Bu Mira, ngapuntene nggih¹. Nanti Gendhis sama Brenda lesnya utang dulu.
Sebuah pesan singkat datang dari Bu Citra, ibu kakak beradik Gendhis dan Brenda, suatu malam beberapa jam sebelum kelas mereka dimulai.
Aku hanya membalas pesan itu dengan tujuh huruf— nggih bu— yang langsung tidak terbaca karena segera diganjar centang satu.
Ini bukan pertama kalinya Bu Citra mengirimkan pesan dengan isi yang sama— dan bukan pertama kalinya juga pesanku tidak terbaca karena Bu Citra memang jarang sekali mengaktifkan WA-nya. Oleh sebab itu, aku sudah tidak kaget lagi. Namun, jujur saja, saat pertama kali aku mendapat pesan seperti itu dari Bu Citra aku sangat kaget sekaligus heran pasalnya biaya les yang kupatok sangat jauh dari kata mahal. Biaya lesku bahkan lebih murah dari harga seperempat kilo telur dan tetap lebih murah dari jajan anak sehari atau seporsi bakso tapi manfaatnya jauh lebih lama ketimbang dua hal tadi.
Bagaimana bisa biaya les yang cuma lima ribu— sepuluh ribu jika dikali dua— saja berutang?
Yakali timbang duit ceban aja nggak ada, pikirku.
“Karena suaminya Citra itu nggak jelas kerjanya, Bu,” jawab Bu Kus, salah seorang tetangga yang biasanya kutemui saat kami sama-sama salat magrib berjamaah di musala, ketika kutanya soal keberadaan suami Bu Citra yang selalu di rumah karena tak mungkin dong aku betulan tanya kenapa Bu Citra berutang uang les yang hanya sepuluh ribu— gile lu, Ndro.
“Nggak jelas gimana ya, Bu?” tanyaku lagi.
“Ya, nggak tentu gitu lah, Bu, waktu kerjanya. Kadang ada kerjaan kadang enggak. Seringnya sih nggak kayanya.”
“Lho, memangnya suaminya Bu Citra kerja apa?” tanyaku makin penasaran.
“Kuli gitu lah, Bu.”
“Kuli apa, Bu? Kuli bangunan? Kuli proyek?”
“Kuli…. Ya, kuli apa aja, Bu. Ya kuli bangunan ya kuli proyek. Tapi seringnya sih memang kuli proyek gitu misalnya kalau ada bangun jalan desa ya dia yang kerjain. Nah, kalau nganggur gini berarti dia lagi nggak ada garapan proyek.”
Aku mengangguk-angguk seraya menggumamkan ‘oh’ pendek.
“Suaminya Citra juga sering kok dimintain tolong sama tetangga-tetangga sini kalau pas ada yang bangun rumah. Ya, pokoknya kerja apa aja sebenernya bisa, Bu, dia mah.”
Aku masih mengangguk-angguk.
“Intinya kerjanya serabutan,” jelas Bu Kus. “Saya kadang kasihan lihatnya. Bapaknya kerjanya begitu tapi anaknya ada empat. Saya yang cuma punya anak dua aja kadang ada masanya pusing mikirin duit sekolah. Untungnya anak-anaknya perempuan semua jadi mending bisa diatur. Kaya misalkan kalau mereka dikasih tahu duit jajan cuma sedikit atau nggak usah beli barang-barang yang nggak perlu mereka manut. Bu Citra juga sering ngajakin anak-anaknya puasa Senin Kamis dari kecil biar hemat uang jajan dan uang makan juga. Yah, bagus sih, Bu, niatnya biar bisa mengenal agama dan menjalankan sunnah tapi saya lihatnya kasihan juga. Masih anak-anak lho mereka itu. Temen-temennya jajan masa mereka nggak. Menahan diri, kan, nggak gampang apalagi buat anak-anak.” Bu Kus bercerita panjang lebar tanpa kuminta.
Hatiku langsung mencelos begitu mendengar cerita Bu Kus. Berarti uang sepuluh ribu yang bagiku mungkin tidak seberapa tapi justru sangat berarti buat keluarga orang lain. Pantas saja WA-nya jarang sekali aktif. Untuk urusan perut saja dia kesusahan tentu tak mungkin dia lebih mengutamakan urusan lain.
Dan gimana bisa kamu sempet senewen bahkan sampai suuzon hanya perkara duit ceban, Mir? Hati nuraniku meledekku.
“Saiki jangankan duit sepuluh ewu, duit satus yo enteke cepet tapi golek duite panggah nyoro²,” komentar mbak Parti, pemilik warung yang mana warungnya sering kujadikan tempat membeli bumbu dapur dan jajanan Zahira, ketika suatu hari aku mampir ke warungnya dan menyempatkan diri untuk mengobrol sejenak.