Anak Tidak Tahu Diri

106 30 6
                                    

Harsya gugup dan salah tingkah. Ia bingung apa yang harus ia jawab.

Berbohong rasanya tidak mungkin, jujur pun rasanya aneh tapi Harsya sudah terpojok jadi ia tidak bisa menghindarinya selain mengaku pada Wira kalau ia memiliki nomor ponsel Handes.

"Aku mendapatkan nomornya saat mengurus proyek beberapa bulan lalu. Katanya supaya aku bisa mendiskusikan secara langsung gagasan atau ide yang aku miliki."

"Oh begitu. Ayo telepon lagi." Wira mengangguk paham, meski tadi ia sempat merasa aneh tapi sekarang sudah biasa saja. Alasan Harsya sangat masuk akal jadi tidak ada dasar baginya untuk menuduh Harsya yang tidak-tidak seperti gosip yang ia dengar beberapa hari lalu.

Sejujurnya Wira ingin bertanya pada Harsya tapi ia merasa tak enak dan seperti ikut campur urusan pribadi orang lain.

Beberapa hari lalu, ia mendengar Harsya makan bersama Bos di salah satu restoran dekat kantor. Ia mendengar kabar itu dari Rara. Meski bisa saja, Harsya dan Bosnya tengah membahas proyek perusahaan tapi rasanya sangat aneh jika dilakukan hanya berdua.

"Ya, aku akan mencobanya."

Harsya mencoba menelepon Handes tapi panggilan teleponnya tidak di jawab. Padahal biasanya, Handes selalu mengangkat telepon darinya atau dia menolak panggilan tapi langsung di balas dengan pesan singkat. Kali ini tidak sama sekali.

"Bagaimana?" Wira penasaran, jika telepon Harsya diangkat berarti mereka memang memiliki kedekatan khusus dan ia harus bersiap-siap mundur.

"Tidak diangkat." Harsya memperlihatkan ponselnya pada Wira.

Wira merasa lega, Harsya dan Handes tidak ada hubungan apa-apa. Telepon Harsya sama seperti telepon sekertaris pribadi Handes. Keduanya tidak ada yang direspon. Semua itu bertanda, tidak ada hubungan spesial antara Harsya dan Handes.

"Ya sudah. Sya, aku titip ini padamu ya. Kamu punya nomor Bos kita jadi kamu lebih leluasa untuk meneleponnya. Kita harus mendapatkan tanda tangannya hari ini juga."

"Kenapa aku?" Harsya sedikit keberatan karena saat ini ia tengah bertengkar dengan Handes.

"Aku harus mengurus pekerjaan lainnya supaya acara semuanya lancar."

"Tapi...."

"Sya, kita tidak punya banyak waktu."

"Baiklah." Harsya akhirnya pasrah. Ia tidak bisa lagi menolak.

"Sip. Semoga berhasil." Wira langsung menyerahkan map berisi berkas yang ia bawa pada Harsya. Setelah itu ia pergi karena banyak yang harus ia kerjakan saat ini.

Harsya mencoba menelpon Handes lagi tapi sama saja, ia tidak mendapatkan jawaban dari pria itu. Takut teleponnya menganggu, Harsya memutuskan untuk mengirimkan pesan saja pada Handes.

🍂🍂🍂

Sesampainya di rumah, Handes langsung menuju ruang kerja ayahnya.

"Ayah, aku tidak setuju."

Farans menghentikan kegiatannya, ia melepaskan kacamatanya dan meletakkan kaca mata itu di meja kemudian melihat ke arah Handes, putranya. "Apa pelajaran tata krama kamu sudah hilang?"

"Aku memiliki hak. Aku akan menggunakan hakku untuk menolak pertunangan konyol ini." Handes sedang malas berbasa-basi, ia langsung ke inti permasalahannya saat ini. Ia tidak setuju dan tidak bersedia bertunangan.

Frans berdiri dan berjalan ke hadapan Handes. "Aku tahu yang terbaik untukmu."

"Terbaik?" Handes tertawa. "Untukmu?" Tawa Handes berhenti berganti dengan tatapan marah.

"Tentu saja untukmu. Aku memilihkan calon yang sangat ideal. Dia cantik, berpendidikan tinggi, dia juga sangat cerdas dalam menjalankan bisnis keluarga. Dia pasti cocok untukmu."

"Kalau begitu untuk ayah saja. Aku tidak butuh."

"Handes!" Frans meninggikan suaranya untuk memperingati Handes supaya tidak coba-coba untuk memberontak atau menolak apa yang sudah ia rencanakan.

"Selama ini aku sudah mengalah. Aku mengubur mimpiku demi mengikuti kemauanmu, Ayah. Apa semua itu belum cukup?"

"Semua demi kebaikan kamu. Lihatlah sekarang, kamu sukses, karirmu sangat cemerlang meski usia kamu masih terbilang muda. Seharusnya kamu bersyukur. Banyak diluar sana yang susah payah mendapatkan pekerjaan. Sedangkan kamu? Kamu hanya tinggal melanjutkan apa yang sudah aku atur."

Handes mengepalkan tangannya kuat-kuat untuk menahan amarahnya. "Aku berterima kasih untuk perusahaan itu tapi kalau ayah ingin dengarkan isi hatiku, aku lebih senang dengan pekerjaanku yang dulu. Meski aku tidak memiliki gaji yang besar, aku tidak sukses seperti sekarang tapi aku selalu tersenyum puas saat melihat orang-orang tersenyum padaku dengan tulus."

"Aku tidak ingin berdebat dan tidak ingin membahas apa pun. Silahkan keluar, jangan lupa untuk menutup kembali pintunya."

Frans kembali ke tempat duduk miliknya dan menggambil beberapa berkas untuk ia baca.

"Aku menolak pertunangan konyol itu. Aku tidak akan pernah datang ke acara itu. Nikmatilah sendiri acara yang ayah buat."

Handes berbalik badan untuk meninggalkan ruang kerja ayahnya. Namun, langkahnya terhenti saat ia mendapatkan lemparan berkas di punggungnya.

"Anak tidak tahu diri!!" Frans benar-benar marah pada Handes yang keras kepala.

Handes hanya tersenyum tipis. Tanpa berbalik badan, ia berucap. "Aku sepertimu, Ayah."







Love and Tears Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang