22 - Kelompok Belajar Favorit

31 5 1
                                    

"Bu, ada yang nyariin tuh,” kata mas Ganjar padaku ketika aku tengah sibuk mencuci piring-piring bekas makan malam di dapur dibantu Zahira — bocah kecil itu kebagian mengelap piring-piring agar cepat kering kemudian meletakkannya di rak satu per satu agar tidak ada yang pecah.

“Apa, Yah?” tanya Zahira dengan mimik lucu — mulut melongo dan mata membelalak — pada ayahnya dengan penuh rasa ingin tahu. Omong-omong dia memang masih suka keliru menggunakan kata tanya yang tepat.

“Siapa?” tanyaku pula sekaligus mengoreksi kata tanya yang salah yang digunakan Zahira.

“Murid-muridnya Ibu kayanya. Cewek-cewek. Lima biji eh lima orang,” jawab mas Ganjar.

“Cewek?” Aku membeo.

Mas Ganjar mengangguk sementara aku bertanya-tanya dalam hati. Meski belum bisa menebak siapa gerangan yang mencariku, aku segera menyelesaikan kegiatan mencuci piring kemudian segera mengeringkan tanganku dan bergegas ke ruang tamu.

“Assalamualaikum, Bu Mira.”

Benar saja. Lima orang cewek sudah berdiri di ambang pintu rumahku yang kuketahui salah satunya adalah anak tetanggaku.

“Wa’alaikum salam. Oalah, Pak Ganjar nggak nyuruh kalian masuk ya kok masih berdiri di depan pintu begini? Ayo, masuk dulu,” kataku yang akhirnya membuat mereka masuk ke dalam rumah satu per satu. “Ini….”

“Aku Vita, Bu. Ini Gendhis dan Brenda.” Vita, anak tetangga yang tadi kumaksud, menunjuk kedua gadis yang duduk di sebelah kanannya, “nah, yang ini Aira sama Ica,” kemudian menunjuk pada kedua gadis lain yang duduk di sisi kirinya.

“Oh. Oke.” Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Vita dan dibalas dengan senyuman canggung keempat dari mereka.

“Kita mau les di sini, Bu,” ucap Vita lagi yang sepertinya ditunjuk sebagai juru bicara di antara mereka berlima. “Kalau malem ini langsung bisa, kan, Bu?” tanya Vita ragu-ragu.

“Oh, bisa bisa. Ayo, ayo. Ini udah jam setengah delapan. Kalau kelamaan mulainya nanti pulangnya kemaleman lho. Ayo.” Aku membawa mereka ke carport di sebelah rumah yang biasa kujadikan tempat les. “Masih pada gadis jangan pulang kemaleman. Rumah kalian di mana? Kalau Vita sih di deket sini aja ya, Vit.” Vita mengangguk sembari tersenyum. “Kalau yang lain?”

“Aira sama Ica satu arah kok, Bu, rumahnya.” Vita menyebut sebuah dusun yang letaknya di sebelah dusun yang kutinggali. Tidak jauh memang tapi tetap saja kalau sudah malam rasanya tidak aman bagi gadis seperti mereka apalagi jalanan desa kami cukup sepi bahkan sejak menjelang sore. “Kalau Gendhis sama Brenda sih rumahnya depan jalan desa. Yang seberang musola,” terang Vita lagi. Depan jalan desa memang tidak sepi tapi justru karena tidak pernah sepi itu aku juga was-was. Orang asing manapun bisa lewat dan berbuat macam-macam.

“Mananya rumahnya Kanza dan Ainun?” tanyaku yang dimaksudkan untuk Gendhis dan Brenda. Orang-orang di dusun kami tidak banyak dan kebanyakan anak-anak mereka masuk di sekolah yang sama sehingga biasanya anak-anak di sini saling mengenal satu sama lain meski beda angkatan.

Omong-omong Kanza dan Ainun adalah salah dua muridku yang masing-masing duduk di kelas 1 dan TK. Mereka berdua belum lama masuk di kelas Diana cs — yah, dan aku jadi makin pening karena harus mengajar tiga level dalam waktu bersamaan; kelas 4, kelas 1, dan TK — karena Kanza ingin les dengan teman sekelasnya sekaligus tak ingin pisah dari adiknya.

“Lha, itu, Bu. Gendhis sama Brenda, kan, kakaknya Kanza sama Ainun,” sahut Vita yang sukses membuatku terbelalak.

“Lho, Kanza sama Ainun punya kakak? Kirain mereka itu cuma dua bersaudara. Oh, iya deng. Bu Mira baru inget kalau Kanza pernah cerita dia punya kakak yang sama-sama duduk di kelas 6 tapi Bu Mira kira kakaknya kembar. Kalian kembar? Tapi kok nggak mirip?” tanyaku pada Gendhis dan Brenda lagi.

The Course Jilid DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang