Mas Ganjar manggut-manggut setelah aku selesai bercerita.
“Gimana menurut Ayah?” Aku mencoba mencari tahu bagaimana pendapat mas Ganjar.
“Ka—”
“Kalau Ibu, jujur, Ibu lebih percaya mbak Titin yang ngarang cerita ketimbang ustad Jupri ngomong gitu. Kayak….lebih masuk akal mbak Titin yang bohong ketimbang orang asing kaya ustad Jupri yang bohong, kan? Ayah setuju nggak sama pendapat Ibu?”
“Ta—”
“Tapi kalau dipikir-pikir lagi buat apa juga mbak Titin bohong. Iya, kan? Gimana menurut Ayah?”
“Ya—”
“Ya, kan, masa Ibu nggak kenal sama ustad Jupri, kita nggak pernah ketemu apalagi tegur sapa, tapi masa tahu-tahu dia ngomong gitu. Aneh nggak sih. Iya, kan, Yah?” Mas Ganjar diam saja. “Yah?” Aku mulai kesal ketika mas Ganjar diam saja meski aku sudah bertanya. “Yah?” Jadi kupanggil dia lagi. “Yah!” Kali ini aku mengamuk.
“Apa?” tanya mas Ganjar santai.
“Menurut Ayah gimana?” geramku.
“Oh, jadi Ibu udah selesai cerita?” ujar mas Ganjar.
“Udah dari tadi, Yah. Ibu malah udah panggil-panggil Ayah berapa kali tadi. Ayah berarti nggak dengerin Ibu ya selama Ibu cerita?” rajukku seraya memasang wajah cemberut.
“Dari tadi Ayah sebenernya mau jawab tiap Ibu tanya tapi Ibu nyerocos mulu jadinya mending Ayah nunggu Ibu bener-bener selesai aja dulu,” jawab mas Ganjar kalem.
Aku menunduk malu menyadari kekeliruanku. Yah, maklum lah aku, kan, memang sedang on fire jadi aku tidak sadar kalau aku tidak memberi ruang bagi mas Ganjar untuk berpendapat sedari tadi.
“A—” Mas Ganjar mendadak mengurungkan niatnya bicara. “Eh, kalau kali ini Ayah ngomong nggak bakal dipotong lagi, kan?” tanyanya yang kujawab dengan anggukan pelan dan senyum malu.
“Kalau menurut Ayah nih kalau menilik riwayat keluarga mbak Titin dan mbak Titin sendiri yang rada ceplas-ceplos memang kita jadi berpikir lebih masuk akal kalau mbak Titin yang bikin-bikin cerita apalagi mbak Titin, kan, perempuan. Dimana-mana perempuan lebih luwes dalam hal ngomongin orang lain ketimbang laki-laki—”
“Kalau mau ngasih elaborasi itu nggak perlu jelekin kaum lain dong,” potongku tak terima.
“Bentar dulu. Dengerin Ayah ngomong sampe selesai makanya.” Mas Ganjar membela diri yang kubalas anggukan mantap. “Menurut Ayah, perempuan memang lebih luwes kalau masalah ngomongin orang tapi bukan berarti laki-laki nggak ada yang mulutnya lèmès juga.”
Aku memicingkan mata. “Maksud Ayah, ustad Jupri beneran ngomong gitu soal Ibu?”
Mas Ganjar mengedik. “Ayah nggak tahu tapi bisa jadi,” katanya dengan nada mengambang.
“Bisa jadi?” Aku membeo.
Mas Ganjar menggaruk dagunya yang mulai ditumbuhi bulu-bulu pendek. “Ayah bilang bisa jadi karena kita nggak langsung denger ustad Jupri ngomong gitu. Itu, kan, berdasarkan penuturan anaknya mbak Titin tapi sikap ustad Jupri yang berikut ini mungkin bisa jadi bahan pertimbangan Ibu.”
“Memangnya sikap apa?”
“Yang jelas sih bukan sikap lilin, Bu.” Mas Ganjar tersenyum lebar sementara aku menabok bahunya keras hingga ia mengaduh. Bisa-bisanya dia sempat bercanda dalam pembicaraan serius seperti sekarang.
“Intinya ada beberapa selentingan nggak baik lah soal ustad Jupri dan beberapa kali juga Ayah lihat sendiri.” Mas Ganjar meluruskan.
“Emang apa aja?”