“Kalau jadwalnya setiap hari bisa, Bu?” Pertanyaan itu muncul dari Bu Iin, ibu Arkan, sore itu setelah tergopoh-gopoh datang ke rumahku.
Bu Iin kembali menghubungiku karena dia berniat mendaftarkan Arkan kembali untuk les selama masa libur sekolah setelah vakum selama berbulan-bulan. Ada nada sedikit mendesak dari pertanyaan yang dilontarkannya.
“Soalnya Arkan sekarang, kan, sudah masuk kelas 3 dan masih susah baca jadi saya minta tolong sama Bu Mira biar Arkan dikasih jadwal agak padat aja, Bu, selama liburan daripada main terus,” lanjut Bu Iin sebelum aku menjawab pertanyaannya.
“Bisa, Bu,” jawabku singkat, padat, dan masih sopan. Namun, sebenarnya dalam hati aku ingin berteriak geram.
Bukannya apa-apa.
Ini bukan pertama kalinya— mungkin sudah kali ketiga atau bahkan keempat— aku memberikan jadwal untuk Arkan tapi kemudian yang bersangkutan jarang berangkat. Tentu saja aku kesal sebab aku sudah menolak beberapa orang yang meminta jadwal yang sama dengan jam belajar Arkan— khusus kelas membaca memang kubatasi hanya satu orang per sesi— tapi ternyata yang kubela setengah mati malah menyepelekan.
Meski kuiyakan saja permintaan Bu Iin untuk menerima Arkan kembali, aku tetap saja sangsi Arkan bakal rutin berangkat. Namun, aku akan melihat sejauh mana komitmennya. Aku bertaruh dengan diriku sendiri: aku yakin Arkan tidak akan bertahan sampai dua bulan sebab sebelumnya ia bahkan bertahan kurang dari itu.
“Kalau gitu mulai besok sore Arkan les ya, Bu. Mohon banget Arkan dibantu,” pungkas Bu Iin sebelum pamit pulang yang kubalas dengan anggukan semata.
Saat keesokan harinya Arkan masuk les, aku kaget karena ternyata kemampuannya sama sekali tidak beranjak dari terakhir kali aku mengajarnya.
“Di rumah belajar nggak, Kan?” tanyaku penasaran.
Yang ditanya hanya menunjukkan gigi-giginya melalui senyum lebarnya seraya menggeleng dan menjawab tanpa beban, “nggak, Bu.”
“Wong Arkan nggak pernah mau belajar di rumah kok, Bu,” keluh Bu Iin yang ikut mengantar Arkan.
“Hayooo….”
“Ibu nggak pernah nyuruh belajar kok, Bu, kalau di rumah,” kelit Arkan.
Wajah Bu Iin memerah. "Ap—”
Aku membuang napas pendek lalu buru-buru menyahut, “Bu Mira, kan, udah bilang kalau kamu nggak mau les atau nggak ada waktu buat les karena udah capek sekolah, ngaji, madrasah, ini, itu, nggak papa, Kan, tapi belajar di rumah tetep jalan. Justru belajar di rumah yang lebih penting. Disuruh atau nggak kamu harus tetep belajar.”
“Saya tuh selalu nyuruh Arkan belajar di rumah, Bu, tapi Arkan aja yang nggak mau belajar.” Bu Iin tetap saja berusaha membela diri.
“Alangkah baiknya kalau Ibu juga mendampingi Arkan biar Ibu tahu perkembangan Arkan sampai mana,” selaku yang membuat Bu Iin langsung tertunduk malu.
“Saya emang nggak selalu bisa nemenin Arkan belajar, Bu, soalnya saya, kan, harus ngurusin adeknya Arkan yang masih kecil. Saya kadang marahin Arkan kalau pas dia susah diajak belajar karena dia tuh maunya ditemenin terus. Ya jelas saya nggak bisa. Kalau kata saya, kan, dia belajar aja dulu sendiri terus abis itu kalau misalkan ada yang nggak dia ngerti baru deh nanti dia tanya. Gitu lho, Bu Mira.”
Aku mengangguk memahami alasan yang dilontarkan Bu Iin. “Yah, kalau memang Ibu kerepotan nyuruh Arkan belajar di rumah seenggaknya nyuruh Arkan les dengan rutin sesuai jadwal aja, Bu, biar lesnya nggak bolong-bolong kaya sebelumnya,” kataku.
“Insya Allah, Bu.”
Tapi insya Allah tetaplah insya Allah alias janji tinggallah janji. Aku benar-benar meradang saat lagu lama diulang. Arkan lagi-lagi absen dua minggu berturut-turut tanpa memberi kabar sama sekali setelah dua pekan— yang tidak betul-betul genap empat belas hari— berangkat. Tanpa pikir panjang aku membuat pengumuman di status WhatsApp-ku bahwa jam les yang semula milik Arkan kini kosong dan boleh dipesan siapa saja. Tak lama setelah aku membuat status seperti itu, pesan masuk ke ponselku berdatangan. Banyak orang berebut meminta jam kosong itu. Namun, ada satu pesan yang paling mencuri perhatian karena isi pesan itu berbeda dari pesan-pesan lain yang kuterima sebelumnya.