“Loh, kok cuma berempat? Widia kemana?” tanyaku ketika melihat trio-tidak-terpisahkan yang kini hanya sisa dua, Diana dan Nasya. Bersama mereka ada Kanza dan Ainun. Omong-omong mereka mulai les lagi ketika mulai masuk kelas 2— dan Diana naik ke kelas 5— semester 2 setelah sempat vakum cukup lama.
“Tadi kita udah ngajakin Widia les, Bu, tapi dia nggak mau berangkat.” Diana yang menyahut.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
“Nggak tahu.” Alih-alih Diana kembali menjawab, kali ini justru Nasya yang menyahut. “Tapi tadi sih lagi sibuk main sama Niko, Bu, makanya nggak mau les.”
Nama yang disebut Nasya adalah kawan sekelas Nasya dan Widia yang rumahnya dekat dengan mereka. Niko sempat les padaku tapi hanya bertahan di pertemuan pertama saja.
Aku hanya bisa mengangguk maklum. Namun, sebenarnya aku mengkal juga ketika mendengar alasan yang dilontarkan Nasya.
Sibuk main? Sibuk kok main. Main kok sibuk. Main ya main. Sibuk ya sibuk. Sibuk tuh cocoknya buat kerja atau belajar, batinku.
Namun, dua kata lucu ini justru dua kata yang sering kudengar sebagai alasan ketika muridku absen— Nasya dan Diana pun juga sering menggunakan alasan yang sama kalau tiba-tiba tidak berangkat. Meski aku tahu usia anak-anak memang usia bermain tapi sejujurnya aku kesal dengan muridku yang menggunakan alasan semacam itu.
Kenapa mereka selalu punya waktu untuk bermain tapi tidak ada waktu untuk hal lain terutama belajar?
Kenapa mereka bisa membuat alasan sibuk main sampai lupa waktu tapi tidak bisa sibuk belajar sampai lupa waktu?
Diana memukul lengan Nasya yang sepertinya agak terasa sakit bagi Nasya yang bertubuh kecil. “Bukan karena sibuk main, Nong, tapi emang nggak mau les lagi,” ucap Diana mengoreksi ucapan Nasya sebelumnya.
Nasya mengaduh pelan saat lengannya jadi korban pemukulan Diana dan protes karena panggilan semena-mena Diana— nong mengacu pada kata cunong atau jenong alias jidat lebar— dengan mimik wajah yang lucu.
“Oh, Widia mau berhenti les gitu?” tanyaku memperjelas.
“Iya katanya, Bu. Widia nggak mau les lagi,” seru Diana.
“Emang iya?” Nasya malah yang kaget.
“Kenapa?” Aku justru bertanya dengan santai.
Sejak murid-muridku banyak yang ‘gugur’ satu demi satu, aku berprinsip sing butuh mèrék— yang butuh biarlah mendekat. Aku tidak ingin terlalu mengganduli mereka. Yang mau belajar ya silakan datang. Kalau tidak mau ya aku tidak mungkin memaksa. Aku juga yang nantinya repot. Mengajar anak-anak yang tidak niat belajar itu sungguh melelahkan.
“Pelajaran yang diajarin makin susah katanya, Bu, jadi Widia nggak bisa,” jawab Diana lagi.
Aku mengerutkan glabelaku. “Lho, kalau pelajarannya makin susah di sekolah kenapa malah berhenti les? Justru karena pelajarannya makin susah itu malah harusnya makin semangat les dong.”
Diana menggeleng. “Bukan pelajaran di sekolah, Bu, tapi di sini di les.”
Kerutan di glabelaku makin banyak. “Lah, emangnya pelajaran yang diajarin di les nggak sama sama pelajaran di sekolah? Iya, Sya?” Aku beralih ke Nasya.
Nasya yang semula sedang sibuk bermain-main dengan tempat pensilnya mendadak kaget tapi masih bisa menjawab, “Nggak. Sama kok.”
“Nah, berarti pelajaran di sekolah juga pasti makin susah, kan? Masa Bu Mira mau ngajarin kalian pelajaran kelas 1 terus sementara kalian udah kelas 2? Bentar lagi mau kelas 3 malah. Terus Bu Mira harus ngasih pelajaran kelas 1 terus gitu? Atau malah pelajaran TK?”