Jujur

114 42 70
                                    

Langit terlihat semakin gelap, memperkuat kesan malam yang tiba. Rizky masih berdiri di balkon rumahnya, merenung dalam ketenangan malam. Pagar balkon menjadi tempat ia menyandarkan tubuhnya, sementara angin malam yang semilir memberikan kelegaan pada pikirannya yang kacau.

"Tuhan terkadang, aku hanya bisa berharap pada keajaiban," gumam Rizky dalam hati, lalu mengangkat wajahnya ke langit yang tanpa bintang.

Di tempat yang berbeda, Mila juga merenung. Air matanya masih terlihat di pipi yang cantik, dan rasa sesal mencengkeram hatinya. Dia bertanya-tanya apakah keputusannya untuk menolak perasaan Rizky adalah pilihan yang tepat.

"Tapi aku tidak bisa memaksakan diri," pikir Mila, sambil menghela napas. "Perasaan tidak bisa dipaksakan."

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang tenang terdengar di belakang Mila. Sosok laki-laki yang cukup tua muncul, dan wajahnya terlihat penuh perhatian.

"Kamu menangisin siapa, nak?" ucap ayah Mila dengan nada yang sedikit tinggi.

Mila kaget mendengar suara ayahnya dan segera berusaha menyembunyikan kesedihannya. Dia menghapus air matanya dengan cepat, mencoba menampilkan senyuman palsu di wajahnya. "Ah, tidak apa-apa, Ayah. Hanya sedikit masalah di sekolah."

Ayah Mila mendekat dan meletakkan tangannya lembut di pundaknya. "Jangan sedih ya, Nak! Minggu depan kita udah tidak tinggal di sini lagi."

Mila terdiam sejenak, hal ini yang membuatnya belum bisa menerima perasaan Rizky saat ini.

"Iya, Ayah." ucap Mila sedikit dengan nada sedih.

Sementara itu, di balkon rumah Rizky, langit mulai terasa semakin tegang. Petir menyambar dan gemuruh mendalam mengiringi keheningan malam. Rizky mencoba meredakan gejolak emosinya, memahami bahwa keberhasilan atau kegagalan perasaannya terhadap Mila tidak bisa diukur dengan perubahan cuaca.

Esok harinya di sekolah, suasana masih terasa tegang bagi Rizky dan Mila. Langit yang tampak gelap masih mencerminkan ketidakjelasan di antara keduanya. Rizky dan Mila berusaha menjalani hari mereka seperti biasa, tetapi canggung-nya interaksi mereka tidak dapat dihindari.

Saat istirahat tiba, Mila memutuskan untuk menghadapi situasi ini dengan langkah tegas. Dia mendekati Rizky yang duduk sendirian di halaman sekolah.

"Hai, Rizky," sapa Mila dengan suara lembut.

Rizky menoleh dengan ekspresi campuran antara keterkejutan dan kehati-hatian. "Hai, Mila," jawabnya singkat.

Mila mencoba tersenyum, "Ada yang ingin aku katakan kepadamu, bolehkah?"

Rizky mengangguk, "Ya, silakan!"

Mereka berdua memilih tempat yang tenang di bawah pohon di halaman sekolah. Mila mencoba untuk menyampaikan semuanya kepada Rizky, "Rizky, mungkin minggu ini adalah minggu terakhir untuk kita bertemu."

Rizky merespon dengan cermat, "Aku tidak paham, apa maksudnya ini?"

Mila dengan tegar, menjawab "Iya, ini mungkin sulit untukmu menerimanya, namun aku akan menyampaikan semua ini!"

Rizky masih tampak bingung, "Sumpah, maksudnya apa?"

"Minggu depan, aku dan keluargaku akan pindah dari sini, karena ayah aku di pindahkan dinasnya ke kota lain."

Rizky mendengarkan berita tersebut dengan ekspresi campur aduk. Mata Mila yang memancarkan keputusasaan membuat hati Rizky terasa berat. Kejutan dan kekecewaan melingkupi wajahnya.

"Apa... apa kamu serius, Mila?" tanya Rizky dengan suara gemetar.

Mila mengangguk sedih, "Iya, Rizky. Ayahku dipindahkan dinasnya, dan kami harus pindah ke kota lain. Minggu depan adalah minggu terakhirku di sekolah ini."

Rizky mencoba menutupi kekecewaannya dengan senyuman palsu. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Ini... ini tiba-tiba sekali."

Mila melihat ke bawah, mencoba menahan tangisnya. "Aku benar-benar tidak ingin pergi, Rizky. Tapi aku tidak punya pilihan."

Rizky mencoba menguatkan hati Mila, "Mungkin ini adalah keputusan yang terbaik untuk keluargamu, Mila. Aku hanya tidak tahu bagaimana aku bisa menghadapi kenyataan bahwa kamu akan pergi."

Mereka berdua terdiam sejenak, suasana menjadi semakin hening di bawah pohon itu. Kepergian Mila bukan hanya mengakhiri persahabatan mereka yang tengah terluka, tetapi juga menandai akhir dari perasaan yang belum terungkap.

Mila mencoba tersenyum, meskipun terlihat penuh kesedihan. "Aku harap kita masih bisa tetap dalam kontak, Rizky. Meskipun jarak memisahkan kita, kamu tetap akan menjadi temanku yang berharga."

Rizky menanggapi dengan senyuman setengah hati, "Tentu saja, Mila. Kita bisa tetap berkomunikasi. Semoga kehidupan baru di kota itu membawa kebahagiaan untukmu."

Pekik bel istirahat yang berbunyi menghentikan percakapan mereka. Mila dan Rizky saling memandang, merasakan bahwa saat perpisahan sudah semakin dekat. Mila memberi salam kecil, lalu berlalu meninggalkan Rizky di bawah pohon yang selama ini menjadi saksi dari berbagai cerita mereka.

Rizky duduk di bawah pohon itu, hatinya terasa hampa dan terluka. Langit yang gelap dan langit-langit hatinya yang terasa remuk, mencerminkan kesedihan yang dalam. Perpisahan dengan Mila membuatnya merasa kehilangan bagian dari dirinya sendiri.

Reddo dan Tian, yang juga menyaksikan dari kejauhan, merasa kepedihan Rizky. Mereka berdua berharap agar Rizky dapat menemukan kekuatan untuk menghadapi perpisahan ini dan mengatasi semua kesedihannya. Kejadian di bawah pohon itu menjadi titik patah yang tak terelakkan dalam hubungan antara Rizky dan Mila.

"Ternyata jalan takdir mereka berdua cukup rumit ya, aku ikut sedih mendengarnya" ucap Reddo dengan nada datar.

"Iya nih," jawab Tian singkat.

Rizky tiba di kelas dengan keadaan sedih, dia hanya diam selama pembelajaran. Reddo dan Tian mencoba untuk bertanya kepada Rizky seolah-olah mereka belum mengetahui kabar itu.

"Kamu kenapa sedih, bro?" tanya Tian

Rizky mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum meskipun terlihat pucat. "Oh, tidak apa-apa. Hanya ada beberapa hal yang membuatku terpikir."

Reddo dan Tian saling bertukar pandang, menyadari bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Mereka berdua merasa tidak enak hati, tapi mencoba memberikan dukungan pada Rizky.

"Kamu tahu, Rizky, teman selalu di sini untukmu. Jangan ragu untuk berbagi jika ada yang bisa kami bantu," ucap Reddo dengan simpati.

Rizky mengangguk, "Terima kasih, teman-teman. Ini hanya sedikit kejutan yang membuatku merasa sedih."

Tian menambahkan, "Semoga segalanya akan baik-baik saja. Mungkin kamu hanya butuh waktu untuk meresapi dan menerima kenyataan."

Bel pulang telah berbunyi, tapi sore ini Rizky pulang sendiri, karena Mila ada jadwal di jemput oleh sang ayahnya. Di motornya, Rizky melewati setiap sudut sekolah yang pernah dihiasi tawa dan cerita bersama Mila. Kenangan-kenangan indah mereka terpampang di setiap ruang dan bangunan, dan Rizky merasa seolah-olah sepotong demi sepotong dari kebahagiaan itu tercabik-cabik.

Rizky mengendalikan motornya dengan pandangan kosong, matanya terus terarah pada jalanan yang dilaluinya. Pemandangan sore yang dulu cerah dan penuh warna kini terasa kelam, sejalan dengan rasa kehilangan yang mendalam di hatinya.
Rizky memberhentikan motornya di dekat halte bus, ia duduk di sana sambil menangis.

"Tuhan, kenapa Engkau tidak pernah berlaku adil kepadaku? Di saat aku menginginkan dia, tapi Engkau menjauhkan aku dan dia?"

"Tuhan, aku juga ingin bahagia seperti teman-temanku yang lain, tapi di saat aku menginginkannya mengapa Engkau tidak merestuinya? Apakah aku ini bukan jodohnya, Tuhan?"

Rizky menangis dengan sejadi-jadinya, dia tidak menghiraukan seberapa banyak orang yang melihatnya.

Pulang Untuk Cinta [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang