Handes memang sudah berhasil membuat ayahnya terdiam sebelum ia pergi. Namun, ia tahu kalau semua ini belum berakhir. Ayahnya saat ini pasti tengah menyusun cara untuk melancarkan rencananya.
"Han, bagaimana?" Orion menghampiri Handes yang baru saja keluar dari ruang kerja ayahnya.
"Aku tetap tidak akan menerima pertunangan itu."
"Kamu yakin bisa menolaknya?" Orion ragu, ayah Handes terkenal keras kepala dan tidak mudah untuk di bantah.
"Aku yakin." Handes tetap pada pendiriannya. Ia tidak bersedia untuk bertunangan meski harus bertengkar lagi dengan ayahnya.
Handes heran, pertengkaran diantara mereka sering terjadi karena hal remeh seperti ini tapi entah mengapa ayahnya selalu saja mengulanginya lagi dan lagi seolah tanpa bosan.
"Aku pasti mendukung apa pun yang kamu putuskan." Orion terdiam sebentar. "Tapi tidak dengan hubungan kami dan Harsya."
"Harsya." Handes mengingat, tadi ia melihat Harsya sebelum pergi. Ia mengeluarkan ponselnya dan melihat beberapa panggilan tak terjawab serta pesan dari Harsya.
Handes membaca pesan yang Harsya kirimkan lalu ia membalas pesan itu. Ia meminta Harsya untuk datang ke tempat makan favorit mereka berdua.
"Mau kemana?" Orion mengerutkan keningnya menatap aneh tingkah laku Handes.
"Tidak udah cerewet dan banyak tanya. Lebih baik kamu segera ke kantor. Urusi saja pekerjaan kamu. Bukannya kamu mau meeting pagi?"
"Astaga, aku lupa." Orion tidak banyak bicara lagi. Ia langsung pergi ke kantornya.
Handes hanya tersenyum kecil melihat tingkah laku Orion. Mereka sudah berteman sejak kecil jadi mereka sudah seperti saudara. Mereka saling mendukung satu sama lain dan saling mengingatkan serta menasehati jika salah satu tengah berada di luar jalur.
🍂🍂🍂
Harsya langsung membuka ponselnya saat mendengar notifikasi pesan masuk. Ia tersenyum, pesan itu dari Handes. Dia meminta untuk bertemu di tempat favorit mereka berdua.
"Wira." Harsya memanggil Wira sembari memasukkan ponselnya ke tas dan membawa beberapa berkas yang tadi Wira berikan padanya.
"Kamu mau kemana?" Wira melihat Harsya yang terlihat buru-buru akan pergi.
"Aku sudah mendapatkan balasan dari Bos. Dia memintaku untuk mengantarkan berkas ini karena saat ini Bos sedang berada di luar."
"Ah syukurlah. Aku lega mendengarnya. Hati-hati."
"Ya." Harsya menjawab ucapan Wira secara singkat. Ia tidak mau membuat Handes menunggunya terlalu lama.
Harsya sangat tahu, bagaimana sifat Handes. Dia pria tak sabaran dan tidak bisa diminta untuk menunggu terlalu lama. Bisa-bisa saat ia sampai di sana, Handes sudah pergi lagi atau minimal, ia mendapat kemarahan Handes.
Terdengar lucu memang tapi itulah yang terjadi. Harsya marah pada Handes. Ia ingin putus dan sebagainya. Namun, ia juga masih mencintai Handes dan tak bisa mengabaikan pria itu begitu saja.
Apakah seperti ini yang di sebut wanita lemah? Tidak bisa keluar dari hubungan yang jelas-jelas tidak menguntungkan dirinya sama sekali.
Harsya menggelengkan kepalanya, ia tidak mau banyak berpikir ini dan itu, saat ini ia harus fokus mengemudi menuju tempat dimana Handes sudah menunggunya.
Tak butuh waktu lama, kini Harsya sudah berada di tempat makan favorit dirinya dan Handes. Ia melihat Handes sudah ada di sana. Duduk di meja yang lokasinya tidak jauh dari taman bunga.
Salah satu keunikan Handes, pria itu terkenal dingin dan galak tapi dia sangat menyukai bunga. Sungguh di luar pemikiran. Seharusnya, pria yang menyukai bunga adalah pria yang manis dan romantis tapi Handes sepertinya tidak memiliki dua sifat itu.
"Maaf aku sedikit lama." Harsya menghampiri Handes yang tengah melihat ke arah hamparan bunga.
"Belum terlambat." Handes mengalihkan pandangannya ke arah Harsya.
"Aku membawa beberapa berkas yang harus ditandatangani. Aku sudah menjelaskan secara singkat tadi di pesan yang aku kirimkan."
Harsya berdiri di samping Handes dan meletakkan beberapa berkas lalu ia menunduk untuk menunjukkan bagian-bagian mana yang harus Handes tandatangani. Namun, ia dibuat terkejut saat Handes meraih pinggangnya dan memaksanya untuk duduk dipangkuan pria itu.
"Han, apa yang kamu lakukan?!" Harsya tentu saja protes dan ia berusaha untuk berdiri sebelum ada orang yang melihat mereka.
"Aku inginkan kamu, Sya." Handes menciumi leher Harsya. Tempat yang menjadi favoritnya.
Harsya beraroma mawar yang manis. Membuat Handes semakin menyukainya.
"Lepaskan aku. Sadarlah, ini tempat umum, Han."
"Oh, kamu ingin tempat pribadi?"
"Bukan begitu." Harsya menggeleng cepat. Bukan maksudnya seperti itu.
"Kita akan melakukan ditempat pribadiku." Handes melepaskan Harsya.
"Tidak!" Harsya langsung berdiri dan menjauh dari Handes.
"Aku tidak menyukai penolakkanmu, Sayang." Handes menatap Harsya dengan tatapan lapar, hal itu membuat Harsya gemetar. Ia ingin sekali kabur saat ini juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love and Tears
RomancePria itu yang mengatakan cinta padanya dan pria itu juga yang terus membuatnya menangis. "Apakah cinta sesakit ini?" Harsya merasa bodoh, ia terjerat dalam sebuah cinta yang toxic. Ia sadar sepenuhnya tapi ia tak bisa lepas dari jeratan Handes, pria...