin saya gemes juga, Bu. Maksud saya, kok bisa sih Bu Mira disebut guru gadungan. Kalau bukan karena Bu Mira Fais mungkin belum lancar baca sampe sekarang. Bisa-bisanya guru yang mengajar anak-anak dengan baik kok dibilang guru gadungan.”

Aku tersenyum sumir.

“Bu Haji bilang kalau Bu Mira betulan guru kenapa Bu Mira nggak ngajar di sekolah aja. Kata Bu Haji begitu, Bu, makanya Bu Haji meragukan “keguruan” Bu Mira,” tambah ibu Fais.

“Dia ngomong begitu karena dia belum tahu aja kalau gaji guru di sekolah kecil banget. Ya mendingan jadi guru les aja ya, Bu, nggak pusing ngajar anak satu kelas. Udah gitu waktunya bisa diatur sendiri. Kalau mau ngajar ya ngajar, mau nggak ngajar ya tinggal nggak ngajar, nggak perlu ijin siapa-siapa,” tukas Bu Hana secara terpisah setelah ia bercerita hal yang sama.

Nah, itu dia.

“Bu Mira nggak usah dengerin apa kata Bu Haji. Orangnya emang suka gitu, Bu, Bu Haji itu. Soalnya saya sering diajak ngobrol tentang si anu, si itu, terus ngomongin jeleknya mereka. Saya sih cuma dengerin aja daripada ribet. Namanya ngobrol sama orang tua masa mau dibantah. Nanti dikira gimana, kan. Dia mah siapa-siapa aja diomongin jeleknya semua kaya yang paling suci aja. Saya juga pernah diomongin kok sama dia tapi ya udah. Yang penting bukan saya yang jelekin duluan.”

Aku hanya mengangguk pelan seraya tersenyum sumir sebagai tanggapan.

“Oalah, pancen kewanen nek ngono kuwi berarti¹,” murka bapak mertuaku yang entah mendapat berita dari mana perihal istri siwa Juhari yang mengataiku. “Ora kelingan selama ini nek dekne butuh bantuan mlayune neng gon sopo². Kok bisone ngomongi anakku koyo ngono³. Titenono bae mbesuk⁴.”

Dalam hati aku merasa senang dengan murka bapak mertua. Bukan karena bapak mertua ada di pihakku tapi karena kata-kata bapak mertua yang menganggapku sebagai anaknya sendiri. Bagiku itu saja sudah cukup. Kalau omongan siwa sih sejak awal aku memang tidak pernah memasukkannya dalam hati. Kalau seseorang baik maka Tuhan akan menunjukkan kebaikannya tanpa ia harus berkata apapun. Pun berlaku pula hal sebaliknya. Dan yah, begitulah memang saudara. Kalau kata orang Jawa sedulur iku adoh mambu tai cedak mambu wangi⁵.

Catatan.

¹ Oalah, kok berani-beraninya dia kayak gitu.
² Nggak inget selama ini kalau dia butuh bantuan larinya ke siapa.
³ Kok bisa-bisanya ngatain anakku seperti itu.
⁴ Tandain aja besok-besok.
⁵ Saudara itu dekat bau tahi, jauh bau wangi (mengibaratkan bahwa bersaudara kalau hidupnya berdekatan terlihat jeleknya tapi kalau saling berjauhan terlihat baiknya)

──  ⊱  𝓣𝓱𝓮 𝓒𝓸𝓾𝓻𝓼𝓮  ⊰  ──

The Course Jilid DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang