"Huh... Capek... Untung nggak ada temu klien lagi habis ini."
Veronica merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal. Padahal jadwal hari ini hanya bertemu dua klien. Tapi karena salah satu klien mereka sedikit rewel, ia harus mengeluarkan lebih banyak kesabaran. Dan lebih banyak bersabar untuk Veronica sama dengan mengeluarkan banyak tenaga.
"Lo habis ini pulang?"
"Emang mau ngapain? Masih ada jadwal kita?"
"Nggak tau sih."
Veronica meraih beberapa kertas yang ada di meja di samping sofa.
"Udah musim kawin ya? Banyak banget undangan."
"Nikah, Ver."
"Iya deh yang udah nikah."
Estella menggeleng dan meneguk air minumnya. Ia memang jarang mengecek undangan dan terkadang lupa karena padatnya pekerjaan. Biasanya memang Veronica yang akan mengecek undangan-undangan itu untuknya.
"Je..."
"Hm?"
"Tanah yang lo beli baru-baru ini tuh daerah mana sih? Yang lo kata mau dibangun kafe dulu tapi nggak jadi."
"Hm? Emangnya kenapa?"
"Gue kok inget kayaknya di alamat ini ya?"
Veronica menunjukkan salah satu undangan yang baru saja ia baca. Itu adalah undangan untuk acara peresmian.
"Nih temen lo ya? Tapi kok gue nggak kenal? Mana apa nih, butik, brand baru?"
Estella mencoba mengingat-ingat siapa nama yang tertera dalam undangan itu. Jika itu rekan sesama profesi, tentu ia mengenalnya. Namun ia sama sekali tak bisa mengingat si pemilik nama.
"Mungkin mau launcing brand baru." Jawa Estella sekenanya.
"Ya gue tau. Maksudnya, ini alamat beneran bukan alamat bangunan yang lo beli itu? Gue soalnya nggak asing."
Bukannya menjawab, Estella malah bangkit dan menuju ke sudut ruangan, di mana di sana ada lemari besi tempatnya menyimpan beberapa berkas penting. Kenapa Estella tidak membawanya pulang dan menyimpannya di rumah yang tentunya terjamin lebih aman? Karena Estella yakin kantornya juga aman. Pengamanan tempat itu tidak main-main. Selain CCTV, ada beberapa orang keamanan yang dipekerjakan oleh Estella dengan shift kerja yang bergantian.
Veronica yang penasaran juga menghampiri Estella. Dilihat dari gelagatnya, sahabatnya itu terlihat sedikit gelisah.
"Je?"
"Pas aku terima sertifikat tanahnya, itu sama kamu kan?"
Veronica mengangguk.
"Kenapa Je?"
"Nggak ada."
"Maksudnya?"
"Sertifikat itu nggak ada, Ver."
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason Why
FanfictionBegitu banyak kata seharusnya, namun semua tetap membuatnya kecewa.