“Bu, koran itu apa?” tanya Al, muridku yang masih duduk di kelas 1 SD, dengan wajah polosnya ketika membaca soal bahasa Indonesia yang kuberikan.
Hari itu aku memberikan tugas menyusun kata acak menjadi kalimat yang benar dan salah satu soalnya memang ada kata koran.
“Masa kamu nggak tahu koran itu apa?” tanyaku balik.
Al menggeleng menjawab pertanyaanku.
Kalau dia tahu dia nggak bakal nanya, Mir, omelku pada diri sendiri.
Aku menepuk dahi karena menyadari kebodohanku.
“Koran itu….” Aku celingukan mencari benda yang bisa dijadikan contoh. “Ah, sebentar.” Akupun beranjak dari tempatku duduk. Aku ingat aku masih menyimpan selembar kertas koran di dalam kamar. Koran itu kuambil dari rumah ibuku minggu lalu karena sempat kugunakan untuk membungkus pakaian— bapakku masih sering membeli koran karena beliau gaptek sehingga tidak bisa membaca berita lewat ponsel. “Ini dia!” sorakku sembari menenteng koran dan menunjukkannya pada Al.
“Oh, ini yang namanya koran,” responnya dengan nada datar tapi ia tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya dari raut wajahnya.
Ia memegang-megang koran itu dengan hati-hati seolah itu adalah benda purbakala yang gampang rapuh. Ia tidak bisa menyembunyikan binar matanya.
“Ini memang sebesar ini, Bu?” tanya Al.
Aku mengangguk.
“Berarti nggak cukup kalau dimasukin ke dalam tas,” katanya.
“Tenang, ini bisa dilipat.” Aku mendemonstrasikan cara melipat koran. “Kalau nggak ada tas kamu juga bisa ngempit koran ini di ketek kamu. Jadi meski kamu bawa koran dua tanganmu masih bebas. Jadi selain bisa bawa koran kamu bisa bawa barang lain dengan dua tanganmu yang bebas itu. Taraaa~" Aku mempraktikkan perkataanku yang membuat Al takjub seolah aku baru saja mengumumkan sebuah penemuan mutakhir abad ini.
“Ini buat apa, Bu?” tanya Al lagi.
“Buat apa?” tanyaku balik karena tidak memahami maksud pertanyaannya.
“Gunanya koran itu apa,” jelasnya.
“Oh.” Aku baru paham. “Koran itu kalau di jaman dulu….” Jaman dulu itu kedengerannya kaya jaman dinosaurus banget ya, batinku, “maksudnya puluhan tahun lalu, atau seenggaknya di tahun 90-an pas Bu Mira masih kecil, berguna untuk nyari berita—”
“Emangnya nggak ada TV atau HP, Bu?” sela Al.
“Kalau TV ada tapi waktu itu nggak semua orang punya TV karena harganya mahal. Teknologi TV saat itupun masih nggak sebagus sekarang. TV jaman dulu bokongnya gede-gede.” Al terkikik saat aku mengatakan itu. “TV yang bokongnya gede disebutnya TV tabung. Nah, kalau TV jaman sekarang, kan, udah langsing. Terus kalau HP itu baru muncul di awal tahun 2000 dan harganya mahal banget juga terus belum ada internetnya kaya HP sekarang jadi kalaupun punya HP palingan cuma bisa telepon atau kirim SMS, nggak bisa buat cari berita atau nonton YouTube.”
“Tahun 2000 itu kapan, Bu?” tanya Al lagi.
Saat mendapat pertanyaan ini aku baru sadar bahwa tahun 2000 itu sudah lebih dari dua dekade.
Padahal kayanya baru kemaren, batinku.
“Ng, ketimbang Bu Mira yang jawab gimana kalau Al yang coba ngitung. Nanti Bu Mira kasih hadiah kalau Al bisa jawab dengan benar.”
Kedua manik Al berbinar karena mendengar iming-iming dariku.
“Tahun 2000 itu berarti berapa tahun yang lalu coba? Al bisa ngitungnya nggak?”