Bu, pinjem tipe x.
Bu, pinjem pulpen.
Bu, pinjem penggaris.
Bu, ada penghapus nggak? Aku pinjem.
Nyaris setiap saat aku mendengar permintaan semacam itu sampai-sampai aku heran apa sih sebenarnya yang dibawa murid-muridku di dalam tas mereka jika semuanya harus meminjam padaku?
“Labelku habis, Bu, makanya pinjem tipe x Bu Mira,” dalih Nabila.
Guru di sekolah Nabila melarang murid-muridnya membawa tipe x dan menggantinya dengan label (iya, label yang digunakan untuk menulis harga) guna menutup tulisan yang salah untuk menghindari aksi vandalisme seperti mencoret-coret meja atau dinding kelas.
“Kalau sudah tahu mau habis harusnya kamu beli yang baru sebelum barangnya bener-bener habis. Jangan sampe kehabisan barang penting begitu dong,” kataku. “Bukannya nggak mau minjemin tapi jangan pernah ngandelin orang lain untuk kepentinganmu sendiri. Gimana kalau di sekolah nggak ada yang mau kasih tipe x atau kasih kamu label? Kamu sendiri yang repot, kan?”
Nabila nyengir.
“Kamu, kan, udah sering kehabisan begitu. Masa iya masih lupa terus kapan waktunya beli? Lagian kalau dibiasakan minjem juga nggak bagus. Sekali dua kali sih nggak papa ya tapi kalau keseringan kaya gitu nggak baik juga loh,” imbuhku.
“Abisnya labelku sering dimintain sama temen-temen juga, Bu,” dalih Nabila.
“Ya jangan kamu kasih terus kamu bilang lah sama temen-temen kamu biar mereka beli sendiri. Orang yang kaya begitu jangan kamu kasihani biar mereka tanggung jawab sama dirinya sendiri. Barang kalau minjem berkali-kali itu artinya dia butuh. Nah, kalau mereka udah tahu butuh ya harusnya mereka punya sendiri jangan minjem. Lagian harga label berapa sih masa mereka nggak mampu beli? Uang jajan mereka pasti lebih banyak ketimbang harga selembar label.”
Bukannya apa-apa. Pengalaman seperti ini juga pernah kualami sendiri waktu masih duduk di bangku sekolah dulu. Dulu nyaris tiap hari aku membeli penghapus atau pensil karena sering dipinjam temanku dan— sialnya— selalu lupa dikembalikan. Aku sering dimarahi ibu gara-gara ini dan akhirnya aku diajari “pelit”. Kalau dipikir-pikir wejangan ibu ada benarnya juga karena meminjami orang tidak tahu diri itu sama saja menyuburkan pemikiran mereka yang seenaknya sendiri. Boro-boro mengembalikan atau mengganti, minta maaf karena sudah meminjam kemudian menghilangkan barang orang lain saja tidak. Mereka bahkan seringnya tidak peduli barang siapa yang mereka pinjam dan tidak bilang terima kasih padahal itu adalah adab dasar dipinjami barang. Sialnya— lagi— manusia semacam ini banyak jumlahnya di sekolah.
“Pulpenku cuma satu, Bu, dan ternyata tintanya abis.” Shakila mengemukakan alasannya.
“Kenapa kamu cuma punya pulpen satu?” cecarku.
“Ya biar nggak dipinjem temen-temen yang lain,” jawabnya.
“Tapi akhirnya malah kamu yang pinjem, kan?”
Shakila nyengir. “Ya, kan, tintanya abis, Bu.”
“Biasakan punya rencana cadangan, dalam hal ini pulpen cadangan. Gimana kalau misalnya kamu di situasi di mana nggak ada orang bisa minjemin kamu tapi kamu butuh banget barang itu? Dulu kamu emang sering pake barang Bu Mira tanpa ijin. Sekarang kamu ijin sih tapi tetep aja sering minjem meski kamu udah punya sendiri. Jangan diulangi terus ya. Kalau kamu sering minjem barang yang sama ke orang lain itu artinya kamu butuh barang itu. Belilah sendiri. Pulpen harganya nggak mahal kok. Pasti lebih banyak uang jajanmu ketimbang harga sebatang pulpen.”
Shakila mengangguk pelan.
Nyaris semua murid yang meminjam alat-alat tulis kunasihati hal yang sama. Pasalnya bukan sekali dua kali mereka berbuat seperti itu. Terkadang aku sampai berpikir apa aku terlalu kejam dengan berkata seperti itu tapi nyatanya meski aku sering memberi wejangan sikap mereka tidak berubah. Dan tentu aku tidak sampai hati jika tidak meminjami mereka. Seringkali pulpen atau tipe x yang kupunya cepat habis sebelum aku sendiri memakainya karena lebih sering dipakai murid-muridku. Lama-kelamaan aku merasa kesal juga tapi di sisi lain menasihati mereka juga tiada guna. Alhasil, aku harus putar otak mencari siasat untuk memecahkan masalah ini hingga akhirnya sekelebat ide muncul.
Gimana kalau aku sekalian jualan alat tulis aja? Jadi kalau anak-anak tiba-tiba kehabisan tinta pulpen, butuh penghapus, atau yang lainnya aku nggak perlu minjemin tapi langsung bilang aja kalau di sini menjual alat tulis dan mereka bisa beli di sini. Aku bisa untung deh.
Aku langsung semangat dengan ideku sendiri tapi langsung melempem karena bingung harus kulakan di mana. Desa tempat kami tinggal tidak memiliki banyak jenis pertokoan. Sebagian besar tentu ditempati toko bahan pokok dan pertanian, sebagian kecilnya ditempati oleh toko pakaian, alat rumah tangga, kue dan bahan kue, serta peralatan bayi. Toko alat tulis jumlahnya jauh lebih sedikit lagi.
“Coba cari di Google ah. Barangkali ada rekomendasi,” ucapku pada diriku sendiri.
Aku mengetikkan kata kunci ‘toko alat tulis terdekat’. Yang muncul adalah tempat fotokopi yang merangkap menjual alat tulis karena memang hanya itu yang ada di desaku.
Tidak menyerah, aku mengetikkan kata kunci lagi. Kali ini aku menambahkan nama kota di belakang kata kunci yang sama. Muncul beberapa nama toko pilihan.
Yang teratas adalah sebuah toko buku dan alat tulis ternama yang letaknya dekat dengan rumah ibuku di kota. Dulu aku sering ke sana untuk membeli komik Detektif Conan kesukaanku. Aku tahu barang-barang yang dijual di sana bagus-bagus tapi tentu saja berbanding lurus dengan harganya yang mahal.
Nggak. Aku langsung mencoret toko itu dari daftar.
Toko yang muncul di daftar pencarian berikutnya adalah sebuah toko alat tulis— betulan toko alat tulis, bukan toko buku yang menjual alat tulis. Namun, seingatku toko itu biasanya melayani partai besar agar bisa mendapat harga khusus.
Nggak juga. Aku kembali mencoret toko itu dari daftar.
Toko berikutnya dan berikutnya dan berikutnya sama seperti toko yang kedua. Mereka baru memberi harga khusus jika membeli dalam jumlah besar sedangkan aku paling hanya membeli selusin dua lusin atau satu pak dua pak sebagai permulaan.
Emangnya aku mau langsung buka toko apa?
Sambil terus mencari-cari sampailah jariku pada sebuah situs marketplace yang menampilkan gambar-gambar alat tulis.
Wah, kok lucu-lucu semua ini, batinku seraya mengklik laman marketplace tersebut.
Kalau yang ginian dijual di sini mungkin laku, pikirku.
Kebanyakan alat tulis yang dijual di toko di sekitar daerahku hanya alat tulis standar sehingga aku cukup yakin kalau barang-barang lucu semacam itu bakal laris dijual.
Alhasil, aku akhirnya mulai mencari-cari beberapa alat tulis di marketplace itu. Beberapa bahkan kumasukkan ke dalam keranjang agar aku tidak perlu mencari-cari lagi kalau-kalau aku memutuskan membeli. Setelah berhitung A sampai Z akhirnya aku memutuskan untuk membeli beberapa barang juga di sana.
Begitu barang sampai tiga hari kemudian aku langsung mengunggahnya ke status WhatsApp-ku dan tak kusangka banyak sekali wali murid dan murid yang langsung meresponnya dan berniat membelinya. Barang yang sengaja kubeli dalam jumlah sedikit seringnya langsung habis keesokan harinya.
Bu, kapan ada lagi?
Bu, kapan barangnya datang?
Bu, aku pesen ini lagi ya.
Alhasil, kini aku lebih sering ditodong permintaan mereka untuk order beberapa item barang ketimbang permintaan peminjaman barang seperti sebelumnya.
“Bu, sekalian jualan jajanan aja biar kalau kita laper pengen jajan bisa sekalian jajan di sini,” usul Ica.
“Iya, bener, Bu,” dukung Vita. “Soalnya belajar itu enaknya sambil ngemil,” tambahnya dengan terkekeh.
“Iya, iya, nanti Bu Mira tak jualan jajan sekalian wes tapi yang masuk ke otak jangan rasa jajanannya tapi pelajarannya,” kelakarku.
“Siap, siap, Bu!” seru mereka kompak.
── ⊱ 𝓣𝓱𝓮 𝓒𝓸𝓾𝓻𝓼𝓮 ⊰ ──