“Lho, Mira,” sapa mbak Titin padaku seraya mengayun-ayun pelan anak bungsunya yang sedang terlelap dalam gendongan. “Tumben nyiram-nyiram di depan rumah jam segini. Biasanya yang nyiram Ganjar.”
Aku tersenyum sumir.
Mbak Titin ini adalah salah satu tetanggaku yang rumahnya berjarak tiga rumah dari rumahku. Sebenarnya dia ini masih terhitung saudara mas Ganjar. Jadi bapak mbak Titin adalah kakak dari ibu mertuaku. Oleh sebab itu, mas Ganjar memanggil orang tua mbak Titin dengan sebutan siwa— sing tuwa— yang umum dipakai untuk menyebut pakde budhe di desa mas Ganjar dan mas Ganjar memanggil mbak Titin sebagai mbak meskipun secara umur lebih tua mas Ganjar daripada mbak Titin. Meski demikian, hubungan kekerabatan antara kedua mertuaku dan orang tua mbak Titin sebenarnya tidak begitu baik. Yah, masalah klise saudara ipar lah kalau kubilang. Pihak mertuaku menganggap siwa Juhari— bapak mbak Titin— terlalu disetir istrinya yang mana menurut bapak mertuaku istri siwa Juhari ini perhitungan dan cerewet menjurus ke rese. Orang tua mbak Titin juga seringkali datang ke mertuaku hanya saat dibutuhkan saja misalnya saat tempo hari siwa Juhari jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit sementara tidak ada saudara lain yang bisa dimintai tolong— ibu mertuaku sebenarnya anak kelima dari enam bersaudara tapi hanya siwa Juhari yang tersisa karena saudara-saudara yang lain telah lebih dulu berpulang. Selain itu, orang tua mbak Titin juga dianggap meninggi karena mereka sudah punya gelar haji dan punya rumah gedong yang terbilang bagus untuk ukuran di desa.
“Iya, Mbak. Kebetulan aku lagi ada waktu luang jadinya aku yang nyiram tanaman sementara mas Ganjar yang nganter Zahira madrasah. Kebetulan Zahira tadi minta dianter ayahnya,” sahutku.
“Oh, gitu.” Mbak Titin mengangguk-angguk kemudian dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumahku. “Oh iya, kamu kok tumben bisa nyiram tanaman? Biasanya jam-jam segini kamu masih sibuk ngelesi, kan? Ini juga tumben kok lesnya sepi? Pada diliburin apa nggak laku?” tanyanya kemudian.
Astaghfirullahal’adzim.
Nggak laku.
Dua kata itu langsung bergema di kepalaku.
Hatiku sedikit sakit saat mbak Titin dengan entengnya berkata bahwa tempat kursusku tidak laku. Aku masih berbaik sangka mungkin saja dia tidak ada niatan menghinaku karena kutahu mulutnya memang ceplas-ceplos tapi tetap saja perkataannya menyakitkan terlebih lagi hingga kini aku masih terus menangisi kepergian murid-muridku.
Aku mengambil napas dan membuang napas pelan-pelan dengan hitungan yang kuucapkan dalam hati sembari terus mengedipkan mata yang sudah mulai kabur karena air mata. “Emang lagi aku liburin kok, Mbak, karena masih musim hujan,” dustaku demi menyelamatkan harga diri. “Kasihan kalau anak-anak tetep disuruh masuk les padahal masih sering hujan deras. Takutnya mereka sakit karena tiap berangkat les harus hujan-hujanan dulu.”
“Oh gitu. Lama dong kalau gitu. Musim hujan, kan, nggak bisa diprediksi sampe kapan.”
Aku tersenyum. “Nggak papa, Mbak. Itung-itung biar aku istirahat juga karena dari kemaren-kemaren udah sibuk ngajar terus.”
Mbak Titin hanya menjawab dengan bibir mencebik dan lirikan mata yang bagiku menyebalkan.
Benar kata mas Ganjar dulu yang bilang bahwa mbak Titin ini sifatnya sebelas dua belas dengan ibunya. Kupikir itu hanya subjektivitas mas Ganjar saja karena ketidaksukaan keluarganya pada orang tua mbak Titin sehingga aku mengabaikannya. Kini aku jadi yakin kalau ucapan mas Ganjar ada benarnya. Kalau aku tidak ingat dia adalah kakak sepupu suamiku dan aku tidak berniat menjaga nama baik suamiku dan keluarganya mungkin aku sudah mengajaknya gelut atau minimal mencabik-cabik mulutnya di depan rumahku.