“Kok kamu nggak ikutan nulis juga?” tanyaku pada Raihan, murid lelaki bertubuh gempal dengan kulit gelap, setelah aku selesai menuliskan jawaban dari soal-soal latihan LKS di papan tulis. Dia adalah murid kelas 4 yang belakangan ikut bergabung dengan kuartet cewek Anisa, Nabila, Gita, dan Syifa.
“Udah nulis kok, Bu,” kilah Raihan sambil cengengesan.
Aku memicingkan mata. “Yang bener?” cecarku karena tak percaya begitu saja pada penuturan Raihan apalagi gelagatnya mencurigakan.
“Bohong itu, Bu,” pekau Nabila.
“Iya, Bu. Raihan bohong tuh,” imbuh Anisa pula.
“Bukunya masih kosong, Bu,” timpal Gita dengan sengit.
“Hayo, Raihan! Hayo, Raihan!” Albi dan Dimas, dua murid baru yang juga ikut kelompok belajar bersama Raihan, malah membuat suasana makin panas.
Kelas jadi ramai karena Raihan adu mulut dengan trio cewek sementara Albi dan Dimas justru mengompori. Syifa dan Iqbal, murid laki-laki lainnya yang juga tergabung bersama trio cowok, malah asyik menonton.
“Setop, setop!” tegurku dengan keras untuk melerai mereka karena suasana bakalan makin tidak kondusif jika kubiarkan. “Coba sini. Bu Mira mau lihat bukumu,” pintaku pada Raihan.
Raihan langsung mengambil bukunya yang semula ada di meja lalu menyembunyikannya di belakang tubuhnya.
“Mana lihat!” cecarku seraya mendekat kepadanya.
Raihan makin panik lalu memindahkan bukunya ke dalam tas lalu tas itu dipeluknya erat.
“Kamu kenapa sih? Bu Mira cuma mau lihat —”
“Nggak, Bu. Jangan. Pokoknya jangan.” Raihan bersikeras sambil menggelengkan kepalanya berulangkali dan terus berusaha menghindariku.
“Mana lihat!” Aku masih mencecar Raihan hingga akhirnya Raihan pasrah dan terpaksa menyerahkan bukunya padaku.
Aku membelalak sesaat lantas dibuat pusing setelah melihat buku Raihan. Tulisan yang ada di sana benar-benar tidak berbentuk. Huruf-huruf yang ditulis Raihan tidak bermakna sama sekali seakan itu adalah sebuah mantra dalam bahasa asing.
“Kamu ini nulis apa?” lirihku.
Raihan terdiam. Seisi kelas juga terdiam. Suasana kelas jadi seperti dimode jeda. Ketika aku menyerahkan kembali buku Raihan pada pemiliknya barulah ketujuh muridku yang lain lanjut menyalin jawaban di papan tulis sedangkan Raihan tertunduk.
“Maaf. Bu Mira nggak bermaksud buruk tapi apa kamu ada masalah belajar?”
Raihan datang les begitu saja bersama teman-temannya sehingga aku tidak tahu nomor orang tuanya apalagi mengobrol dengan mereka. Andaikan dia mendaftar terlebih dahulu lewat orang tuanya seperti yang lain mungkin aku bisa mengetahui masalah ini lebih awal.
Raihan diam saja saat kutanya.
“Kalau Bu Mira dikte satu-satu kamu masih bisa nulis nggak?” tanyaku kedua kalinya yang akhirnya dijawab dengan anggukan oleh Raihan.
Akupun kemudian mendiktekan huruf demi huruf kepada Raihan sembari menunggu anak-anak yang lain selesai menyalin jawaban dari papan tulis.
Belakangan kuketahui tak hanya Raihan saja yang masih belum lancar membaca dan menulis. Iqbal juga ternyata mengalami masalah yang sama dengan Raihan. Bedanya, Iqbal bahkan benar-benar belum tahu huruf alfabet dari A sampai Z sehingga mendiktekannya jawaban pun percuma.
“Assalamu’alaikum.” Aku mengucapkan salam ketika sampai di depan rumah Raihan.
Sejak tahu bahwa Raihan punya indikasi disleksia, aku menanyakan alamat rumah Raihan agar aku bisa berkunjung ke rumahnya untuk bertemu orang tuanya dan menjelaskan keadaan Raihan agar bisa mendapat pertolongan segera. Untunglah rumah Raihan tidak jauh dari rumahku sehingga aku bisa berkunjung di waktu senggangku.