Karena bimbelku bukan bimbel besar aku selalu punya agenda setiap penerimaan rapor sebagai ajang promosi: sebar brosur.
Biasanya aku menyebar brosur ke SD dekat rumah cuma karena SD dekat rumahku hanya ada dua dan aku sudah sering sebar brosur di sana— dan muridku juga kebanyakan berasal dari dua SD itu— maka kali ini aku mengganti targetku. Aku menyebar brosur ke SMP yang masih satu kecamatan dengan rumahku dengan pertimbangan banyak murid di SMP itu yang rumahnya di sekitaran rumahku atau setidaknya melewati rumahku sehingga ada kemungkinan mereka bisa terjaring promosi.
“Tapi sekolahnya bukan sekolah favorit, Bu,” kata mas Ganjar.
Aku termenung sebentar tapi kemudian aku merespon, “Nggak papa lah, Yah, siapa tahu aja di antara sekian ratus murid di sana ada yang mau belajar juga.”
Mas Ganjar mengedikkan bahunya. “Ya terserah kalau gitu maunya Ibu. Ayah cuma ngasih tahu aja. Soalnya feeling Ayah sih kayanya kalau sebar brosur di sana nggak bakalan ada yang minat karena murid-murid di sana bukan murid yang suka kompetisi gitu. Yah, maklum lah sekolahnya aja bukan sekolah favorit, kan, jadi kemungkinan besar anak-anak yang sekolah di sana ya nganggep sekolah cuman kaya formalitas aja timbang pak opo¹.”
Mas Ganjar kemudian menyebut sekolah negeri favorit yang jadi almamaternya yang letaknya di kecamatan lain dan mengatakan jika anak-anak di sana kemungkinan lebih senang belajar dan kompetitif sehingga bimbelku mungkin akan laku. Namun, aku menolaknya.
“Murid di sana itu pasti rumahnya jauh-jauh, Yah. Kecamatan itu tuh luas banget cakupannya. Lebih kecil lagi peluangnya buat belajar di bimbel Ibu,” dalihku.
Mas Ganjar mengangguk. “Iya sih wong temen SMP Ayah dulu juga ada yang rumahnya Kesesi,” Mas Ganjar menyebutkan sebuah kelurahan yang letaknya di bagian selatan dan itu sangat jauh dari tempat tinggal kami, “tapi siapa tahu ada yang minta kelas privat, kan, lumayan tuh, Bu, dapetnya bisa lima kali lipat,” tukasnya sambil meringis.
“Lumayan itu kalau dapetnya sekali pertemuan sepuluh kali lipatnya bukan cuman lima kali lipatnya. Kalau cuma lima kali lipatnya Ibu juga masih ogah kalau ngeles privat sampe kesana. Belum lagi kalau ada yang mintanya kelas malem. Mending nyerah aja. Masih tetep nggak sebanding sama harganya kalau cuma lima kali lipat.” Aku mengangkat tangan sedangkan mas Ganjar terbahak.
Lagipula, aku berani bertaruh, jangankan sepuluh kali lipat— itu berarti lima puluh ribu rupiah— bahkan aku yakin tak akan ada yang mau membayarku lima kali lipat alias dua puluh lima ribu untuk sekali pertemuan meski mereka tahu jarak yang kutempuh cukup jauh. Ini di kampung bukan di kota. Sedikit sekali orang yang bisa menghargai betapa mahalnya ilmu di sini. Aku justru lebih sering menemukan orang yang banyak permintaan tapi inginnya membayar seminim mungkin. Kebanyakan dari mereka ingin rasa kelas privat tapi bayaran kelas reguler. Aku tak ambil pusing dengan mereka yang banyak menuntut seperti ini. Biasanya jika mereka banyak menuntut aku selalu memberikan saran agar mereka memilih kelas privat saja dengan biaya yang jauh berbeda dari kelas biasa— ana rega ana rupa². Cara ini sangat manjur karena dengan begitu mereka pasti akan langsung mundur teratur dan patuh pada aturan mainku.
Akhirnya mas Ganjar menyetujui usulku untuk menyebar brosur di SMP dekat rumah kami sesuai rencana awalku. Kami memulainya di suatu pagi setelah aku mendapat informasi kapan hari pembagian rapor dari anak tetanggaku yang masuk di SMP yang sama. Kamipun berbagi tugas. Mas Ganjar kebagian membagikan brosur kepada orang-orang yang akan masuk ke area sekolah sehingga ia menghadang di jalanan depan sekolah sementara aku kebagian membagikan brosur kepada orang-orang yang baru keluar dari area sekolah sehingga aku menghadang persis di depan gerbang sekolah.
“Bimbel bahasa Inggris, Bu, barangkali Ibu tertarik,” kataku seraya menyerahkan selembar brosur pada seorang ibu yang membawa sebuah map bersama anaknya yang baru keluar dari pelataran sekolah.