"Periksa?"
"Iya. Kamu nggak mau cek kandungan kamu?"
Estella terdiam. Selama ia tahu jika dirinya hamil bahkan tak ada sebersit pikiran untuk memeriksakan kandungannya. Hingga ketika Bumi bertanya, ia tak tahu harus menjawab apa.
"Aku bisa aturkan jadwalnya dan mengambil cuti. Kebetulan aku kenal sama dokternya."
Masih wanita itu enggan menjawab. Ia penasaran, tapi masih belum ada keinginan. Toh kondisinya saat ini terasa baik-baik saja. Yang berbeda hanya perutnya kini sedikit membesar. Bumi mengatakan perkiraan usia janin itu hampir memasuki minggu ke dua puluh. Kenapa lelaki itu malah lebih tahu daripada Estella yang mengandung? Jawabannya Bumi hanya mengingat-ingat usia janin itu ketika istrinya diketahui hamil.
"Kalau kamu keberatan nggak masalah, aku nggak maksa."
Raut antusias itu berganti dengan senyuman maklum yang selalu Estella lihat ketika Bumi berusaha untuk memahaminya. Tapi wanita itu tahu jika Bumi sedikit kecewa entah karena apa. Masih berpikir kenapa suaminya itu bahkan lebih antusias tentang janinnya daripada ia sendiri yang notabene adalah ibu yang mengandungnya.
"Aku mau. Tapi bisa minta sesuatu?"
"Minta apa?"
"Aturkan jadwal dengan dokternya, tapi jangan sama dengan jadwal pasien umum."
Bumi sedikit mengernyit mendengar permintaannya.
"Aku nggak mau antri."
"Oh...mungkin bisa aku bicarakan tentang hal itu. Kamu mau jadwal kapan?"
"Terserah. Kapan aja bisa."
"Oke. Aku bakal atur semuanya. Aku telepon dokternya dulu ya."
Estella hanya mengangguk dan Bumi segera pergi untuk menelepon dokternya. Melihat raut Bumi yang kembali antusias membuat Estella sedikit tersenyum. Namun mengingat jika ia akan memeriksakan kandungannya membuat wanita itu merasa sedikit takut. Entah apa yang ia takutkan. Juga alasan ia meminta jadwal sendiri bukan karena takut antri. Estella hanya masih takut bertemu orang asing. Takut mendapatkan ujaran kebencian atau tatapan merendahkan. Karena tentu beberapa orang pasti masih akan mengingat aib pernikahannya dulu.
Selama ini Estella yang membangun citra yang baik untuk dirinya. Namun ia sendiri yang menghancurkannya. Dulu ia tak peduli dengan apa kata orang. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini ia takut mendengar ujaran kebencian atau mendapatkan tatapan yang merendahkan.
Kini pandangannya tertuju pada perutnya yang sedikit membuncit. Tempat janinnya berkembang. Dengan ragu tangannya menuju kesana. Mengusap pelan penuh keraguan. Rautnya tak terdefinisikan. Entah senang atau malah tak ada yang dirasakan. Estella sendiri tak tahu perasaan apa yang kini ia rasakan. Hanya sekian menit dan Estella kembali menarik tangannya dari sana. Ia memilih menyandarkan tubuhnya pada sofa dan memejamkan mata sambil menunggu Bumi kembali untuk memberi berita padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason Why
FanfictionBegitu banyak kata seharusnya, namun semua tetap membuatnya kecewa.