6 - Girls Day Out

70 5 0
                                    

Tak tega melihatku terus-menerus bermuram durja karena meratapi usaha yang gagal, Mas Ganjar menyuruhku untuk pergi keluar bersenang-senang barang sehari.

"Ibu nggak usah mikir yang lain. Yang penting Ibu seneng-seneng aja. Terserah Ibu mau kemana. Mau potong rambut kek, mau facial kek, mau belanja kek, mau makan di kafe kekinian kek, mau nonton film di bioskop kek, terserah. Nanti biar Zahira sama Ayah aja. Insya Allah semua kerjaan rumah Ayah yang beresin termasuk masak makanan buat Zahira," kata Mas Ganjar seraya menepuk dadanya, berharap bisa mengiming-imingiku.

Sungguh itu adalah sebuah tawaran yang sangat menggiurkan. Namun, aku tetap menolak. Bukan. Bukannya aku tidak percaya pada Mas Ganjar soal mengasuh Zahira— Zahira bahkan lebih dekat dengan ayahnya ketimbang denganku yang 24 jam selalu di rumah— atau soal beberes rumah dan memasak— Mas Ganjar bahkan bisa mengerjakan lebih baik daripadaku soal ini. Namun, suasana hatiku memang terus memburuk sejak tutupnya tempat kursusku. Jangankan bersenang-senang, beranjak dari kasur pun rasanya tubuhku langsung lemas. Kehilangan harapan akan kesuksesan ternyata lebih sakit dari patah hati saat putus dengan pacar pertamaku dulu. Memang benar kata orang. Jangan pernah berharap apapun selain kepadaNya.

"Ayolah, Bu. Ibu jangan terus-terusan kayak gini. Nggak baik terus meratapi kegagalan."

Nyatanya aku memang gagal, kan?

"Namanya jalanin usaha, kan, cuma ada dua kemungkinan; kalau nggak jalan ya mandek. Nah, usaha Ibu mungkin emang lagi mandek sekarang tapi siapa tahu kalau Ibu tekun dan konsisten menjalankannya kelak usaha Ibu bisa jalan dan sukses apalagi usaha Ibu ini dijalankan dari hati dan dikerjakan sepenuh hati." Mas Ganjar masih terus berusaha membesarkan hatiku.

"Ibu maunya apa deh? Nanti Ayah beliin. Seblak? Takoyaki? Cilok? Martabak? Bakso? Mi ayam? Siomay? Tahu mercon? Teci? Apa?" Mas Ganjar mulai putus asa ketika semua makanan kesukaanku yang disebut olehnya selalu kurespon dengan gelengan. "Oh, ini, ini. Kalau ini Ayah yakin Ibu nggak akan nolak. Ibu, kan, udah lama pengen banget makan ini tapi belum keturutan." Aku hanya memberi respon dengan mengangkat sebelah alis. "Es krim Mixue sama Mie Gacoan. Gimana?" Namun, desah kecewa keluar dari mulut Mas Ganjar kala tawarannya yang diyakininya takkan ditolak olehku itu berbuah gelengan lagi.

Mas Ganjar memasang wajah sedih. Namun, dia tak lagi berusaha membujukku dan malah pergi ke kamar Zahira. Sepertinya dia sudah kehilangan akal untuk membujukku dan kini dia memilih untuk menemani Zahira yang sedang tidur siang daripada menemani istrinya yang persis seperti orang sedang sekarat. Aku juga tak membujuk Mas Ganjar untuk tetap menemaniku. Aku hanya ingin sendiri dan merenung.

Yah, sebenarnya aku juga tidak ingin seperti ini terus. Aku ingin berbuat sesuatu. Aku ingin teriak, marah, menangis, lari-lari, apapun itu demi menghilangkan rasa sedih dan kecewaku tapi aku tidak punya tenaga.

Aku kemudian mengambil ponsel dari nakas sehingga otomatis layarnya menyala. Semula aku hanya ingin melihat pukul berapa sekarang tapi aku jadi fokus pada hal lain di ponselku. Yap, tiba-tiba saja notifikasi di ponselku membludak. Ada 78 pesan masuk dan 8 panggilan suara tak terjawab yang ternyata sudah ada dari kemarin. Aneh. Kenapa aku sama sekali tidak mendengar ada bunyi notifikasi pesan masuk dan panggilan masuk? Aku melihat bagian atas layar ponsel dan ada simbol lonceng dengan coretan yang mana itu berarti aku membisukan seluruh notifikasi.

Pantesan aja, pikirku.

Aku lalu membuat ponsel kembali ke mode suara seperti biasa. Mungkin aku tidak sengaja memencetnya sehingga ponselku disetel ke mode senyap. Atau bisa juga Zahira yang melakukannya. Mungkin saja dia sempat bermain-main dengan ponselku selama aku tidak menyentuhnya tiga hari ini. Yang manapun sebenarnya tidak masalah dan tidak kupedulikan. Yang membuatku peduli— sebenarnya lebih ke heran— adalah tidak biasanya ponselku ramai notifikasi sebab aku sudah jarang berkirim pesan dengan teman-temanku. Yang masih sering mengirimiku pesan paling-paling hanya operator selular yang mengirimiku pesan lebih sering daripada suamiku sendiri. Tapi rasa-rasanya tidak mungkin, kan, operator selular mengirimiku pesan sampai puluhan banyaknya.

The Course Jilid DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang